Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ideologi Bukan Pengendali Ilmu Pengetahuan?

5 Januari 2022   05:02 Diperbarui: 6 Januari 2022   10:31 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langkah pemerintah baru-baru ini untuk memusatkan semua lembaga penelitiannya di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menuai rentetan kritik, tetapi Presiden Joko  Widodo bersikeras tentang rencana tersebut. 

Ia resmi melebur Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), dan Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN) ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Hal tersebut berlaku setelah Presiden Jokowi menandatangani Perpres 33 tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional yang ditandatangani pada 28 April 2021 lalu. 

"Dengan integrasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Badan Tenaga Nuklir Nasional, dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional menjadi OPL di lingkungan BRIN," bunyi pasal 69 ayat 2 Perpres 33 tahun 2021, Rabu (5/5/2021).

Dikutip dari laman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sejak September 2021, pengelolahan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman diambil alih oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Peresmian perubahan status dari LBM Eijkman menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman diresmikan pada tanggal 28 Desember 2021.

Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman periode 2014-2021 Amin Soebandrio secara resmi menyerahkan pengelolaan lembaga Lembaga Biologi Molekuler Eijkman kepada Pelaksana Tugas Kepala Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wien Kusharyoto. Meleburnya Eijkman ke BRIN bukan berarti tidak menimbulkan efek. Sebanyak 113 tenaga honorer yang sebelumnya bekerja di LBM Eijkman, kini tidak diperpanjang kontraknya atau diberhentikan. Berdasarkan data PRBM Eijkman sebagaimana dilansir Antara, sebanyak 113 pegawai honorer diberhentikan, dengan 71 di antaranya merupakan staf peneliti. Kontrak mereka sebagai tenaga honorer telah berakhir per 31 Desember 2021.

Setidaknya ada lima opsi yang ditawarkan BRIN. Pertama, PNS Periset langsung dilanjutkan menjadi PNS BRIN sekaligus diangkat sebagai Peneliti; periset honorer berumur di atas 40 tahun dan berstatus S3 akan mengikuti penerimaan ASN jalur PPPK 2021; periset honorer berumur di bawah 40 tahun dan berstatus S3 akan mengikuti penerimaan ASN jalur PNS 2021. 

Opsi keempat, honorer Periset non S3 dapat melanjutkan studi dengan skema by-research dan research assistantship (RA), sebagian ada yang melanjutkan sebagai operator lab di Cibinong, bagi yang tidak tertarik lanjut studi. Opsi kelima, honorer non Periset diambil alih RSCM sekaligus mengikuti rencana pengalihan gedung LBM Eijkman ke RSCM sesuai permintaan Kemenkes yang memang memiliki aset tersebut sejak awal.

Ada keraguan bahwa dalam struktur baru pemerintah akan mempertahankan independensi dan sumber daya yang telah menjadikan lembaga itu sebagai salah satu fasilitas penelitian paling canggih di negeri ini. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memiliki persoalan kepemimpinan setelah Megawati Soekarnoputri dilantik sebagai Ketua Dewan Pengarah lembaga tersebut.  Kepemimpinan BRIN akan menjadi politis dan ideologis. Megawati Soekarnoputri merupakan Ketua Umum PDIP sekaligus Anggota Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP). Latar belakang keduanya terpaut jauh.

Baca: Politik Digerakkan Ideologi, Bagi Ilmu Pengetahuan?

BRIN merupakan badan riset inovasi yang harusnya bekerja secara independen berdasarkan prinsip dan metodologi ilmiah teknis yang obyektif dan rasional. Sementara BPIP sangat ideologis. Dalam berbagai kesempatan, partai pemenang pemilu 2019, PDI-P dikabarkan terinspirasi oleh efektivitas lembaga seperti Chinese Academy of Sciences yang menata pemanfaatan sains dan teknologi dengan pendekatan sentralistik. Sejak terilhami keberadaan lembaga tersebut, partai berkuasa di Indonesia pun getol menyampaikan ide-idenya melalui Undang Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah disahkan pada 2019.

Dikutip dari situs resmi eijkman.go.id, beberapa fokus penelitian biologi dari lembaga ini meliputi bidang biomedis, keanekaragaman hayati, bioteknologi, biosekuriti dan menerjemahkan hasil penelitian demi kepentingan masyarakat.

Nama Lembaga Biologi Molekuler, diambil dari nama Christiaan Eijkman, yakni seseorang yang pernah melakukan penelitian terkait penyakit beri-beri pada masa Hindia Belanda. Eijkman adalah keturunan Belanda yang lahir di kota Nijkern pada tahun 11 Agustus 1858.

Ia lahir dari keluarga terpelajar, di mana ayahnya bekerja sebagai guru dan kakaknya, Johann Frederik Eijkman ketika dewasa dikenal sebagai seorang ahli kimia. Setelah lulus dari sekolah dasar di kota Zaandam pada tahun 1875, Eijkman melanjutkan studinya dan berhasil diterima di Sekolah Kedokteran Militer Universitas Amsterdam. Eijkman lulus sarjana pada 1879 dan menghabiskan dua tahun lagi untuk menyelesaikan tesis tentang polarisasi saraf sambil bekerja sebagai asisten ahli fisiologi Universitas Amsterdam Profesor T. Place. Eijkman baru mendapatkan penugasan ke Hindia Belanda setelah menyelesaikan doktoral pada tahun 1883.

Semarang merupakan tempat penempatan pertama bagi Eijkman di Hindia Belanda. Ia juga pernah ditempatkan di Cilacap dan terakhir di Padang Sedempuan. Eijkman terpapar Malaria di Cilacap dan kesehatannya semakin memburuk setelah dipindahkan ke Padang Sidempuan. Hal tersebut membuatnya harus kembali ke Belanda untuk melakukan pemulihan pada tahun 1885. Selama proses pemulihan dari penyakit Malaria, Eijkman bekerja di Laboratorium Bakteriologi Robert Koch di Berlin. Ia dapat kembali bertugas ke Hindia Belanda, setelah ahli patologi C.A. Pekelharing dan ahli neurologi C. Winkler menemuinya di Berlin. Kedua ahli tersebut, mengajak Eijkman bergabung ke dalam suatu misi, yakni melakukan investigasi terhadap merebaknya penyakit beri-beri di Hindia Belanda. 

Misi Investigas Pekelharing-Winkler selesai pada tahun 1887 dan menghasilkan kesimpulan bahwa beri-beri merupakan polineuritis (peradangan saraf di beberapa bagian tubuh, terutama anggota gerak) yang disebabkan oleh infeksi bakteri. 

Sebelum kembali ke Belanda, mereka bertiga mengajukan proposal pembentukan laboratorium medis di Batavia. Pemerintah Hindia Belanda menyetujui hal tersebut dan dibangunlah Laboratorium voor Pathologische Anatomie en Bacteriologie (laboratorium penelitian patologi dan bakteriologi) yang mulanya terletak di kompleks rumah sakit militer Weltevreden---sekarang RSPAD Gotot Subroto 

Pada tahun 1888, Eijkman ditunjuk sebagai kepala laboratorium tersebut dan direktur Sekolah Dokter Jawa. Kemudian, 50 tahun setelah pendirian laboratorium, nama Eijkman diabadikan sebagai nama resmi lembaga pada tahun 1983. Waktu itu, Kepala Laboratotium Medis Pusat dipimpin oleh Prof. Dr. Achmad Mochtar.

Lembaga Laboratorium Eijkman pernah ditutup pada tahun 1960 karena terjadinya gejolak politik dan ekonomi di Indonesia. Namun, muncul gagasan untuk dibuka kembali pada masa BJ Habibie menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi tahun 1990. Akhirnya, Lembaga Laboratorium Eijkman dibuka kembali dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 19 September 1995. 

Selama bertahun-tahun, ia telah menjadi tuan rumah penelitian perintis tentang virus mematikan seperti HIV, flu burung (H5N1), Sindrom Pernafasan Akut Parah Coronavirus (SARS-Cov1) dan SARS-Cov2, penyebab pandemi COVID-19. Ia memiliki perangkat canggih, di antaranya teknologi Real Time Polymerase Chain Reactor (RT-PCR) dan pengurutan genom yang telah membantu negara mempelajari varian lokal virus corona dan mengembangkan vaksin Merah Putih buatan sendiri.

Vaksin saat ini sedang dalam uji coba dan dijadwalkan akan dirilis tahun ini dan dimasukkan sebagai suntikan booster. Tetapi dengan gangguan yang disebabkan oleh restrukturisasi organisasi, banyak yang meragukan bahwa pengembangan vaksin akan tetap pada jalurnya atau memenuhi standar yang dipersyaratkan.  

Fasilitas penelitian, misalnya, akan dipindahkan ke Cibinong, Jawa Barat, selatan Jakarta. Dan tanpa kepastian bahwa lebih dari separuh peneliti dan analis lab akan bergabung dengan struktur baru, ada kekhawatiran tidak hanya tentang masa depan para peneliti, tetapi juga prospek vaksin lokal pertama dan studi COVID-19 di negara tersebut. .

Di masa lalu, lembaga ini juga mendapatkan reputasi yang membuatnya memenuhi syarat untuk kerjasama dan pendanaan dari donor internasional. Tidak ada kepastian bahwa para donor ini akan melanjutkan kemitraan. Ke depan, semua pendanaan dan kerjasama harus mendapat persetujuan dari BRIN, yang pembentukannya dianggap banyak pihak sebagai politisasi ilmu pengetahuan. Apalagi, BRIN berada di bawah pengawasan komite pengarah yang dipimpin oleh mantan presiden Megawati Soekarnoputri, ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang berkuasa.

Belum ada pencapaian signifikan dalam penelitian dan ilmu pengetahuan negara secara umum, sehingga restrukturisasi di bawah BRIN mungkin diperlukan. Namun pemerintah, terutama Presiden Jokowi sendiri, harus melihat lebih dekat tingkat perubahan yang ditimbulkan oleh langkah tersebut. Meskipun mungkin tidak meningkatkan ilmu pengetahuan, hal itu dapat menggagalkan pencapaian lembaga penelitian yang bereputasi dan strategis seperti Eijkman. Dan ini datang pada saat yang tidak menguntungkan, ketika, setelah begitu banyak kesalahan, 4,26 juta kasus infeksi dan lebih dari 144.000 kematian, pemerintah mulai mengendalikan pandemi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun