Ini merupakan pertanyaan sederhana, dengan implikasi yang tidak sederhana. Terlebih dalam situasi kehidupan kaum muda (pelajar) saat ini.
Ada alternatif jawaban. Nilai evaluasi untuk siswa, untuk pengajarnya atau institusi tempat belajar, untuk orang tua siswa, atau untuk dinas pendidikan. Kita akan lihat satu per satu.
Nilai evaluasi belajar adalah untuk siswa. Ini adalah jawaban paling normal. Karena yang belajar adalah siswa. Siswa belajar untuk menyerap ilmu yang diberikan guru. Guru melakukan evaluasi seberapa besar ilmu yang diserap siswa. Tinggi rendahnya evaluasi menyatakan tinggi rendahnya kemampuan menyerap ilmu yang bisa diukur.
Maka ketika akan dilakukan evaluasi, siswa mempersiapkannya. Ketika dilakukan evaluasi, siswa mengerjakannya dengan sebaik mungkin. Tentu tidak ada siswa yang ingin dinyatakan kemampuannya rendah. Maka siswa harus mempersiapkannya dengan baik. Guru sudah berbaik hati untuk memberikan jadwal rencana evaluasi.
Pada masa kini, ada banyak guru yang baik hati. Jika guru akan mengadakan ulangan harian, dan siswanya merasa belum siap, siswa bisa minta agar ulangan harian diundur. Ada guru yang baik hati untuk meluluskan permintaan tersebut. Bukannya tak bisa "move on," namun di masa lalu hal seperti ini adalah langka. Jika rencana ulangan sudah diumumkan, maka apa pun yang terjadi, ulangan tetap dilaksanakan.
Dan masih ada satu lagi kebaikkan guru "jaman now," yaitu remidi, perbaikan nilai. Di masa lalu tak ada perbaikan nilai. Jika nilai ulangan jelek, harus diterima dengan lapang dada.
Namun sayangnya, kebaikkan-kebaikkan seperti ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh sebagian kecil siswa. Jika hasil evaluasi belajar nilainya jelek, amat jarang yang minta kepada gurunya untuk perbaikan nilai. Kadang, yang minta perbaikan adalah yang nilainya sudah bagus, supaya kelak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang favorit. Yang nilainya jelek malah cuek bebek.
Apakah tulisan ini berburuk sangka pada siswa? Mari kita bandingkan dengan pilihan jawaban lain. Nilai evaluasi belajar untuk pengajar atau institusi tempat belajar. Pernahkah Anda mendengar ada guru yang mengeluh honornya dipotong karena memberikan nilai jelek pada rapor belajar siswa? Silahkan googling.
Mungkin ada guru yang kemampuan mengajarnya buruk. Ini bisa terlihat dari perbandingan hasil evaluasi pada kelas yang sama, dengan guru pengajar yang berbeda. Namun jika seorang guru berkeras hati memberikan nilai jelek pada siswa sekelas, dan itu berimplikasi pada penilaian kinerja, bahkan berimplikasi pada penurunan honor, rasanya guru tak keberatan untuk mendongkrak nilai siswa. Jika lebih dari separuh guru yang mengajar memberikan nilai yang rendah pada siswa suatu kelas, bukankah itu menjadi tanda bahwa kualitas SDM siswa yang memang lebih rendah.
Saat ini, pemberian nilai terhadap siswa diamati dengan cermat oleh orang tua siswa. Jika 10% dari jumlah siswa tidak naik kelas, tentu ada orang tua siswa yang tidak tinggal diam. Orang tua siswa pasti akan melapor ke dinas pendidikan, dan dengan senang hati dinas pendidikan akan menerima laporan tersebut. Maka sekolah, institusi pendidikan setempat, tidak berharap para siswanya mendapat nilai buruk.
Justru yang saya dengar terjadi adalah, menjelang penerimaan rapor guru mengharapkan, kalau tak mau disebut mengejar-ngejar, siswanya agar segera mengerjakan tugas-tugas yang belum dikerjakan. Guru berharap agar nilai-nilai yang buruk diperbaiki. Guru tak ingin memberi nilai buruk pada siswa, tapi juga tak ingin memberikan nilai hasil rekayasa.Â
Nilai evaluasi belajar adalah untuk orang tua siswa. Memang benar tidak ada orang tua siswa yang ingin melihat anaknya mendapat nilai jelek. Namun patut dipercaya bahwa orang tua siswa akan berpikir logis. Baik atau buruk nilai siswa adalah hasil penilaian yang obyektif. Jika seorang siswa berprestasi di tingkat SD, namun jeblok di tingkat SMP, tentu tak serta-merta orang tua siswa menyalahkan guru atau institusi pendidikannya.Â
Jika teman-teman dari SD yang sama juga jelek nilainya ketika di SMP, mungkin kualitas pendidikan di tingkat SD yang buruk. Jika ternyata hanya siswa tersebut yang nilainya buruk, tentu orang tua akan bertanya pada anaknya apa yang terjadi.
Jika suatu jenjang pendidikan memang pelit memberikan nilai, maka tak mungkin ketiga jenjang pendidikan, SD, SLTP dan SLA, sama pelitnya. Jika pelit di satu tingkatan, maka kiranya di tingkatan lain kriteria penilaiannya akan lebih murah hati. Maka akan kelihatan jenjang pendidikan mana yang pelit penilaian, jika memang terjadi demikian.
Nilai evaluasi belajar adalah untuk dinas pendidikan. Tentu dinas pendidikan tak ingin disebut gagal jika sekolah-sekolah yang ada di daerah pelayanannya memiliki nilai hasil evaluasi yang buruk.Â
Kepada dinas pendidikan daerah yang mana yang ingin seperti itu. Karena mungkin satu-satunya pengaruh nilai hasil evaluasi hanya kepada kepala dinas pendidikan daerah setempat.Â
Jika suatu tahun nilai rata-rata hasil evaluasi suatu daerah berada di peringkat atas secara nasional, kemudian di tahun berikutnya menjadi nilainya menjadi yang terburuk, akan mempengaruhi karier kepala dinas pendidikan setempat.
Jadi ... memang semuanya berharap bahwa nilai hasil evaluasi belajar siswa adalah yang terbaik. Namun apakah harapan ini sebanding dengan upaya yang dilakukan. Satu-satunya yang bisa mengingkari pernyataan harapan dengan usaha yang dilakukan hanyalah pihak siswa. Padahal, bukankah nilai evaluasi hasil belajar itu terutama juga untuk siswa?
Maka para siswa hendaklah realistis. Hasil tak bisa mengingkari usaha. Namun usaha bisa mengingkari pernyataan harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H