Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jelang Revisi UU Penyiaran, Heboh Blur, KPI Tersandera?

26 Februari 2016   23:00 Diperbarui: 28 Februari 2016   14:01 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Pengukuhan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah memberikan fasilitas kewenangan atas izin siar (foto: tribunnews.com)"][/caption]

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menegaskan tidak mengeluarkan kebijakan ataupun permintaan kepada lembaga penyiaran (stasiun televisi) melakukan pengebluran terhadap program animasi, kartun dan siaran Putri Indonesia. KPI juga menyatakan lembaganya bukanlah lembaga sensor. Demikian pernyataan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dirilis dalam situs resminya, menanggapi pernyataan netizen di media sosial yang banyak beredar belakangan ini yang menyatakan KPI melakukan hal itu. 

Lebih lanjut, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat juga tidak pernah mengeluarkan kebijakan atau aturan diluar ketentuan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Aturan yang terdapat di P3SPS KPI sudah sangat jelas menyatakan apa yang boleh dan tidak boleh ditayangkan lembaga penyiaran seperti larangan penayangan adegan kekerasan dan pornografi. Tetapi, peraturan KPI tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi kreativitas insan penyiaran. Pihak lembaga penyiaran dipersilahkan memperhatikan setiap program acaranya dengan cara pandang atau estetika yang memang layak dan pantas ditayangkan untuk publik. 

Pernyataan bernada bantahan ini muncul setelah abuh hingar bingar para netizen memperbincangkan perkara lembaga penyiaran yang melakukan sensor terhadap adegan yang dianggap tidak pantas. Berdasarkan amatan di media sosial, baik twitter maupun facebook, adegan yang dimaksud dalam program animasi dan kartun. Diantaranya, Shizuka Minamoto, adegan di film Doraemon ini menampilkan tokoh Shizuka mengenakan baju renang, seperti daster panjang sampai ke paha. Sandy Cheeks, adegan di film Spongebob SquarePants ini menampilkan tokoh Shandy Cheeks, tupai humanoid yang hidup di dalam air mengenakan baju astronot mutakhir, dan bikini saat bulu-bulunya rontok oleh ulah temannya.

Menanggapi persoalan tersebut, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mempersilahkan pihak media mengklarifikasi kepada stasiun televisi mengenai pengebluran pada beberapa program sehingga informasi yang disampaikan berimbang dan komprehensif.

Tidak kalah serunya, tayangan siaran ulang ajang kontes kecantikan yang mengaburkan (blur) beberapa bagian tubuh finalis Puteri Indonesia (PPI) 2016. 

Terkait siaran ulang malam final Pemilihan Puteri Indonesa (PPI) 2016 yang di-blur, Dicky Sadikin, Executive Producer Malam Puncak PPI 2016, membenarkan adanya penyensoran sejumlah busana kontestan. Ia mengatakan penyensoran itu dilakukan atas inisiatif pihak Indosiar sendiri, bukan pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seperti yang dituduhkan para netizen. Menurutnya, Kebijakan untuk menyensor diputuskan saat rapat internal. Pada rapat itu, disebutkan bahwa ada sejumlah busana karya Anne Avantie dan putrinya Intan Avantie yang terlalu terbuka sehingga harus disensor. 

Cukup jelas bukan? Siapa yang melakukan pengebluran?

Sebelumnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menerbitkan edaran Selasa, 23 Februari 2016, dengan nomor /K/KPI/02/16 kepada seluruh lembaga penyiaran untuk tidak menampilkan pria sebagai pembawa acara (host), talent, maupun pengisi acara lainnya (baik pemeran utama maupun pendukung) dengan tampilan sebagai berikut:

  1. Gaya berpakaian kewanitaan
  2. Riasan (make up) kewanitaan
  3. Bahasa tubuh kewanitaan, (termasuk namun tidak terbatas pada gaya berjalan, gaya duduk, gerakan tangan, maupun perilaku lainnya)
  4. Gaya bicara kewanitaan
  5. Menampilkan pembenaran atau promosi seorang pria untuk berperilaku kewanitaan
  6. Menampilkan sapaan terhadap pria dengan sebutan yang seharusnya diperuntukkan bagi wanita
  7. Menampilkan istilah dan ungkapan khas yang sering dipergunakan kalangan pria kewanitaan.

Edaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat tersebut, berdasarkan hasil pemantauan dan aduan yang kami terima, terdapat program siaran yang masih menampilkan pria yang berperilaku dan berpakaian seperti wanita. Terlepas dari pro kontra,Kamis, 18 Februari 2016, dengan nomor 184/K/KPI/02/16 yang ditujukan kepada seluruh lembaga penyiaran untuk tidak memberikan ruang yang menampilkan praktik, perilaku dan promosi LGBT. Promosi yang dimaksud dapat dilihat dari aspek judul/tema, narasi, pembawa acara, keberimbangan narasumber dan durasi dalam menyampaikan pendapat dan kesimpulan yang memuat pesan bahwa LGBT sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan. Edaran tersebut, berdasarkan pemantauan KPI Pusat, banyak stasiun televisi menyiarkan program yang mengangkat tema Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), baik dalam program jurnalistik maupun non jurnalistik.

Visi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang tertuang dalam situsnya, adalah terwujudnya sistem penyiaran nasional yang berkeadilan dan bermartabat untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Sehingga terbangun misi, salah satunya, melaksanakan kebijakan pengawasan dan pengembangan terhadap struktur sistem siaran dan profesionalisme penyiaran. Tentunya, lembaga penyiaran juga sudah sepatutnya diperkukuh sebagai instrumen penyiaran yang berpihak kepada publik dan tidak hanya bergerak secara komersial. Sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 (UU Penyiaran), adalah untuk membentuk watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa.

Lalu, ada apa dibalik isu sensor atau blur ?

Satu hal, dalam pidato kenegaraannya, Presiden Joko Widodo mengeluhkan tayangan yang tidak mendidik-patut didukung. Mumpung, jelang pembahasan rencana revisi Undang-Undang Penyiaran adalah semangat mendorong adanya penguatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Selama ini, program tayang yang berbau kekerasan, tubuh molek perempuan, horor, dan mistis yang melukai akal sehat dapat terus tayang sebab fungsi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hanya mampu memberikan sanksi administratif. 

Sepakat, jika pengukuhan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah memberikan fasilitas kewenangan atas izin siar. Sementara, selama ini, wewenang tersebut ada di tangan Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebatas memberikan rekomendasi. Akibatnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak berwibawa di hadapan lembaga industri penyiaran. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun