Tahukah kamu? Indonesia merupakan pemain besar dan 'nggak kaleng-kaleng' dalam urusan ekspor besi-baja ke pasar global. Bahkan disebut-sebut, Indonesia masuk dalam urutan 10 negara paling besar ekspor komoditas besi-bajanya.
Ekspor besi baja memang terus meningkat sejak 2014 lalu. Hal ini diungkapkan Presiden RI, Joko 'Jokowi' Widodo baru-baru ini. Disebutkan ekspor besi-baja Indonesia lompat 18 kali lipat bila dibandingkan dari 2014-2021.Â
Berdasarkan catatan Jokowi, ekspor besi-baja pada 2014 hanya Rp16 triliun lalu melejit hingga Rp306 triliun di tahun 2021. Jokowi pun menargetkan Rp440 triliun pada 2022 ini!
Apa sih rahasianya ekspor besi-baja bisa begitu melompat tinggi? Diungkap blak-blakan oleh Jokowi bahwa semua ini terjadi berkat hilirisasi nikel! "Hilirisasi nikel telah meningkatkan ekspor besi baja 18 kali lipat," ungkap Jokowi dalam Sidang Tahunan MPR RI, Selasa (16/8) kemarin.
Namun ternyata kebahagian ini terancam tak akan berlangsung lama. Mengapa seperti itu? Kepercayaan investor kepada pemerintah sebenarnya sudah kembali pulih dalam dekade terakhir, akan tetapi kepercayaan tersebut terancam luntur.Â
Karena baru-baru ini sektor nikel digonjang-ganjing dengan kebijakan baru yaitu pajak progresif untuk ekspor nikel yang telah terteken lewat PP No. 26 Tahun 2022 baru-baru ini.Â
Adanya lolongan protes dari kalangan pengusaha juga bukan tanpa alasan. Pasalnya selain kebijakan ini sekonyong-konyong datang kepada mereka, setelah ditelisik lebih dalam, kebijakan ini tidak membuat tenang pihak pengusaha dari aspek manapun.Â
Dengan adanya pajak progresif untuk ekspor nikel, nantinya beragam produk olahan nikel yang akan dikirim keluar negeri terutama dalam bentuk setengah jadi akan dikenakan beban pajak.Â
Ya, perusahaan tambang nikel yang terintegrasi dengan smelter, yang omong-omong juga didorong pemerintah dalam memberikan nilai tambah pada nikel, akan dibebankan pajak untuk semua produk olahan yang dihasilkan.Â
Pajak ini diluar dari pajak badan perusahaan dan pajak karyawan. Niat nambah untung dengan menjual nikel lebih mahal, malah dikenakan pajak duluan dari dalam negeri.
Selain itu, produk nikel yang dikenakan ekspor bukan hanya satu-dua produk. Namun nyaris kebanyakan olahan smelter akan dikenakan pajak yaitu Nickel Pig Iron (NPI) dan Feronikel (FeNi). Nickel Matte, Nickel Oksida, Nickel Hidroksida, Nickel MHP, Nickel HNC, Nickel Sulfide, Kobalt Oksida, Kobalt Hidroksida, Kobalt Sulfidal, Krom Oksida, Logam Krom, Mangan Oksida, Magnesium Oksida hingga Magnesium Sulfat.
Penambahan beban pajak ekspor nikel dapat membawa deretan dampak yang bisa saja terjadi. Misalnya perusahaan terpaksa mereduksi biaya operasional, entah itu dari pengurangan karyawan hingga pengurangan produk kualitas.Â
Padahal kalau kualitas barang jelek, yang sebal bukan hanya pembeli namun juga sang investor yang mendanai industri nikel dalam negeri.Â
Apabila kegundahan para investor semakin menjadi-jadi, pilihan eksodus dari iklim investasi Indonesia sangat bisa terjadi! Mengapa? Karena iklim investasi di Tanah Air sudah tidak nyaman dan aman sehingga industri nikel bisa mandek!
Hal ini diamini oleh beberapa pengusaha yang berkiprah di dunia nikel Indonesia. Salah satunya Bernardus Irmanto selaku Direktur Keuangan PT Vale Indonesia.Â
Menurutnya, pajak ekspor hanya akan menekan industri nikel RI tidak terkecuali PT Vale yang mengekspor hasil produk ke Jepang. Begitu tuturnya kala dihubingi CNBC Indonesia, Senin (17/1/2022) silam.
Lantaran, pengenaan pajak yang dimaksudkan pemerintah untuk mendorong hilirisasi senyatanya perlu pengkajian lebih dalam dan juga wajib memastikan ketersediaan downstream facility di Indonesia.Â
Fasilitas hilirisasi bukan hanya soal pembangunan smelter namun juga equipment lainnya yang dibutuhkan seperti transportasi, logistik, mesin besar bahkan pasarnya! Apakah itu semua sudah tersedia di Indonesia?Â
Besarnya risiko pengenaan pajak progresif untuk ekspor nikel juga pernah diungkap oleh Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Rizal Kasli.Â
Menurutnya pengenaan pajak progresif ekspor nikel harus dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan segala aspek di ekosistem industri nikel Indonesia dari aspek teknis, ekonomis dan juga iklim investasi.
Segala pertimbangan dan kajian mendalam tersebut bukan tanpa sebab. Semua produk nikel yang sudah susah payah dihasilkan smelter dengan teknologi tinggi tersebut membutuhkan investasi yang besar, biaya produksi yang mahal, dan risiko tinggi dalam bersaing di pasar global.
Jika sewaktu-waktu harga nikel dunia jatuh di nilai yang tidak ekonomis, para pengusaha ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Harga jual rendah, tak ada bantuan dari pemerintah, eh, malah dikenakan beban pajak!
Adanya kegelisahan dari sisi pelaku usaha menunjukkan kehampaan ruang diskusi antara pemerintah dengan para pelaku usaha. Jadi, apakah kajian mendalam tersebut diperlukan sebelum pembuatan sebuah undang-undang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H