***
Sebelum aku meninggalkan-mu hari ini, ada satu hal yang ingin aku tanyakan dan pastikan padamu, agar penasaranku tidak terus saja mengoyak-ngoyak menggedor dinding kebekuan, soal apa..?, jawabnya lirih. "Apakah kamu mencintaiku...?" Desakku, keduanya hening untuk beberapa saat. Walau berat aku lanjutkan bicara "untuk sehari, semenit atau sekejap saja, kamu pernah mencintaiku, Nik", aku datar, sambil menatap wajahnya yang sedikit memerah dan nanar.
Aku terdiam sambil menunggu jawaban, agak lama, tak sepotong kata pun keluar dari bibirnya. sekalipun akhirnya bicara juga, "Tidak, sehari, semenit sekejap bahkan untuk selamanya, aku tak pernah mencintaimu", yakinkah yang kamu ucapkan itu..? timpalku, "ya.." begitu singkat Nikita menjawab. "Oke". Hanya itu yang aku tanyakan padamu hari ini, tidak lebih, kalau sudah aku dengar lega rasanya. Sekalipun keraguan atas jawaban yang kamu berikan itu terlintas lewat kedip matamu. Tapi okelah itu keputusanmu, tak mungkin aku paksakan, agar dirimu berkata iya.
Hari ini aku bebas melangkah kemanapun tanpa beban, terimakasih telah ada untukku, walau sesaat, sungguh susah lukisan wajahmu aku hapus di ruang khususku, tak akan pernah tergantikan oleh siapapun, karena kamu begitu berharga pada sepenggal kisah dan jalan hidupku ini.
Harap dan cintaku kepadamu bagai "Mad Aridlisukun" yang terakhir dan tiada yang lain lagi cukup satu dirimu, hanya kita berdua bagai "idgham bilaghunah" (hanya aku dan kamu) "Lam dan Ra"
"Sedalam itukah...?" Tanya Nikita, "Ya", jawabku singkat, karena kamu begitu berarti dalam sepenggal kisah hidupku, mampir lalu menumbuhkan asa yang diterpa layu terhembus udara kesunyian terlalu lama, dirimu mampu menyiram tanaman yang kering itu, lalu menumbuhkan benih-benih asa yang sempat hilang, walau sekejap, dirimu tetap berarti bagiku, sekali lagi terimakasih. Nikita hanya diam membisu memantung dihadapanku tanpa sepatah katapun.
***
Keraguan itu menghalangi rasamu terhadapku, aku yakin, bahkan yakin sekali, rasamu juga tinggi padaku, apakah sifat dan sejenismu juga seperti itu semuanya, dahiku sedikit berkerut sambil mengangkat bahu tanda tak begitu paham akan perasaan wanita. Dirimu mampu menyimpan rasa yang bergemuruh di dalam dada.
Rasa sensitif itu begitu membelenggu dirimu sendiri. Kecemasan, bahkan kerinduanmu melebur jadi satu, seperti yang aku rasakan terhadapmu, hanya dirimu begitu sempurna mengunci dan menyembunyikannya.
Aku kira sesak nafasku selama ini, karena sebagian nafas hidupku ada padamu, dan itu bukan hanya bunga tidur penghias mimpi belaka, yang terlalu liar menggambar seluruh imaji bersamamu, tapi hadir nyata adanya, dan aku akan setia menunggumu sampai kapanpun.
Bagaikan Majnun tertegun dipinggir pusara kekasih abadinya Laila, hingga  tubuhnya berakhir melebur menjadi tanah dan bersatu, soal kecintaan dan kesetiaanya tidak diragukan lagi. Cintanya bukan cinta sesaat dan mainan belaka tetapi mengakar menjadi satu ikatan dalam sukmanya yaitu cinta sejati, seperti cinta kita pada-Nya tak tergantikan oleh apapun dan selamanya tak akan pernah berpaling.