"Ah, Baperan gak asik banget lo, cuman bercanda doang" Kata ini seringkali kita dengar ketika ada seseorang teman yang dibercandain lalu kesal. Kata Baper ini sering disebut untuk menggambarkan situasi ketika atau kejadian yang membuatnya memakai perasaan. Seperti, "marah, sedih, cemas, gelisah" dan situasi lainnya yang memakai perasaan.Â
Perkataan ini mulai populer pada tahun 2014-2015 dan masih digunakan sampai sekarang. Kata ini biasa diucapkan oleh kalangan muda, untuk mengklaim seseorang yang terbawa perasaan jika dalam situasi apapun.Â
Apakah kata baper itu sebagai Tameng, untuk sebagai kata ejekan?
Namun, sekarang memang faktanya demikian. Orang-orang sering menggunakan kata Baper sebagai bentuk perlindungan mereka setelah apa yang mereka katakan terhadap orang yang telah meteka bercandai, tetapi dengan sikap bercanda yang menyinggung. Alih-alih bukannya mereka meminta maaf, tetapi mereka malah menyudutkan seseorang yang telah mereka singgung, dan mengklaim mereka sebagai orang yang "BAPERAN".
Beberapa candaan Toxic sering mereka lontarkan. Seperti, lelucon seksis, misoginis, dan Body Shaming. Faktanya, kerap kali terjadi, apalagi untuk Body Shaming sering mereka lontarkan, seperti:
"Yaelah baru segini doang udah capek, kebanyakan lemak sih lo"
"Itu muka apa bungkus gorengan, kok banyak minyaknya"
Ketika yang menjadi objek candaan merasa tersinggung, mereka lagi-lagi bilang:
"Baper banget sih, cuman bercanda doang kok"
"Lagi PMS ya? Baper banget sih"
 Alih-alih bukannya minta maaf, justru seolah-olah objek candaan tidak mempunyai hak untuk emosi dan marah karena diklaim dengan kata "BAPER" .
Sebagai orang yang overthinking dan mempunyai perasaan sensitif, seolah-olah mereka harus memaklumi dengan candaan tersebut dan mengklaim dirinya memang orang yang baperan, faktanya memang candaan tersebut keterlaluan.Â
Dan jika ini sering dilakukan, maka si objek merasa dirinya di-bully yang bisa diselamatkan dengan sebuah selimut untuk menenangkan dirinya yaitu kata "BAPER".Â
Bullying bukan hanya saja dengan kekerasan, melainkan dengan perkataan yang membuatnya depresi.Â
Hasil survey dari Global Schoola-Based Student Health Survey di Indonesia pada 2015 menemukan, 1 dari 20 remaja pernah merasa ingin bunuh diri. Ide bunuh diri mencapai 5,9 persen pada remaja perempuan dan 3,4 persen pada remaja laki-laki. Sebanyak 20,7 persen remaja juga pernah mengalami bullying.
Dikutip dari CNN, studi terbaru dari California Healthy Kids Survey pada 2019 menunjukkan, bullying memiliki efek jangka pendek dan jangka panjang bagi remaja. Remaja yang dirundung oleh teman-temannya karena alasan apa pun memiliki dampak kesehatan mental jangka panjang yang lebih buruk daripada anak-anak yang diperlakukan buruk oleh orang dewasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H