Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ideologi Bukan Pengendali Ilmu Pengetahuan?

5 Januari 2022   05:02 Diperbarui: 6 Januari 2022   10:31 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama Lembaga Biologi Molekuler, diambil dari nama Christiaan Eijkman, yakni seseorang yang pernah melakukan penelitian terkait penyakit beri-beri pada masa Hindia Belanda. Eijkman adalah keturunan Belanda yang lahir di kota Nijkern pada tahun 11 Agustus 1858.

Ia lahir dari keluarga terpelajar, di mana ayahnya bekerja sebagai guru dan kakaknya, Johann Frederik Eijkman ketika dewasa dikenal sebagai seorang ahli kimia. Setelah lulus dari sekolah dasar di kota Zaandam pada tahun 1875, Eijkman melanjutkan studinya dan berhasil diterima di Sekolah Kedokteran Militer Universitas Amsterdam. Eijkman lulus sarjana pada 1879 dan menghabiskan dua tahun lagi untuk menyelesaikan tesis tentang polarisasi saraf sambil bekerja sebagai asisten ahli fisiologi Universitas Amsterdam Profesor T. Place. Eijkman baru mendapatkan penugasan ke Hindia Belanda setelah menyelesaikan doktoral pada tahun 1883.

Semarang merupakan tempat penempatan pertama bagi Eijkman di Hindia Belanda. Ia juga pernah ditempatkan di Cilacap dan terakhir di Padang Sedempuan. Eijkman terpapar Malaria di Cilacap dan kesehatannya semakin memburuk setelah dipindahkan ke Padang Sidempuan. Hal tersebut membuatnya harus kembali ke Belanda untuk melakukan pemulihan pada tahun 1885. Selama proses pemulihan dari penyakit Malaria, Eijkman bekerja di Laboratorium Bakteriologi Robert Koch di Berlin. Ia dapat kembali bertugas ke Hindia Belanda, setelah ahli patologi C.A. Pekelharing dan ahli neurologi C. Winkler menemuinya di Berlin. Kedua ahli tersebut, mengajak Eijkman bergabung ke dalam suatu misi, yakni melakukan investigasi terhadap merebaknya penyakit beri-beri di Hindia Belanda. 

Misi Investigas Pekelharing-Winkler selesai pada tahun 1887 dan menghasilkan kesimpulan bahwa beri-beri merupakan polineuritis (peradangan saraf di beberapa bagian tubuh, terutama anggota gerak) yang disebabkan oleh infeksi bakteri. 

Sebelum kembali ke Belanda, mereka bertiga mengajukan proposal pembentukan laboratorium medis di Batavia. Pemerintah Hindia Belanda menyetujui hal tersebut dan dibangunlah Laboratorium voor Pathologische Anatomie en Bacteriologie (laboratorium penelitian patologi dan bakteriologi) yang mulanya terletak di kompleks rumah sakit militer Weltevreden---sekarang RSPAD Gotot Subroto 

Pada tahun 1888, Eijkman ditunjuk sebagai kepala laboratorium tersebut dan direktur Sekolah Dokter Jawa. Kemudian, 50 tahun setelah pendirian laboratorium, nama Eijkman diabadikan sebagai nama resmi lembaga pada tahun 1983. Waktu itu, Kepala Laboratotium Medis Pusat dipimpin oleh Prof. Dr. Achmad Mochtar.

Lembaga Laboratorium Eijkman pernah ditutup pada tahun 1960 karena terjadinya gejolak politik dan ekonomi di Indonesia. Namun, muncul gagasan untuk dibuka kembali pada masa BJ Habibie menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi tahun 1990. Akhirnya, Lembaga Laboratorium Eijkman dibuka kembali dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 19 September 1995. 

Selama bertahun-tahun, ia telah menjadi tuan rumah penelitian perintis tentang virus mematikan seperti HIV, flu burung (H5N1), Sindrom Pernafasan Akut Parah Coronavirus (SARS-Cov1) dan SARS-Cov2, penyebab pandemi COVID-19. Ia memiliki perangkat canggih, di antaranya teknologi Real Time Polymerase Chain Reactor (RT-PCR) dan pengurutan genom yang telah membantu negara mempelajari varian lokal virus corona dan mengembangkan vaksin Merah Putih buatan sendiri.

Vaksin saat ini sedang dalam uji coba dan dijadwalkan akan dirilis tahun ini dan dimasukkan sebagai suntikan booster. Tetapi dengan gangguan yang disebabkan oleh restrukturisasi organisasi, banyak yang meragukan bahwa pengembangan vaksin akan tetap pada jalurnya atau memenuhi standar yang dipersyaratkan.  

Fasilitas penelitian, misalnya, akan dipindahkan ke Cibinong, Jawa Barat, selatan Jakarta. Dan tanpa kepastian bahwa lebih dari separuh peneliti dan analis lab akan bergabung dengan struktur baru, ada kekhawatiran tidak hanya tentang masa depan para peneliti, tetapi juga prospek vaksin lokal pertama dan studi COVID-19 di negara tersebut. .

Di masa lalu, lembaga ini juga mendapatkan reputasi yang membuatnya memenuhi syarat untuk kerjasama dan pendanaan dari donor internasional. Tidak ada kepastian bahwa para donor ini akan melanjutkan kemitraan. Ke depan, semua pendanaan dan kerjasama harus mendapat persetujuan dari BRIN, yang pembentukannya dianggap banyak pihak sebagai politisasi ilmu pengetahuan. Apalagi, BRIN berada di bawah pengawasan komite pengarah yang dipimpin oleh mantan presiden Megawati Soekarnoputri, ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang berkuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun