September telah datang, bahkan sekarang sudah menunjukkan tanggal 4. Katanya, September adalah bulan yang ceria. Entah kata siapa saya lupa. Meskpun Agustus telah pergi, namun kenangannya tetap berarti. Terutama saat saya dan kawan-kawan Clickers melakukan napak tilas ke 3 museum pada tanggal 13 Agustus 2017. Salah satunya adalah Museum Kebangkitan Nasional.
Stasiun Gondangdia menjadi titik awal perjalanan. Kami berkumpul sekitar pukul 10.00 WIB dan berjalan kaki menuju Museum Kebangkitan Nasional yang terletak di Jl. Abd. Rachman Saleh No 26. Kami berjalan melewati Tugu Tani dan Jalan Kwitang. Kurang lebih 20 menit waktu tempuh dari stasiun ke museum.
86 tahun kemudian, tepatnya April 1595, Belanda menyusul jejak Portugis ke Nusantara melalui jalur yang berbeda. Dibawah pimpinan Cornelis De Houtman, Belanda memasuki Indonesia lewat Pantai Barat Afrika- Tanjung Harapan- Samudra Hinda- Selat Sunda dan melabuhkan kapalnya di Banten pada Juni 1596. Melalui perjalanan awal inilah banyak kaum Belanda yang terdorong untuk datang ke Indonesia hingga bisa menjajah ratusan tahun lamanya.
Pendidikan Mengubah Nasib Bangsa
Salah satu cara mengubah nasib bangsa adalah melalui pendidikan. Pada zaman Kerajaan Hindu-Budha, dikenal istilah pendidikan dengan istilah Karysan. Kemudian masuk ke kerajaan Islam, pendidikan lebih dinamis. Ada pesantren yang menggunakan metode wetonan dan sorogan.
Kemudian ketika masuknya VOC ke nusantara, berkembanglah pendidikan formal yang awalnya dilakukan oleh lembaga keagamaan. Nilai-nilai agama Kristen Protestan dijadikan sebagai dasar pendidikan.
Hingga kemudian terbentuklah Sekolah Dasar untuk Anak Belanda dan Bangsawan dan Sekolah Dasar untuk Anak Pribumi. Tapi sayangnya pendidikan saat itu terutama sekolah untuk pribumi tujuan utamanya bukan untuk meningkatkan taraf hidup manusia, tetapi untuk mendapatkan pegawai dengan upah yang minim.
Di STOVIA, belajar mulai pukul 7 pagi sampai 12.30. Setiap mata pelajaran memiliki waktu 50 menit. Setiap perpindahan mata pelajaran ada waktu 10 menit istirahat. Pada pukul 20.00-22.00, pelajar kembali memasuki kelas untuk belajar bersama di bawah bimbingan guru pendamping.
Pada 1906 Wahidin Sudiro Husodo keliling Pulau Jawa untuk menyampaikan gagasannya mengenai Dana Belajar untuk anak pribumi tidak mampu yang cerdas. Desember 1907 Wahidin mengunjungi STOVIA dan menyampaikan gagasannya di sana. Beberapa bulan setelah kunjungannya para pelajar merencanakan gagasan mendirikan organisasi modern.
Rencana mendirikan organisasi disosialisasikan oleh Soetomo ke pelajar STOVIA lain untuk mendapatkan tanggapan dan dukungan. Mayoritas pelajar STOVIA setuju. 20 Mei 1908, Sootemo mengadakan musyawarah untuk mendirikan organisasi. Hingga terbentuklah organisasi modern pertama dengan nama Boedi Oetomo dengan Soetomo sebagai ketuanya.
Setelah berdirinya Boedi Oetomo, akhirnya terbentuklah beragam organisasi pergerakan nasional di Indonesia dengan berbagai corak. Beberapa contohnya seperti Perhimpunan Indonesia, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama , Indische Partij dan PNI.
Hingga pada 28 Oktober 1928, para pemuda berkumpul dari segala macam perbedaan organisasi, suku, agama dan ras. Mereka menyuarakan tanah air yang satu, bangsa yang satu dan bahasa yang satu.
Kami putra-putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia
Kami putra-putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia
Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia
Merinding ketika membayangkan kejadian saat itu di museum. Apalagi ketika masuk ke salah satu ruangan di Museum Kebangkitan Nasional, Asrama Mahasiswa STOVIA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H