Eksodus etnik Jawa ke Sumatra Utara dipilah menjadi empat gelombang. Gelombang pertama, pada saat jaman Majapahit melakukan invasi ke kerajaan Haru. Banyak orang Jawa yang menetap di Sumatra Utara; Gelombang kedua, pada jaman Hindia Belanda melakukan kolonialisasi. Etnik Jawa direkrut dengan paksa oleh Belanda untuk dipekerjakan sebagai kuli kontrak di kebun-kebun Belanda di Sumatra Utara dengan jumlah yang cukup besar; Gelombang ke tiga, pada jaman orde baru melalui program transmigrasi; dan gelombang keempat, pada jaman sekarang melalui migrasi, perdagangan, bisnis, tugas belajar, tugas kerja, dan lain-lain. Namun, Â Mobilisasi etnik Jawa ke Sumatra Utara dengan jumlah yang cukup besar adalah pada gelombang kedua, yaitu pada jaman kolonial Hindia Belanda. Sampai dengan saat ini eksistensi etnik Jawa di Sumatra Utara masih kentara. Menurut Siyo (2008) etnik Jawa yang masih menetap di Sumatra Utara disebut Jawa-Deli (Jadel) dan keturunannya sekarang disebut Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera).
Bruner (1974) dalam Suparlan (1999) yang mengatakan bahwa orang Jawa yang merupakan golongan etnik mayoritas di Medan bukanlah kelompok dominan, karena mereka ini golongan kelas sosial rendah yang tidak mempunyai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini tentunya berimbas pada lemahnya pemertahanan budaya dan bahasa Jawa di Sumatra Utara. Dalam hal berbahasa misalnya, mereka tidak dominan menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi antaranggotanya. Mereka justru memilih menggunaan bahasa Indonesia dengan logat Medannya. Tidak sedikit etnik jawa yang adaptatif, lebur bersama budaya Melayu di Sumatra Utara meninggalkan budaya dan bahasa Jawanya. Biasanya mereka itu minoritas yang tinggal dikantong-kantong budaya dan bahasa Melayu yang dominan. Contoh, di daerah pesisir Asahan.
Hal lain yang mendorong etnik Jawa melebur bersama budaya Melayu adalah sifat flesibitas dan keterbukaan budaya dan etnik Melayu itu sendiri. Dari dulu etnik Melayu bersifat terbuka terhadap etnik lain. Mereka cukup berpengalaman beradaptasi dengan budaya luar karena pesisir timur merupakan jalur dan pintu gerbang perniagaan dan perdagangan dari dulu. Ada slogam budaya Melayu yang menarik, yaitu Dunia Melayu adalah Dunia Islam. Slogan ini mengandung arti bahwa bagi mereka yang memeluk agama islam bisa dikatakan Melayu. Etnik Jawa yang islam merasa nyaman dengan slogan budaya Melayu tersebut. Mereka merasa bagian dari Melayu. Bahasa Jawa tidak  dijadikan dasar kontruksi identitas etnik Jawa. Fought (2006) yang telah membahas bahasa dan kontruksi identitas etnik setidaknya dapat dijadikan acuan dasar.
Rahardjo (2015) mengatakan bahwa sedikitnya ada tiga pihak yang terlibat dalam arus pertukaran budaya dalam perspektif diaspora. Pertama, pelakunya sendiri; Kedua, tempat baru yang dituju; dan ketiga, generasi penerusnya. Konsep ini mengandung implikasi bahwa acuan terhadap budaya asal di tempat baru masih tetap relevan, walau besar kemungkinan secara terus menerus diproses dan berubah sesuai dinamika yang terjadi di tempat baru.
Jumlah etnik Jawa yang tinggal di wilayah Sumatra Utara cukup banyak. Â Hal ini dapat dilihat dari komposisi jumlah penduduk kota Medan berdasarkan etnikitasnya pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 Komposisi Etnik Kota Medan pada 2000
Komposisi Etnik Kota Medan pada 2000
Etnik
Tahun 2000
33,03%
20,93%*
10,65%
9,36%
8,6%
6,59%
4,10%
2,78%
--
Lain-lain
3,95%
*Catatan: Data BPS Sumut tidak menyenaraikan "Batak" sebagai suku etnik, total Simalungun (0,69%), Tapanuli/Toba (19,21%), Pakpak (0,34%), dan Nias (0,69%) adalah 20,93%
Berdasarkan tabel 1 di atas diketahui bahwa etnik Jawa mendominasi, dari sisi perbandingan kuantitas, jumlah penduduk di Sumatra Utara, khususnya Medan. Lantas dengan besarnya kuantitas jumlah penduduk tersebut apakah bisa dijadikan indikator ketahanan budaya dan bahasa di Sumatra Utara.
Bahasa Jawa masih bertahan di wilayah Sumatra Utara, yang notabene merupakan pusat kebudayaan Melayu Deli. Namun, bahasa jawa ragam krama sangat langka bahkan nyaris punah. Hanya sebagian kalangan generasi tua/renta yang masih  menggunakannya. Itu pun dipakai hanya dalam ranah yang sangat terbatas, seperti di upacara-upacara tradisi Jawa.  Dalam komunikasi sehari-hari etnik jawa nyaris tidak ditemui. Penutur bahasa Jawa di wilayah Sumatra Utara lebih dominan menggunakan ragam ngoko. Penggunaan ragam ngoko pun diindikasikan sudah mengalami pergeseran, hanya sebatas alih kode pemilihan kosakata ragam ngoko saja. Hal ini disebabkan oleh adanya kontak dengan kebudayaan dan bahasa lokal, yaitu bahasa Melayu Deli. Kontak bahasa tersebut terjadi karena adanya pergaulan antaretnik yang mana kelompok bahasa yang dominan bahasa Melayu akan mempengaruh pada bahasa tidak dominan, bahasa Jawa.
Berdasarkan beberapa penelitian, Â sikap bahasa etnik Jawa di Sumatra Utara terhadap bahasa Jawanya sebenarnya positif. Namun, sikap positif tersebut dihadapkan dengan sikap toleran dan adaptatif etnik Jawa terhadap lingkungannya. Hal ini menjadi hubungan yang kontradiktif. Dalam lingkungan yang heterogen, etnik Jawa kurang memiliki ruang dan fasilitas yang cukup untuk mempertahankan bahasa Jawanya. Ruang yang dimaksud bisa berupa kegiatan budaya, kegiatan birokrasi, atau kegiatan pendidikan dan lain-lain, sedangkan fasilitas bisa berupa ketersediaan referensi literasi bahasa dan budaya Jawa, sanggar-sanggar bahasa dan budaya, dan lain-lain. Diasumsikan bahwa sikap toleran dan adaptatif diaspora etnik Jawa, khususnya di Sumatra Utara terhadap budaya baru justru menghambat upaya pemertahanan bahasa dan budayanya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H