Ketika sebuah bisnis atau individu dapat menghindari hukum dengan membayar suap kepada pejabat yang korup, lapangan permainan menjadi tidak seimbang, membuat ekonomi rentan.Â
Transparency International (TI) menyebut Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK) Indonesia tahun 2020 hanya 37 dan menempati peringkat ke-102 dari 180 negara. Sedangkan 2019, IPK Indonesia mendapatkan nilai 40 dan menempati urutan ke-85.Â
Skor IPK Indonesia tahun lalu bahkan lebih rendah dari Timor Leste sebesar 40 dan berada di urutan ke-86. Skornya juga lebih rendah dari Malaysia (51 Poin), Brunei Darussalam (60 Poin), dan Singapura (85 poin).Â
TI telah menerbitkan IPK negara-negara sejak 1995. Rilis untuk Indonesia diterbitkan pada Kamis (28/1/2021) lalu.Â
Laporan ini secara umum menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi praktik yang lazim bahkan di tengah penanganan pandemi, dari mulai "suap untuk tes COVID-19, perawatan dan layanan kesehatan lain, hingga pengadaan publik untuk persediaan medis dan kesiapsiagaan darurat secara keseluruhan," menurut situs resmi TI.
Mengutip tulisan Oce Madril, Dosen Fakultas Hukum UGM; Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM berjudul Korupsi Kepala Daerah disalin dari Harian Kompas, 3 Maret 2018:
Kepala daerah justru menjadi sumber korupsi. Dari banyak kisah korupsi, kita mendengar bahwa perintah korupsi datang langsung dari kepala daerah. Misalnya, ada perintah untuk memotong sekian persen anggaran kegiatan dan setiap proyek yang dibiayai oleh APBD. Kemudian potongan tersebut disetorkan kepada kepala daerah. Atau kisah kepala daerah yang memperjual-belikan jabatan. Ada tarif yang harus dibayarkan kepada kepala daerah untuk mendapatkan jabatan tertentu.
Begitu juga dengan perizinan. Kepala daerah mematok harga yang harus dibayarkan oleh pemohon izin jika ingin izinnya dikabulkan. Pembahasan rancangan APBD juga demikian, sering kali kepala daerah memerintahkan agar jajaran birokrasinya menempuh jalan pintas dengan menyuap anggota DPRD untuk mendapatkan persetujuan.
Semua kisah tersebut menjadi bukti bahwa kepala daerah merupakan sumber persoalan korupsi di daerah. Besarnya kewenangan menjadi ladang korupsi bagi kepala daerah. Hampir semua kewenangan kepala daerah itu dapat ditransaksikan untuk meraup keuntungan pribadi.
Contoh terbaru adalah penangkapan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (5/1/2022). Â
"Informasi yang kami peroleh, tangkap tangan ini terkait dugaan korupsi penerimaan janji atau hadiah pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di lingkungan Pemkot Bekasi," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (6/1).
Sebagaimana dilansir laman aclc.kpk.go.id, menurut Pasal 1 butir 19 KUHAP setidaknya tertangkap tangan bisa diartikan tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya.Â
Atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
Lima modus korupsi yang dilakukan kepala daerah. Pertama yakni melakukan intervensi dalam penggunaan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), kedua yaitu campur-tangan dalam pengelolaan penerimaan daerah, ketiga ikut menentukan dalam pelaksanaan perizinan dengan pemerasan.Â
Keempat benturan kepentingan dalam proses pengadaan barang jasa dan manajemen ASN seperti rotasi, mutasi, dan pengangkatan pegawai. Serta (kelima) penyalahgunaan wewenang terkait pengangkatan dan penempatan jabatan pada orang dekat, pemerasan dalam proses rotasi, mutasi, dan promosi.
Seiring berkembangnya galeri para kepala daerah yang jatuh, Anda mungkin tergoda untuk menyimpulkan bahwa era kita adalah era paling korup dalam sejarah pemerintahan Kota Bekasi.Â
Selasa, 16 Oktober 2018, Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin ditahan oleh penyidik KPK. Penahanan Neneng terkait dengan suap terkait pengurusan perizinan proyek pembangunan Central Business District (CBD) Meikarta, di Cikarang, Kabupaten Bekasi.Â
Neneng disebut menerima suap sebesar Rp10,5 miliar dari Mantan Presiden Direktur PT Lippo Cikarang, Bartholomeus Toto sebagai imbalan memperoleh kemudahan izin pembangunan proyek Meikarta.Â
Neneng kemudian dijatuhi vonis dengan hukuman enam tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider empat bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Bandung. Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad didakwa dalam empat perkara kasus korupsi saat sidang di Pengadilan Tipikor Bandung, Jawa Barat pada 2012 lalu.Â
Kasus korupsi yang melibatkan Mochtar itu diusut KPK sebelum masuk meja persidangan. Mochtar disebut terlibat dalam perkara penyuapan anggota DPRD Bekasi sebesar Rp1,6 miliar.Â
Mochtar juga diduga menyalahgunakan anggaran makan-minum sebesar Rp639 juta untuk memuluskan pengesahan anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun 2010.Â
Dia pun disebut memberikan uang suap sebesar Rp500 juta untuk mendapatkan Piala Adipura 2010 dan menyuap pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) senilai Rp 400 juta agar mendapat opini wajar tanpa pengecualian.
Dengan krisis yang masih bermetastasis-penyebaran sel kanker  yang sulit dikendalikan-sukar untuk tidak bersikap sinis. Ketika, Presiden Joko Widodo tidak menyinggung soal korupsi dalam pidato kenegarannya di Sidang Tahunan MPR/DPR yang diselenggarakan Senin (16/8/2021) di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat. Jokowi menyebut kata "korupsi" sebanyak sekali dalam pidatonya.Â
Namun, kata itu pun disebut Jokowi saat ia menyebut nama lembaga yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan masalah korupsinya. Tahun 2020, Jokowi juga hanya menyebut kata "korupsi" sebanyak dua kali dalam pidato kenegaraannya. Pertama, dalam kalimat "Fleksibilitas yang tinggi dan birokrasi yang sederhana tidak bisa dipertukarkan dengan kepastian hukum, antikorupsi, dan demokrasi."Â
Kedua, dalam kalimat "Pemerintah tidak pernah main-main dengan upaya pemberantasan korupsi." Jumlah kata "korupsi" terbanyak pernah disampaikan oleh Jokowi dalam pidato kenegaraannya pada tahun 2018 yaitu sebanyak 5 kata.
Namun, di balik semua berita utama yang suram ini, terdapat kebenaran yang lebih besar dan lebih menggembirakan: Korupsi disingkapkan, dikecam, dan dituntut lebih keras, dan pada tingkat yang lebih tinggi, dari sebelumnya.Â
Setidaknya, tahun politik 2022 ini bukan hanya gejolak sesaat, tampaknya menjadi gemuruh pergeseran bersejarah. Hakim, jurnalis, publik , dan warganet sekarang memiliki kekuatan untuk melawan korupsi tingkat tinggi. Bukannya korupsi semakin buruk atau lebih baik, tetapi keberanian masyarakat untuk mampu mengungkapnya.
Â
Korupsi tentunya adalah godaan kuno. Aristoteles merenungkan signifikansinya kembali pada abad ke-4 SM, sekitar waktu yang sama filsuf India Kautiliya menyebutkan "40 cara penggelapan."Â
Sepanjang sejarah, ada perdebatan sengit tentang apakah korupsi bertindak seperti "minyak" (memuluskan birokrasi) atau "pasir" (menyumbat sistem dengan biaya yang tidak produktif  dan menakut-nakuti investasi).Â
Pada abad ke-18, Bernard Mandeville berpendapat, dalam The Fable of the Bees, bahwa kejahatan pribadi oleh "manajemen terampil politisi terampil" dapat diubah menjadi "manfaat publik." Korupsi dapat berfungsi sebagai pelumas ekonomi dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan yang rendah, lembaga hukum yang lemah, atau pemerintah yang lemah.Â
Argumen "pasir", bagaimanapun, telah mendapatkan daya tarik yang jauh lebih besar dalam beberapa tahun terakhir.Â
Pada titik ini, buktinya cukup jelas bahwa korupsi adalah penghambat pertumbuhan jangka panjang, merendahkan norma-norma sosial dan nilai-nilai sipil, belum lagi aturan hukum yang menjadi sandaran investasi, korupsi merusak fondasi ekonomi yang sehat.
Bagi warga negara di negara berkembang, ini bukan debat akademis. Mereka melihat biaya korupsi setiap hari: dalam pelayanan publik yang buruk; "seorang pegawai negeri" tiba-tiba mengendarai mobil mewah; dalam usaha kecil didorong ke ekonomi informal karena takut pajak dan hukum akan diterapkan secara tidak adil.Â
Korupsi, pada dasarnya, adalah pajak regresif. Setiap rupiah yang dimasukkan oleh pejabat korup atau pebisnis korup ke dalam saku mereka adalah satu rupiah yang dicuri dari seorang wanita hamil yang membutuhkan perawatan kesehatan; atau dari seorang anak perempuan atau laki-laki yang layak mendapatkan pendidikan; atau dari masyarakat yang membutuhkan air, jalan dan sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H