Mohon tunggu...
Yogi Setiawan
Yogi Setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Aku adalah

Pemuda yang penuh semangat, senang berbagi dan pantang menyerah. Mulai menulis karena sadar akan ingatan yang terbatas. Terus menulis karena sadar saya bukan anak raja, peterpan ataupun dewa 19.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ratu Semut

7 Januari 2016   01:23 Diperbarui: 1 April 2017   08:55 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 sumber ilustrasi

Aku tak mampu menghirup oksigen.

Jantungku tak lagi berdetak.

 

Dimana aku hari ini.

Tak ada cahaya.

Tak ada suara.

Sempit,

hingga tak ada ruang gerak bagiku.

 

Sekumpulan cacing menggeliat-geliat disamping badanku.

Sekumpulan semut berbaris dihadapanku.

Ada sekelompok semut yang membawa bendera.

Ada sekelompok semut yang membawa terompet, tamborin, dan

berbagai kelengkapan alat drumband.

 

Tiba-tiba ada teriakan.

Kepada peserta upacara, hormat ... gerak.

Seluruh semut mengangkat kaki depannya dan

ditaruh disamping kepalanya.

Tegap ... gerak.

Seluruh semut menurunkan kaki depannya.

Cacing bingung. 

Dia tak bisa angkat kaki, 

begitu pula turunkan kaki.

 

Aku pandang siapa yang berteriak barusan.

Ternyata dari seeekor semut yang berdiri di depan,

memakai jubah hitam panjang

yang hampir menutupi seluruh kakinya, di kepala terpasang mahkota.

 

Mungkin dia raja semut aku pikir.

Oiya, semut tak punya raja.

Dia punya ratu.

Seperti bangsa lebah.

 

Ratu semut itu berpidato.

Wahai kaum semut,

kita sebagai makhluk yang kecil di dunia ini,

harus menjaga tanah petani dari serangan hama.

Keterbatasan kekuatan yang kita miliki bukanlah alasan.

Kita harus berjuang membantu petani,

menjaga kesejahteraan petani, dan menjaga ketahanan pangan.

 

Tidak hanya pasukan semut yang mengangguk.

Sekelompok cacing menggeliat-geliat,

tanda setuju apa yang dikatakan ratu semut.

 

Kita harus bantu petani yang menjaga kehidupan kita.

Petani yang memakai kotoran sapi dan kambing untuk pupuknya.

Petani yang memberikan manisan kepada kita.

Petani yang tidak menyemprotkan racun kepada kita.

 

Pasukan semut harus tetap ada.

Pasukan cacing harus tetap ada.

Kita tak dibayar untuk menjaga tanah.

Kita tak dibayar untuk membantu petani.

Tak pula dibayar untuk ketahanan pangan.

Itu semua memang sudah tugas kita,

menjadi semut dan cacing di dunia ini.

 

Hidup semut ... hidup cacing ...

Hidup semut ... hidup cacing ...

Semua pasukan mengikuti kata sang ratu.

 

Pasukan semut yang membawa terompet, tamborin dan

berbagai kelengkapan alat drumband,

membunyikan semua alatnya.

Memainkan satu lagu tanda setuju, pengharapan,

dan perjuangan.

Gegap gempita menghidupi tempat ini.

 

Tak lama semua pasukan dibubarkan.

Sang ratu pergi meninggalkan pasukan.

Semua kembali ke pekerjaan masing-masing.

 

Jantungku kembali berdetak.

Oksigen kembali kuhirup.

Untung aku masih hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun