Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tendang Buang Sesajen Ruwatan Semeru, Paham Pluralisme Bangsa Makin Tipis

10 Januari 2022   13:32 Diperbarui: 10 Januari 2022   13:58 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar warga yang membuang makanan yang ditempatkan di daerah Gunung Semeru Lumajang(Bagus Supriadi/kompas.com)

Mayoritas Muslim Indonesia tetap moderat, dan  semua terkejut dengan meningkatnya intoleransi. Namun ada tiga faktor yang meruntuhkan kebebasan beragama: kebisuan dan kepasifan mayoritas, tumbuhnya radikalisasi, dan lemahnya pemerintah di setiap tingkatan. Bukan hanya toleransi dan kebebasan beragama yang terancam, tetapi juga supremasi hukum.

Bagi masyarakat Indonesia, memerangi aksi intoleransi harus menggunakan pendekatan lokal karena prinsip "berpikir secara global, terlibat secara lokal" adalah kunci untuk menemukan intoleransi yang menemukan pijakannya di berbagai wilayah.

Namun, dalam konteks nusantara, banyak hal yang berkaitan dengan karakteristik budaya wilayah tersebut. Adat, tradisi, dan kearifan lokal mungkin memainkan peran penting dalam memerangi intoleransi di negara ini.

Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang berasal dari luar/bangsa lain menjadi watak dan kemampuan sendiri. 

Kearifan lokal juga merupakan ciri khas etika dan nilai budaya dalam masyarakat lokal yang diturunkan dari generasi ke generasi. Di Indonesia, Kesadaran akan kearifan lokal mulai tumbuh subur pasca jatuhnya rezim Presiden Soeharto pada tahun 1998.

Kearifan lokal, dapat berkontribusi dalam upaya memerangi intoleran di Indonesia---misalnya: budaya Minang. Budaya Minang menonjolkan inklusivitas. Pepatah  dima bumi dipijak, disinan langik dijunjuang  (langit akan ditegakkan setinggi apapun tanah tempat kamu berpijak) dan  lubuak lain ikannyo  lain ladang lain belalangnyo  (setiap padang rumput adalah rumah bagi jenis belalangnya sendiri dan setiap kolam adalah rumahnya untuk jenis ikannya sendiri) menyarankan agar kita memperhatikan adat istiadat setempat karena setiap tempat memiliki adat dan budayanya sendiri. Jadi, kita tidak boleh mengukur orang lain dengan tolok ukur kita sendiri.

Seperti Voltaire, saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tetapi saya akan membela sampai mati hak Anda untuk mengatakannya, tampaknya menawarkan penangkal yang efektif terhadap ide-ide intoleran yang melonjak di negara kita.

Tangkapan layar warga yang membuang makanan yang ditempatkan di daerah Gunung Semeru Lumajang(Bagus Supriadi/kompas.com)
Tangkapan layar warga yang membuang makanan yang ditempatkan di daerah Gunung Semeru Lumajang(Bagus Supriadi/kompas.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun