Mohon tunggu...
Muhamad Budi Hermawan
Muhamad Budi Hermawan Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nasional Angkatan 2018
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Universitas Nasional Cabang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Siri Sebagai Ahli Waris Dalam Perspektif Hukum Perdata Dan Hukum Islam

6 April 2020   23:34 Diperbarui: 7 April 2020   00:04 1146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berdasarkan penjelasan tersebut, dengan mempertimbangkan banyaknya timbul permasalahan atau sengketa tentang pewarisan kepada anak luar kawin hasil perkawinan siri, maka penting sekali kejelasan dan perlindungan hukum untuk anak luar kawin, khususnya hasil perkawinan siri sebagai ahli waris di Indonesia agar anak tersebut tidak mendapat diskriminasi dari berbagai pihak. Selain itu, hak dan kewajiban anak tersebut bisa terpenuhi secara maksimal, serta untuk mempertegas bahwa anak luar kawin juga diakui dan dilindungi oleh hukum yang berlaku di Indonesia seperti halnya anak sah, anak tiri maupun anak angkat.

Dalam hukum waris barat, anak luar kawin dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu anak luar kawin yang diakui dan anak luar kawin yang disahkan. Anak yang disahkan memiliki kedudukan yang berbeda dengan anak yang hanya diakui. Anak yang diakui tetap memiliki kedudukan sebagai anak luar kawin, meskipun secara hukum ia memiliki hak yang hampir sama dengan anak sah. Seorang anak luar kawin dapat diakui sebelum terjadinya perkawinan yang sah antara salah satu orang tuanya dengan orang lain yang bukan orang tuanya, dan keberadaan anak tersebut tidak mengganggu perkawinan orang tuanya dan orang lain itu. Bagian warisan anak semacam ini adalah 13 bagiannya apabila ia anak sah, jika mewaris bersama golongan 1, yaitu anak sah, maupun istri sah orang tuanya. Lalu 12 bagian apabila ia mewaris bersama golongan II dan III yakni kakeknya, paman dan bibi, maupun buyut anak tersebut, serta 34 bagian apabila ia mewaris bersama golongan IV, yaitu orang dengan kerabat yang lebih jauh dari orang tuanya yang menjadi pewaris.

Pada dasarnya anak dari hasil perkawinan siri dapat dikategorikan dalam anak yang disahkan karena ayah biologisnya menikahi ibu biologisnya secara agama sehingga seharusnya bagian warisnya pun disamakan dengan anak dari perkawinan yang sah. Pembagian warisan anak sah adalah sama rata, yaitu satu banding satu. Anak sah merupakan golongan I dan memiliki sifat menutup golongan yang lebih jauh. Kedudukan anak dari perkawinan siri ini sebagai anak yang disahkan dipatahkan dengan adanya keharusan mencatatkan pernikahan baru dia bisa diakui Negara sebagai anak sah sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974, sehingga berlakulah asas lex specialis derogate legi generalis.

Dalam sistem hukum Islam, perkara waris memiliki kedudukan yang sangat penting dikarenakan terkait timbul dan lenyapnya hak dan kewajiban seseorang terhadap suatu harta peninggalan yang apabila tidak terselesaikan dengan baik tidak jarang menimbulkan adanya konflik panjang dalang sebuah keluarga. Pewarisan hukum Islam sangat berbeda dengan hukum perdata yang dalam Pasal 833 KUH Perdata bahwa ahli waris tidak hanya mewarisi harta si pewaris saja, melainkan juga seluruh utang-piutangnya, sedangkan dalam hukum Islam, suatu harta peninggalan diperuntukkan bagi biaya perawatan, utang-piutang, wasiat dan waris itu sendiri

Dalam pandangan kedua hukum tersebut terdapat perbedaan yang mencolok. Pengertian hubungan perdata antara anak dan ayah biologisnya sangatlah berbeda. Dalam perspektif Hukum Islam, dibedakan antara hubungan nasab dan hubungan perdata. Kata nasab (bhs. Arab) secara harfiah (ethimologi) berarti keturunan, pertalian darah, persaudaraan. Secara istilah (therminologi) diartikan sebagai hubungan kekerabatan antara seorang dengan orang lain karena keturunan, pertalian darah dan persaudaraan. Sebagai akibat dari adanya hubungan nasab, maka timbulah hak dan kewajiban antara orang yang mempunyai hubungan nasab tersebut yang mencakup hak-hak nasab dan hak-hak keperdataan. Hak-hak nasab, seperti hak saling mewarisi, hak menjadi wali nikah terhadap seorang anak perempuan ketika melangsungkan aqad nikah, hak seorang anak untuk menggunakan nama bapaknya sebagai bin atau binti dibelakang namanya. Hak-hak nasab semacam ini tidak dapat dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai hubungan nasab.

Adapun hubungan perdata digunakan hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan si anak yang merupakan tugas orang tua dalam bidang kesejahteraan, biaya pendidikan, nafkah, perawatan dan pengasugan atau pemeliharaan anak. Tugas-tugas tersebut dapat dialihkan dari orang yang mempunyai hubungan nasab/pertalian darah kepada orang lain. Dalam kasus pengangkatan anak misalnya, masalah nasab tidak boleh berubah, seperti wali nikah, hak saling mewaris dan pemakai nama bapak (bin atau binti tidak boleh seorang anak dinisbahkan kepada orang lain yang bukan bapaknya. Adapun masalah keperdataan, seperti perawatan, nafkag hidup, biaya pendidikan anak, dan lain-lain, seorang anak angkat dapaat memperoleh dari siapa saja yang bersedia menjadikannya sebagai anak angkat. Jadi, keperdataan tidak mencakup di dalamnya hubungan nasab.

Pembagian warisan dalam hukum perdata maupun hukum Islam disamakan dengan anak sah. Meskipun demikian, kedua bagiannya tetaplah berbeda.

Pembagian warisan dalam hukum perdata didasarkan pada golongan-golongan yang berhak menerima warisan berdasarkan derajat dan kerabat, mulai dari yang terdekat hingga terjauh tanpa adanya perbedaan jenis kelamin. Derajat yang lebih dekat dengan pewaris, misalkan anak dapat mewarisi seluruh harta peninggalan pewaris tanpa memperhatikan ahli waris lainnya dengan derajat yang lebih jauh, karena otomatis derajat yang lebih jauh akan tertutup. Hal ini juga berlaku bagi ibu dan bapak pewaris yang berada dalam golongan II.

Dalam kasus anak luar kawin yang didapatkan dari perkawinan siri, Hukum Islam meletakkan status anak tersebut seimbang dengan anak sah, karena perkawinan siri merupakan perkawinan yang disahkan secara Islam dan telah memenuhi rukun maupun syarat sah diberlakukannya suatu perkawinan. Oleh sebab itu, anak luar kawin dari perkawinan siri berhak memperoleh bagian harta warisan dari pihak ibu maupun ayahnya sesuai ketentuan yang berlaku.

Adapun ketentuan pembagian warisan bagi anak luar kawin yang didapatkan dari perkawinan siri dalam hukum Islam akan dibahas lebih lanjut sebagai berikut:

1. Ahli Waris Anak Perempuan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun