4,10%
2,78%
--
Lain-lain
3,95%
*Catatan: Data BPS Sumut tidak menyenaraikan "Batak" sebagai suku etnik, total Simalungun (0,69%), Tapanuli/Toba (19,21%), Pakpak (0,34%), dan Nias (0,69%) adalah 20,93%
Berdasarkan tabel 1 di atas diketahui bahwa etnik Jawa mendominasi, dari sisi perbandingan kuantitas, jumlah penduduk di Sumatra Utara, khususnya Medan. Lantas dengan besarnya kuantitas jumlah penduduk tersebut apakah bisa dijadikan indikator ketahanan budaya dan bahasa di Sumatra Utara.
Bahasa Jawa masih bertahan di wilayah Sumatra Utara, yang notabene merupakan pusat kebudayaan Melayu Deli. Namun, bahasa jawa ragam krama sangat langka bahkan nyaris punah. Hanya sebagian kalangan generasi tua/renta yang masih  menggunakannya. Itu pun dipakai hanya dalam ranah yang sangat terbatas, seperti di upacara-upacara tradisi Jawa.  Dalam komunikasi sehari-hari etnik jawa nyaris tidak ditemui. Penutur bahasa Jawa di wilayah Sumatra Utara lebih dominan menggunakan ragam ngoko. Penggunaan ragam ngoko pun diindikasikan sudah mengalami pergeseran, hanya sebatas alih kode pemilihan kosakata ragam ngoko saja. Hal ini disebabkan oleh adanya kontak dengan kebudayaan dan bahasa lokal, yaitu bahasa Melayu Deli. Kontak bahasa tersebut terjadi karena adanya pergaulan antaretnik yang mana kelompok bahasa yang dominan bahasa Melayu akan mempengaruh pada bahasa tidak dominan, bahasa Jawa.
Berdasarkan beberapa penelitian, Â sikap bahasa etnik Jawa di Sumatra Utara terhadap bahasa Jawanya sebenarnya positif. Namun, sikap positif tersebut dihadapkan dengan sikap toleran dan adaptatif etnik Jawa terhadap lingkungannya. Hal ini menjadi hubungan yang kontradiktif. Dalam lingkungan yang heterogen, etnik Jawa kurang memiliki ruang dan fasilitas yang cukup untuk mempertahankan bahasa Jawanya. Ruang yang dimaksud bisa berupa kegiatan budaya, kegiatan birokrasi, atau kegiatan pendidikan dan lain-lain, sedangkan fasilitas bisa berupa ketersediaan referensi literasi bahasa dan budaya Jawa, sanggar-sanggar bahasa dan budaya, dan lain-lain. Diasumsikan bahwa sikap toleran dan adaptatif diaspora etnik Jawa, khususnya di Sumatra Utara terhadap budaya baru justru menghambat upaya pemertahanan bahasa dan budayanya sendiri.