Setelah bernapas lega untuk beberapa bulan karena iuran BPJS Kesehatan (BPJSK) yang turun ke level semula, masyarakat dikejutkan dengan rencana pemerintah untuk kembali menaikkan iuran BPJSK. Mahkamah Agung (MA) melalui keputusannya memang telah mementahkan upaya sebelumnya, namun kini pemerintah kembali berupaya untuk menggolkan rencana tersebut. Tarif baru akan diberlakukan mulai bulan Juli mendatang untuk kelas I dan II, sedangkan kelas III masih akan disubsidi oleh pemerintah hingga tahun depan.
Banyak yang menyayangkan sikap pemerintah yang dianggap kurang memiliki sense of crisis sehingga tega mencekik masyarakat yang kini masih harus bergulat dengan daya beli yang melemah dan ancaman PHK. Namun pemerintah tentunya memiliki alasan dalam mengambil kebijakan yang tidak populer tersebut. Kondisi BPJSK yang selalu dirundung defisit tidak menyisakan banyak opsi bagi pemerintah.
Ditambah dengan masa pandemi yang berkepanjangan, tagihan yang dialamatkan ke BPJSK tentu akan terus membengkak. APBN tahun ini sudah dapat dipastikan tidak bisa disentuh karena akan diprioritaskan untuk penanganan pagebluk Covid-19. Setelah beberapa kali menyuntikkan dana untuk menyelamatkan operasional BPJSK, pemerintah memutuskan untuk mengambil opsi terakhir, yakni dengan menaikkan iuran kepesertaan untuk semua kelas. Gagal dalam kali pertama, maka dicoba untuk kali kedua.
Keputusan MA yang sebelumnya membatalkan kenaikan iuran ternyata menyisakan peluang bagi pemerintah untuk kembali menaikkan iuran asuransi sejuta umat tersebut dengan catatan melakukan perbaikan dan efisiensi terlebih dahulu.
Berbekal data adanya hasil optimalisasi bauran kebijakan antara perbaikan kolektibilitas dan efisiensi klaim layanan sebesar Rp5,2 triliun serta optimisme pemerintah bahwa dengan adanya kenaikan iuran akan menghijaukan kondisi keuangan BPJSK maka pemerintah mantap untuk melanjukan rencana (kembali) menaikkan iuran BPJSK.
Langkah pemerintah ini tentu saja berpotensi untuk kembali digugat ke MA dan juga berpotensi untuk kembali dibatalkan MA seperti yang terjadi pada aturan transportasi daring yang diajukan dan akhirnya dibatalkan berulang kali.
Berbicara lebih jauh mengenai BPJSK memang cukup pelik, dicintai namun juga diabaikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa BPJSK telah menjadi dewa penyelamat bagi banyak kalangan bawah masyarakat Indonesia untuk urusan kesehatan. Mereka mampu mengakses fasilitas kesehatan yang sebelumnya hanya bisa dijangkau oleh masyarakat yang tergolong mampu.
Dengan jumlah kepesertaan yang semakin meningkat, masyarakat yang memanfaatkan BPJSK tentu akan meningkat dan berbanding lurus dengan semakin besarnya jumlah klaim yang harus dibayar oleh BPJSK ke rumah sakit mitra. Namun sayangnya peningkatan nilai klaim seringkali tidak diimbangi dengan kenaikan setoran iuran dari pesertanya.
Mungkin sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak peserta BPJSK yang sengaja menunggak pembayaran iuran dan baru “mengebut” pembayaran ketika hendak memanfaatkan fasilitas BPJSK. Inilah yang menjadi awal dari jeratan defisit keuangan yang dialami oleh BPJSK hingga pemerintah harus menyuntikkan dana berkali-kali.
Tanpa kenaikan iuran maupun suntikan dana pemerintah, operasional BPJSK tentu akan terhambat karena tidak dapat membayarkan klaim ke rumah sakit mitra sehingga dampak terburuk yang mungkin terjadi adalah rumah sakit mitra akan menolak untuk menangani pasien yang berbekal kartu BPJSK. Hal ini dikarenakan tidak semua rumah sakit mitra sanggup untuk melanjutkan operasionalnya karena memiliki modal yang terbatas.
Terlanjur menalangi biaya pengobatan pasien namun tak jelas kapan pencairan dari BPJSK tentu akan membuat rumah sakit mitra untuk mempertimbangan kembali kemampuan mereka dalam menangani masyarakat pengguna BPJSK.
Di satu sisi rumah sakit seharusnya bersifat sosial dalam arti harus mengutamakan pelayanan terhadap masyarakat namun di sisi lain kita juga harus mafhum bahwa rumah sakit juga harus memikirkan keberlangsungan operasionalnya. Jika terus mengalami “rugi bandar” dan tetap dipaksa melayani pengguna BPJSK, bukan tidak mungkin akan banyak rumah sakit yang tumbang dan akhirnya pelayanan kesehatan masyarakat menjadi taruhannya.
Prinsip dasar kepesertaan BPJSK sebenarnya sangat mencerminkan natur masyarakat Indoensia, yakni gotong royong. Peserta yang mampu akan mensubsidi peserta yang kurang mampu melalui selisih iuran yang dibayarkan. Pemerintah pun menunjukkan kehadirannya dengan membayarkan iuran bagi masyarakat yang terdata sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) yakni fakir miskin dan golongan masyarakat yang tidak mampu lainnya.
Namun dengan tingginya tingkat ketidaksiplinan sebagian masyarakat dalam membayarkan iuran BPJSK tentunya mengakibatkan praktik pelaksanaan gotong rotong tersebut menjadi pincang. Biaya layanan kesehatan juga semakin meningkat dari tahun ke tahun sehingga memang sudah sewajarnya jika besaran iuran BPJSK disesuaikan dengan tingkat inflasi yang ada. Jika UMR saja disesuaikan dengan tingkat inflasi setiap tahunnya, mengapa iuran BPJSK tidak?
Naiknya iuran kepesertaan sepertinya menjadi langkah yang memang harus ditempuh saat ini untuk memberikan sedikit napas bagi BPJSK. Sementara untuk jangka panjang, strategi pengelolaan dana yang lebih mumpuni adalah suatu keharusan agar BPJSK dapat berjalan mandiri sebagaimana halnya dengan BPJS Ketenagakerjaan. Efisiensi juga harus menjadi kata kunci dalam pengelolaan sehingga defisit tidak menjadi alasan klise untuk terus mengajukan suntikan dana dari pemerintah ataupun menaikkan iuran peserta.
Yang menjadi sorotan utama adalah kenaikan iuran yang mencapai hampir dua kali dari besaran iuran semula dan dilakukan di saat pandemi ini tentu akan memberikan efek kejut terhadap masyarakat, terutama kelompok peserta mandiri. Namun jika iuran tidak dinaikkan dan APBN tidak sanggup mengucurkan dana talangan, tak pelak nasib BPJSK bak buah simalakama, dipertahankan tak ada modal, dihapuskan malah mencederai tujuan negara dalam melindungi (hak kesehatan) segenap warga negaranya.
Solusi bagi masyarakat yang merasa terdampak dengan kenaikan iuran adalah dengan turun “kasta” mengingat tidak ada perbedaan layanan yang signifikan bagi masyarakat yang tercatat sebagai peserta kelas I, II, ataupun III selain dari jenis ruang perawatan saat menginap di rumah sakit. Menunggak pembayaran iuran justru akan semakin memperburuk kondisi BPJSK.
Selain masyarakat mengalami hambatan ketika hendak memanfaatkan layanan BPJSK, bisa jadi BPJSK akan mengurangi jumlah layanan yang dapat dinikmati masyarakat termasuk jenis obat yang masuk dalam tanggungan BPJSK. Hal tersebut tentu bertujuan untuk menekan tingginya biaya klaim rumah sakit dan menekan defisit yang mendera BPJSK. Semakin berkurangnya jenis layanan BPJSK ujung-ujungnya akan dirasakan oleh masyarakat itu sendiri, terutama masyarakat bawah yang sangat bergantung pada BPJSK untuk urusan kesehatan.
Mengingat BPJSK menganut prinsip gotong-royong, selain menaikkan iuran, tingkat kepesertaan harus dijaga agar tetap tinggi yang diimbangi dengan rendahnya tunggakan iuran dari para pesertanya. Tanpa kesadaran dari masyarakat untuk ikut menjadi peserta serta kerelaan untuk membayar iuran secara rutin dan tepat waktu, defisit akan terus menghantui kinerja BPJSK sampai kapanpun.
Menyelamatkan BPJSK bukanlah tanggung jawab pemerintah semata, melainkan tanggung jawab kita bersama. Hak sehat adalah hak dasar dari setiap warga negara dan kelancaran pembayaran klaim BPJSK ke fasilitas kesehatan akan menjamin kelancaran pelayanan kesehatan yang diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, mari kita bergotong-royong dengan rutin membayar iuran BPJSK sembari menjaga kesehatan diri kita, karena dengan gotong royong, semua tertolong. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H