Namun, kata itu pun disebut Jokowi saat ia menyebut nama lembaga yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan masalah korupsinya. Tahun 2020, Jokowi juga hanya menyebut kata "korupsi" sebanyak dua kali dalam pidato kenegaraannya. Pertama, dalam kalimat "Fleksibilitas yang tinggi dan birokrasi yang sederhana tidak bisa dipertukarkan dengan kepastian hukum, antikorupsi, dan demokrasi."Â
Kedua, dalam kalimat "Pemerintah tidak pernah main-main dengan upaya pemberantasan korupsi." Jumlah kata "korupsi" terbanyak pernah disampaikan oleh Jokowi dalam pidato kenegaraannya pada tahun 2018 yaitu sebanyak 5 kata.
Namun, di balik semua berita utama yang suram ini, terdapat kebenaran yang lebih besar dan lebih menggembirakan: Korupsi disingkapkan, dikecam, dan dituntut lebih keras, dan pada tingkat yang lebih tinggi, dari sebelumnya.Â
Setidaknya, tahun politik 2022 ini bukan hanya gejolak sesaat, tampaknya menjadi gemuruh pergeseran bersejarah. Hakim, jurnalis, publik , dan warganet sekarang memiliki kekuatan untuk melawan korupsi tingkat tinggi. Bukannya korupsi semakin buruk atau lebih baik, tetapi keberanian masyarakat untuk mampu mengungkapnya.
Â
Korupsi tentunya adalah godaan kuno. Aristoteles merenungkan signifikansinya kembali pada abad ke-4 SM, sekitar waktu yang sama filsuf India Kautiliya menyebutkan "40 cara penggelapan."Â
Sepanjang sejarah, ada perdebatan sengit tentang apakah korupsi bertindak seperti "minyak" (memuluskan birokrasi) atau "pasir" (menyumbat sistem dengan biaya yang tidak produktif  dan menakut-nakuti investasi).Â
Pada abad ke-18, Bernard Mandeville berpendapat, dalam The Fable of the Bees, bahwa kejahatan pribadi oleh "manajemen terampil politisi terampil" dapat diubah menjadi "manfaat publik." Korupsi dapat berfungsi sebagai pelumas ekonomi dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan yang rendah, lembaga hukum yang lemah, atau pemerintah yang lemah.Â
Argumen "pasir", bagaimanapun, telah mendapatkan daya tarik yang jauh lebih besar dalam beberapa tahun terakhir.Â
Pada titik ini, buktinya cukup jelas bahwa korupsi adalah penghambat pertumbuhan jangka panjang, merendahkan norma-norma sosial dan nilai-nilai sipil, belum lagi aturan hukum yang menjadi sandaran investasi, korupsi merusak fondasi ekonomi yang sehat.
Bagi warga negara di negara berkembang, ini bukan debat akademis. Mereka melihat biaya korupsi setiap hari: dalam pelayanan publik yang buruk; "seorang pegawai negeri" tiba-tiba mengendarai mobil mewah; dalam usaha kecil didorong ke ekonomi informal karena takut pajak dan hukum akan diterapkan secara tidak adil.Â
Korupsi, pada dasarnya, adalah pajak regresif. Setiap rupiah yang dimasukkan oleh pejabat korup atau pebisnis korup ke dalam saku mereka adalah satu rupiah yang dicuri dari seorang wanita hamil yang membutuhkan perawatan kesehatan; atau dari seorang anak perempuan atau laki-laki yang layak mendapatkan pendidikan; atau dari masyarakat yang membutuhkan air, jalan dan sekolah.