Dia bukan jodohku
Aku harus menerima keputusan itu! "dijodohkan" satu kata yang tak mau aku dengar karena telah membuat aku kecewa berat, "menolak"? tentu tak bisa, walau hati ini sedikit berontak, karena tidak sesuai harapan dan pilihan sendiri, hari ini aku menerima bukan karena aku mencintainya, "hanya karena ingin melihat kedua orangtua bahagia", sekalipun batinku begitu tercabik dengan keadaan ini.
Hari-hari dijalani seolah hampa dan seakan menyiksa, aku terpaksa belajar menerima kenyataan, entah dengan cara apa lagi agar aku bisa menerima keadaan ini, bantinku selalu bicara "atas pertimbangan apa kedua orangtua menjodohkanku dengan Andini?", padahal aku telah punya pilihan sendiri, aku akui "ya secara fisik Andini cantik, orangnya baik, etikanya juga baik", namun sulit hati ini aku buka untuknya, lalu kucoba belajar untuk mencintainya, "haaah sulit bagiku", entahlah. Â Benar kata orang-orang berada pada posisi yang terpaksa itu sangat tidak meng-enak-kan saat menjalaninya dan itu aku alami sendiri.
Ketika orang-orang berbicara kebahagiaan rumah tangga, semua itu belum aku dapatkan dan entah sampai kapan aku berada dalam posisi penuh kepura-puraan seperti ini, namun semua kecewa itu lambat laun berubah aku seolah mendapatkan tempat berlabuh, karena ketika berada disampingnya aku merasakan ada kesejukan, kenyamanan juga kebahagiaan tersendiri, membuat hidup ini jadi lebih bergairah saat menjalaninya.
Perlahan aku jadi berubah kembali, seakan mendapatkan air ditengah padang pasir disaat dilanda kekeringan akan cinta dan perhatian, kini ada yang membawakan air itu sebagai penawar dengan penuh aroma perhatian dan kasih sayang untuk aku teguk, namun sayang dia itu adalah teman isteriku sahabat sejatinya.
Aku semakin dekat saja dengan dia, senyum renyahnya seolah mengandung alkohol yang mampu membuat aku mabuk kepayang, bisa membutakan pandangan dan menjadikan aku lupa diri bahwa aku telah beristeri, kedekatan ini lambat laun menghasilkan kemesraan dan benih-benih cinta yang tumbuh semakin mekar walau bukan pada tempatnya. Aku sangat nekad.
Kegilaan itu benar-benar telah membutakan mata hatiku, aku semakin tak peduli dengan nasihat dari rekan-rekan kerjaku sekalipun hati kecil ini sebenarnya mengakui dan sadar bahwa aku telah mengkhianati Andini, tapi begitu sulit lepas dari dia teman isteriku sendiri. Sungguh sudah membutakan.
@@@
Telah kututup rapat semua tentang hubungan dan kedekatan aku dengan dia, serapat-rapatnya menyembunyikan kejelekan itu akhirnya Andini mengetahuinya juga, aku jadi bertanya-tanya Andini tahu darimana semua itu, padahal tak seorangpun yang mengatahuinya, kecurigaanku mulai tak berdasar dan menuduh orang-orang disekitar Andini telah membocorkannya, hingga suatu hari percakapan sengit pun terjadi.
"Din, aku mau nanya sama kamu?", Andini begitu dingin menanggapinya!, "soal apa"?, dengan ketusnya. Kamu tahu semua itu dari mana?, kamu tak perlu tahu, aku tahu dari mana mas!, mau tahu, mudah bagiku untuk membongkar semua keculasan dan perselingkuhan kamu dengan Tami, "dengarkan dulu aku din", "apalagi mas yang mesti aku dengarkan" semua sudah jelas ko. Andini begitu bernafsu.
"Jangan-jangan kamu tahu semua ini dari pak Angga?, pak Angga? Sambil memicingkan mata dan dahinya sedikit berkerut, Apa hubungnnya dengan pak Angga? Kamu kan begitu dekat denganya din, tadi pagi saja aku melihat kamu di lobi hotel begitu akrab denganya, jangan-jangan kamu semalam tidak dirumah bersamanya juga, jangan pernah menuduh aku seperti itu mas, aku tak serendah dan senista yang kamu bayangkan, tidak seperti kamu dan Tami.
"Hello, kamu anggap aku baik-baik saja mas", setelah perselingkuhanmu dengan Tami semakin terkuak, kamu tahu gak sih perasaanku, hatiku hancur, remuk berkeping-keping, "ia maafkan itu salahku din"? Â dengan dinginnya, "apa kamu bilang"? "maaf"?, setelah kamu bermain hati dengan Tami, "Tidak mas"!, "sekali lagi Tidaaak". Â
@@@
Cinta, perhatian, kasih sayang semua telah aku berikan dan curahkan hanya padamu mas, beginikah balasannya?, kamu begitu tega mas mencampakan, menyia-nyiakanku, dan jauh lebih menyakitkan lagi kamu lakukan pengkhianatan ini dengan Tami sahabatku sendiri, teman dekatku.Â
Jelaskan sepatal apa salahku? Andini terus saja bertanya pada suaminya, "terus maunya kamu apa sih?" Â Rendi ngotot balik bertanya dengan suara agak meninggi, "aku mau kita pisah mas". Jawab Andini sambil berlalu meninggalkan Rendi.
@@@
 "Maafkan aku din", aku tak berniat menduakan, membuatmu bersedih, kecewa dan terpukul apalagi sampai mengiris serta menggoreskan luka dihatimu, sama sekali itu bukan niatku, semua aku lakukan "karena cintaku bukan untukmu, tapi untuk Tami", saat bibirmu tak sanggup berkata seakan terkunci begitu rapat, tetes air mata yang basahi pipimu menjadi jawaban atas segala gundah yang melanda, "maafkan aku, sekali lagi maafkan aku diin". Pinta Rendi.
Kamu terlalu baik buatku dalam segala hal, sesempurna itu Tuhan kirimkan sosok bidadari untuk diriku, namun entah kenapa sampai saat ini aku masih saja belum bisa mencintaimu seutuhnya dan bagiku itu sungguh sangat melelahkan.
Disaat harus menjalani hari-hari bersama orang yang tidak aku cintai, berat rasanya, apakah berada dalam keterpaksaan? Jelas, sangat tak mengenakan berada dalam posisi seperti ini, aku berusaha baik-baik saja dihadapan kedua orangtua agar mereka bahagia, namun di balik itu aku sangat tertekan dengan semua sandiwara yang aku buat sendiri.
Aku coba curahkan beban berat yang bergelayut dihati pada orangtua, namun "haahh" percuma mereka tidak paham dan tidak mengerti perasaan dan posisiku, semua begitu menyiksa telah membikin hari-hariku kelabu, aku coba selalu tersenyum dihadapan orang-orang walau sayatan-sayatan luka mulai mengiris kesunyian dan luka ini kian menganga walau tak berdarah, pedih gaes.
Aku sudah prediksi sedari awal karena cinta tidak pernah ada dalam hubungan kami, jadi rumah tangga yang dibangun harus berlandaskan cinta dan kasih sayang, saling menjaga, melindungi satu sama lainnya, saling menghargai, mengasihi, juga bisa memaafkan atas segala kesalahan dan bisa mengisi kekurangan masing-masing, ketika tidak ada itu semua dalam ikatan batinnya, maka keberlangsungan hidup berumah tangga akan terasa hampa.
 Kian hari hubunganku dengan Andini semakin tidak sehat, hingga kata pisah menjadi eksekutor dari segala masalah, "cerai" sekalipun tidak diharamkan tetapi Tuhan sangat membencinya, namun aku terpaksa memilih dan memutuskan jalan takdirku sendiri, "maafkan aku diin". Dengan berat hati, aku melepaskanmu untuk selamanya, sekali lagi maafkan aku karena tidak bisa mencintaimu seutuhnya, orangtua menginginkan kita bersama namun kita tidak berjodoh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H