Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Inilah Buku yang Harus Dibaca Ahok

5 Maret 2016   15:33 Diperbarui: 12 Januari 2022   22:29 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok telah terbiasa dengan kecaman-kecaman warga yang diterimanya setiap mengeluarkan kebijakan. Warga, kata Ahok, sering kali mengumpat jika keinginannya tak dikabulkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tiga tahun lalu, warga serempak menyalahkan Basuki lantaran tak memerintahkan anak buahnya agar menuruti keinginan warga. "Saat seperti itu, kelemahan saya diungkit. Mudah saja, sudah Cina, kafir pula," kata Ahok saat memberi sambutan dalam acara Demokrasi Tanpa Korupsi di Museum Nasional, Ahad, 14 Desember 2014. 

Babak berikutnya, tak banyak argumentasi yang dapat dipakai untuk menyanggah rencana Pemprov DKI Jakarta mengembalikan kawasan Kalijodo sebagai ruang terbuka hijau. Denyut bisnis hiburan malam bernilai miliaran rupiah pun musnah. Menyisakan dongeng Daeng Aziz, The Goodfather Kalijodo. 

Kemudian, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama yang akrab disapa Ahok menyatakan kecurigaannya ada orang yang sengaja menaruh kulit kabel di lokasi itu, agar air tidak bisa mengalir dan meluap tepat di Istana Merdeka. Dalam beberapa berita, para awak media diperlihatkan gambar dari telpon seluler Ahok. 

Bahkan, sebagaimana beredar di media massa, hasil survei lembaga Periskop Data menunjukkan 1,0% responden menilai gaya kepemimpinan Ahok sangat baik dan 42,4% menyatakan baik. Sedangkan 33,2% responden menilai gaya kepemimpinan Ahok tidak baik dan 1,8% sangat tidak baik. Respoden yang menyatakan gaya kepemimpinan Ahok baik didasarkan‎ sejumlah alasan. Utamanya, karena tegas. Para respoden yang menyatakan Ahok tegas sebanyak 66,4%, berani 12%, jujur 5,1%, dekat dengan rakyat 5,1%, disiplin 3,7%, berwibawa 2,8%. Sementara respoden yang menyebut gaya kepemimpinan Ahok tidak baik dikarenakan alasan utamanya arogan atau sombong. Di sini responden menyatakan Ahok arogan sebanyak 76,6%, kurang dekat dengan rakyat 9,7%, ceplas-ceplos 6,3%, otoriter 2,9%, kurang tegas 2,3%, dan kinerjanya belum terbukti 0,6%.

Itulah kutipan sebagai pengantar tulisan ini, rasanya buku Mao, Kisah-Kisah yang Tak Diketahui, karya Jung Chang dan Jon Halliday, perlu juga untuk sekadar rujukan dan bacaan akhir pekan Ahok. 

Saya melirik buku Mao, Kisah-Kisah yang Tak Diketahui, karya Jung Chang dan Jon Halliday ini, sejak tahun 2010. Jung Chang adalah seorang penulis buku Angsa-Angsa Liar, dan suaminya, seorang sejarawan, Jon Halliday. Kedua penulis ini, dengan berani mengungkapkan siapa diri Mao Tse-tung yang sesungguhnya. Chang dan Halliday menyajikan potret Mao yang tidak memuaskan sebagian kalangan. Sebab, dalam buku Mao, Kisah-Kisah yang Tak Diketahui ini, Chang dan Halliday memperlihatkan Mao sebagai salah satu monster terbesar abad ke-20 bersama Hitler dan Stalin. 

Buku Mao versi Chang dan Halliday adalah terpadat setelah Mao garapan Philip Short tahun 1999, dan The Private Life of Chairman Mao karya Li Zhisui tahun 1995. Penelitian yang luar biasa. Setidaknya, Chang dan Halliday mengunjungi wilayah pertempuran Long March. Pertempuran ini, salah satu elemen paling berharga dari sejarah Komunis China. Chang dan Halliday mengklaim bahwa pertempuran paling terkenal dari Long March, di Jembatan Dadu pada tahun 1935, tidak pernah terjadi. 

Salah satu kunci dan bukti adalah wawancara dengan wanita lokal berusia 93 tahun dan bertemu Chang dan Halliday tahun 1997. Kemudian, dilengkapi wawancara tahun 1983 dengan kurator museum di Jembatan Dadu. Penelusuran lain, gua Mao di Yan'an, 'lebih dari dua lusin' vila pribadi rahasia Mao di seluruh negeri, arsip-arsip Rusia Albania, Bulgaria, London dan Washington DC. Mereka bahkan mencoba - dan gagal - untuk mendapatkan akses terkait peringatan perang China di Pyongyang. 

Jung Chang dan Jon Halliday berkeliling dunia untuk mengumpulkan berbagai macam arsip, dokumen, literatur, buku, dan catatan-catatan lain. Kedua penulis ini, melakukan rekonstruksi sejarah pada hampir setiap episode dalam kehidupan Mao yang penuh gejolak. Untuk melengkapi data yang ada, Jung Chang dan Jon Halliday, melakukan sejumlah wawancara dengan narasumber yang dianggap relevan dengan kisah Mao. 

Tercantum dalam daftar tokoh-tokoh yang diwawancarai, halaman 829, mereka adalah sumber nasionalis, keluarga dan kerabat Mao, teman-teman sejawat dan dekat, staf terdekat, staf medis, pacar-pacar Mao, staf jajaran pemimpin, penerjemah, sekretaris, pengawal pribadi, eselon top, dan saksi-saksi kunci dalam peristiwa-peristiwa yang berkait dengan Mao, saksi-saksi mata peristiwa-peristiwa penting, sejarawan dan penulis dengan akses khusus. 

Buku ini mengutip beberapa nama, terdiri dari 363 responden di 38 negara, termasuk dua mantan presiden Amerika Serikat, Lee Kuan Yew, Mobutu Sese Seko, Yang Shangkun, dan pemimpin Pengawal Merah Kuai Dafu. Chang dan Halliday juga mengutip lusinan wawancara dengan sumber anonim, termasuk seorang pekerja laundry yang menggambarkan bahan katun halus yang digunakan untuk pakaian Mao di Yan'an, dan sekitar seribu sumber tertulis non-arsip, termasuk dipublikasikan dan tidak dipublikasikan karya dalam bahasa Cina, Inggris, Rusia, Perancis dan Italia. Bahkan, para narasumber tidak hanya berasal dari negeri China.

Menariknya, halaman 837, disebutkan narasumber berasal dari Indonesia, Jusuf Adjitorop. Jung Chang dan Jon Halliday hanya mengungkapkan penyesalannya karena tidak dapat menyebut arsip-arsip yang diteliti di China Daratan.

Buku garapan Jung Chang dan Jon Halliday ini, ditulis dengan analisa yang pedas dengan rujukan yang komprehensif, di bagian awal disebutkan bagaimana prinsip-prinsip umum Mao yang inkonsisten, psikologis yang sangat rumit, tabiat, ajaran-ajaran, dan brutal. Mao pernah mengungkapkan bahwa pendekatan untuk mengubah China adalah dengan penghancuran. Halaman 19, saat Mao berusia dua puluh empat tahun, "Negara harus dihancurkan lalu dibentuk kembali. Ia mengarahkan pernyataan itu bukan hanya untuk China tetapi juga untuk seluruh dunia bahkan untuk alam semesta. Ini berlaku bagi negara, bangsa dan umat manusia. 

Orang seperti aku mendambakan penghancuran alam semesta, karena ketika alam semesta yang lama dihancurkan, alam semesta baru akan terbentuk." Inilah inti pemikiran Mao sepanjang hidupnya. Mao juga menggunakan kampanye teror dan mengeksekusi orang-orang yang menentangnya, halaman 118. Fakta, ketika Mao melakukan gerakan Lompatan ke Depan dan Revolusi Kebudayaan. Tahun 1957, saat Mao berada di Moskow, "Kami siap mengorbankan 300 juta rakyat China demi revolusi dunia," halaman 574. Chang dan Halliday juga menyatakan bahwa lawan politik utama Mao di Yan'an, Wang Ming, diracun oleh Dr Jin, bertindak atas perintah Mao. 

Buku ini, melukiskan Mao adalah ciptaan Soviet. Di sisi lain, buku ini membantu seseorang untuk memahami perpecahan Sino-Soviet. Hubungan Sino-Soviet sangat akrab saat Stalin masih berkuasa. Namun, ketika Stalin meninggal, Hubungan Sino-Soviet menjadi tidak jelas. Sebab, perebutan posisi sebagai 'bos komunisme internasional' antara Khrushchev dan Mao. Chang dan Halliday memperkirakan bahwa Mao bertanggung jawab atas 70 juta orang yang mati karena kelaparan. Berbeda dengan hasil penelitian Amerika yang mengajukan angka 30 sampai 40 juta orang.  Buku ini menyediakan informasi baru tentang 'kebrutalan' Mao dengan gaya meletakkannya di meja samping tempat tidur di seluruh dunia. Tak heran pemerintah China pernah melarang Mao, Kisah-Kisah yang Tak Diketahui, dalam versi bahasa Inggrisnya, Mao: The Unknown Story karya Jung Chang dan Jon Halliday. 

Selain sebagai tokoh Partai Komunis China, Mao adalah tokoh yang penuh dengan mitos, dan itulah mengapa potretnya tergantung di Lapangan Tiananmen. Bahkan, rakyat China tidak segan mengatakan bahwa Mao masih hidup di hati mereka. Pertanyaannya, benarkah ia seseorang yang layak dikultuskan? Pertanyaan itulah yang dijawab Jung Chang dan Jon Halliday. Buku setebal 5 centimeter ini, kedua penulis berupaya keras mengungkapkan siapa diri sesungguhnya Mao? Diawali dari watak pribadi, karakter, rutinitas, kehendak, kegemaran, hingga orientasi ideologisnya. Bahkan sepak terjang dan tipu muslihat Mao di dunia politik pun dikuliti habis. 

Jung Chang dan Jon Halliday menegaskan, misalnya, bahwa Mao sesungguhnya bukan pendiri Partai Komunis China, seperti yang banyak diyakini. Selain itu, mereka bergantung pada penelitian arsip-arsip Rusia yang menunjukkan bahwa sepenuhnya China di bawah ibu jari Rusia. Dalam satu periode sembilan bulan di tahun 1920-an, misalnya, 94 persen dari dana partai berasal dari Rusia, dan hanya 6 persen dibesarkan secara lokal. Mao menjadi pemimpin partai bukan karena ia adalah figur karismatik rakyat China, tetapi karena Moskow memilih Mao. 

Dalam laman pribadinya, ia mengungkapkan berdasarkan satu dekade penelitian, dan wawancara dengan banyak lingkaran terdekat Mao di China yang tidak pernah berbicara sebelumnya, dan dengan hampir semua orang di luar China yang pernah bertemu secara signifikan dengannya. Buku ini adalah kehidupan Mao paling otoritatif, yang pernah ditulis. 

Proyek kesayangan Mao yang terlalu percaya diri dan tidak rasional malah membawa dampak kesengsaraan bagi rakyat China. Adalah pembuatan tanur rakyat yang akhirnya ditelantarkan. Pemborosan material dan tenaga manusia yang luar biasa, memicu kerugian yang jauh lebih besar. Sementara itu, masa Revolusi Kebudayaan tahun 1966, secara gamblang Mao menegaskan untuk melakukan Pembersihan Besar-Besaran. Mao menggunakan Jiang Qing, kepala polisinya, dalam penggayangan kebudayaan di seluruh negeri. Salah satu tugas Jiang Qing adalah membuat manifesto untuk mengecam setiap bentuk kebudayaan dijalankan oleh para pejabat yang mengikuti "kebijakan gelap yeng bertentangan dengan pemikiran Mao"

Sebagai sebuah biografi, buku ini sangat mudah diikuti, karena setiap babnya adalah periodesasi usia Mao dengan peristiwa-peristiwa khusus. Semisal, bab Menjadi Orang Komunis, dituliskan periode ini terjadi pada tahun 1920-1925, di usia 17-26, lalu Bersaing dengan Stalin dituliskan terjadi pada tahun 1947-1949, pada usia 53-55. Penyusunan seperti ini, ibarat ensiklopedia Mao. Pembaca dituntun menelusuri perkembangan pemikiran sampai metamorfosis orientasi politis Mao dari masa ke masa. 

Sedangkan bagi para peneliti sejarah, periodesasi dalam buku ini memudahkan pelacakan dan perunutan setiap peristiwa sejarah, terutama jika dikaitkan dengan peritiwa-peristiwa lain dalam stadium yang sama. Jung Chang, saksi hidup yang pernah mengalami tekanan yang berat di masa Mao. Dan, Jon Halliday berhasil melakukan penelusuran sejarah Mao secara mengagumkan. Semua bahan yang dihimpun dan disusun menjadi sebuah historiografi. Upaya kedua penulis buku ini, dalam menghimpun dan menyusun, merangsang pembaca untuk setia mengikuti Mao dalam setiap babnya. Dan, acap kali melampirkan fakta-fakta yang belum diketahui orang, hingga akhir.

Buku garapan Jung Chang dan Jon Haliday bukan sekadar sebuah biografi Mao, tetapi buku ini mematahkan teori mitos Mao. Jung Chang dan Jon Halliday seperti ingin 'melucuti baju' Mao kepada dunia bahwa Mao telah meriwayatkan kehidupannya yang kelam bagi kemanusiaan di China.

Judul : Mao, Kisah-Kisah yang Tak Diketahui
Penulis : Jung Chang dan Jon Halliday
Penerjemah : Martha Wijaya dan Widya Kirana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan kedua : Agustus 2007
Tebal : 958 hlm 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun