Malang betul nasib bocah cempreng ini. Hanya gegara bacotnya yang ceplas-ceplos, Fizi dianggap bangor. Karakternya pun digibah ramai di jagat maya dan jadi bulan-bulanan warga +62. Alhasil pemilik nama lengkap Mohammad Al-Hafeezy, sukses dicap sebagai tokoh anak tak ada akhlak.
Tingkahnya berhasil membuat kita gondok, pasca kompilasi adegan dialog Fizi yang nyebelin, bertebaran di medsos khususnya YouTube. Potongan video yang beberapa diantara sudah dibumbui content creator itu, memancing banyak orang untuk mengomentarinya, termasuk saya.
Saya sepakat, Fizi emang salah. Ocehannya mengalir bebas tanpa saringan itu selalu bablas. Teman dekatnya pun kena imbasnya. Saat Fizi, Mail, Upin dan Ipin ngobrol di sebuah surau yang menjadi awal Fizi menuai banyak kecaman, disusul pencarian jejak digital Fizi dengan kelakuan konyolnya. Â Â
Saat itu, mereka membahas tentang surga di bawah telapak kaki ibu. Saat Upin bertanya. "Kalo tak ada Ibu?" Dengan enteng, Fizi nyamber "Tak ade lah surge." sambil cekikikan.
Jawaban bangke Fizi itu membuat Upin dan Ipin sedih. Wajar dong, secara kedua bocah kembar itu anak yatim yang diasuh Opa, neneknya. Sadar situasi berubah haru, Mail segera menepuk pundak Fizi untuk menyadarkannya. Tujuannya agar Fizi tidak melanjutkan celotehan menyayat hati.
Itulah Fizi, yang seketika tersadar jika ditegur. Tapi saya nggak pengen berpanjang kali lebar membahas tingkah absurd Fizi. Lagian, bukan cuma Fizi seorang tokoh kurang ajar di serial yang diproduksi oleh Les' Copaque. Ada Dzul sohibnya Ijat. Di episode "Nenek Kebayan" Dzul menyebar hoax kalau Nenek Kebayan ini jahat.
"Nenek Kebayan ini rambutnya putih. Jalannya bungkuk-bungkuk. Dia pake tongkat kayu. Tongkat kayu dia tuh, ade kuase." Cerita Dzul menjelaskan sosok Nenek Kebayan kepada teman-temannya di kelas.
Melihat temannya terlihat ketakutan, Dzul menaikkan level horor sosok Nenek Kebayan.
"Yang paling menakutkan, dia suka makan budak-budak macam kite, lebih-lebih macam Ehsan."
Ulah Dzul, sontak membuat Ehsan merinding dan memutuskan tidak lagi mau bermain dolanan Nenek Kebayan. Bualan Dzul pula yang membuat Upin dan Ipin sampe lari ketakutan saat berjumpa seorang nenek di jalan. Padahal nenek tua itu hanya orang biasa yang ternyata juga nenek Dzul. Kena batunya juga si Dzul.
Sekarang, lebih parah mana, Fizi atau Dzul? Tapi gak usah dijawab guys.
Menjudge Fizi sebagai tokoh slengean sah-sah mas bro sekalian. Kesal sekalipun boleh. Itu hak abang adek sekalian. Cuma, apa kita yakin gak pernah melakukan seperti apa yang Fizi perbuat? Apakah kita juga yakin teman main kita gak ada yang "eneg" dengan cara bergaul kita? Silakan flashback deh.
Saya jelasin dikit biar kita sama-sama paham.
Panggilan Intan Payung oleh Fizi ke Ehsan itu bukan ejekan. Itu panggilan akrab kepada orang yang bener-bener dianggap paling dekat, sahabat misalnya. Nah, mungkin ada diantara kita yang memanggil teman atau sahabat dengan panggilan "item" karena kulitnya gelap.
Atau nambahin nama belakang karena ciri khasnya, misalnya Joni Gagap karena ngomongnya terbata-bata.
Bahkan ada yang paling durjana. Ketika kita masih seumuran Fizi, ada teman yang kita sapa dengan nama bapaknya. Misalnya sebutan Qomar karena bapaknya bernama Qomar. Coba, kita sama bangornya kan dengan Fizi?
Fizi sama sekali tidak ada niatan mengejek Ehsan dengan panggilan Intan Payung. Ia menganggap Ehsan sebagai sahabatnya terdekatnya. Terlebih keduanya merupakan teman sebangku di Tadika Mesra. Bahkan konon, Fizi adalah tempat Ehsan curhat.
Jadi, kalau kamu masih menganggap sapaan Intan Payung Fizi ke Ehsan adalah ejekan dan pembunuhan karakter, bisa jadi masa kecilmu yang kurang bersahabat.
Beda cerita kalo panggilan tidak biasa itu ditujukan kepada orang yang nggak akrab. So pasti bisa menimbulkan ketersinggungan. Bisa-bisa ada hantaman telapak tangan mendarat di pipi. Plaakkk....
Saya menganggap Fizi hanyalah korban. Ia hanya menjadi objek penderita dari kegemaran kita terhadap framing. Mata kita hanya fokus pada kelakuan "nyeleneh" Fizi, lalu menghujatnya tak ada akhlak. Kita ogah memahami bahwa Fizi hanya bocah polos yang masih sangat membutuhkan bimbingan.
Framing membuat kita hanya memandang suatu peristiwa tidak secara utuh. Tujuanya untuk pembentukan opini atau menggiring persepsi publik terhadap sebuah peristiwa. Ini biasa dilakukan oleh media-media untuk tujuan tertentu.
Framing Fizi emang nggak bohong. Fizi emang gitu adanya. Tapi meniadakan informasi yang seharusnya disampaikan. Termasuk tidak melihat sisi lain dari Fizi yang juga patut kita ketahui bersama.
Coba deh digugling apa cita-cita Fizi ! Di masa depan ia memiliki impian untuk menjadi tukang angkut sampah. Alasannya karena ia senang melihat lingkungannya bersih dan sehat.
Menjadi tukang angkut sampah, menandakan Fizi adalah bocah out of the box. Gimana gak keren, di usai yang masih segitu, ia mulai berpikir tentang lingkungan yang saat ini banyak dikampanyekan negara-negara maju.
Cuma, karena framing yang mengubah persepsi kita tentang tukang angkut sampah adalah cita-cita yang nggak lazim bagi anak-anak.
Walaupun yang diframing adalah tokoh kartun, tapi ini adalah permasalahan yang saya anggap serius. Kita nggak usah ikut-ikutan baper. Sampe harus menonjolkan tingkah konyol khas anak-anak melalui bermacam-macam konten yang tujuan untuk membully Fizi. Termasuk mengukur kadar akhlak bocah yang belum baligh. Kalian terlalu tega, biarkan itu menjadi urusan Tuhan.
Fizi hanya anak TK. Yah, paling banter umurnya 6 tahunan. Bukannya dalam kehidupan yang sesungguhnya kita merasa gemes atau kalo ada anak-anak yang kelakuannya niru gaya orang gede. Buat kalian yang punya adik, atau anak sekalipun pasti merasakannya.
Trus, ngapain kita harus heboh karena kelakuan Fizi?
Upin & Ipin adalah realitas kehidupan yang dikemas dalam serial animasi. Sebenarnya, masih ada beberapa karakter yang tak kalah nyeleneh dari Fizi. Tapi saya rasa gak perlu dipikirin dan gak perlu kita bahas. Dunia anak-anak udah kayak gitu dari jaman dulu sampe sekarang.
Jangan sampai framing Fizi membuat kita untuk menyimpulkan yang nggak-nggak. Karena yang ditonjolkan hanya sisi negatifnya aja. Padahal ada banyak kebaikan yang dimiliki sebagaimana manusia diciptakan.
Fizi hanya adalah contoh bagaimana framing selalu ada dalam kehidupan kita. Sejak bangsa ini terbelah dengan dua golongan yang nggak pengen saya sebutin istilahnya, framing selalu berhasil menghasut pola pikir terhadap objek yang dianggap berseberangan dan tidak seideologi.
Terlebih bagi mereka memiliki fanatisme berlebih. Entah pada pandangan politik atau apa saja, framing memaksa kita untuk menutup mata pada satu sisi aja. Kita cuma pengennya "mencerna" sesuatu secara mentah-mentah tanpa melihat secara utuh.
Sebaliknya, bagi penganut fanatisme framing juga menyajikan sesuatu yang serba baik tanpa cela. Bahkan framing membuang seluruh aspek negatif yang mungkin porsinya jauh lebih banyak dan bisa mendatangkan musibah di kemudian hari.
Jika ada berita terkait politik, olahraga atau apalah yang diposting di sosial media, coba plototin kolom komentarnya! Disitu orang-orang tawuran, saling hujat karena kerdilnya pemahaman terhadap sebuah peristiwa. Mereka ngotot dengan pandangan hasil ulasan media yang tak lagi cover both sides. Â
Beruntung, Fizi hanya tokoh fiksi. Ia bukanlah superstar, atau politisi yang memiliki haters. Kalo itu sampe terjadi, game overlah karirnya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H