Tawuran dan kenakalan pelajar merupakan fenomena sosial yang kompleks dan mengkhawatirkan. Menurut Sugeng Bahagijo, ini adalah  manifestasi dari kegagalan sistem pendidikan dalam mengembangkan kemampuan sosial dan emosional siswa. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa masalah ini seringkali dipicu oleh faktor-faktor seperti tekanan sosial, kurangnya pengawasan orang tua, dan kekurangan keterampilan mengelola konflik. Penting untuk mengatasi tawuran dan kenakalan pelajar dengan pendekatan yang komprehensif, melibatkan guru, orang tua, dan masyarakat dalam mengembangkan strategi pencegahan dan pengelolaan konflik yang efektif.
Saat ini, tawuran dan kenakalan pelajar merupakan fenomena yang sangat mengkhawatirkan dan terus meningkat. Banyak kasus yang terjadi di berbagai daerah, bahkan di lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi siswa. Tawuran dan kenakalan pelajar tidak hanya menyebabkan cedera fisik, tetapi juga berdampak pada psikologis siswa, seperti stres, kecemasan, dan bahkan depresi. Selain itu, tawuran juga dapat merusak reputasi sekolah dan mempengaruhi kualitas pendidikan.
Fenomena tawuran antar pelajar tersebut memiliki kompleksitas dalam kehidupan bermasyarakat, tidak hanya berkaitan dengan pelajar sebagai generasi penerus Mengapa fenomena kenakalan pelajar masih terjadi, bagaimana tanggungjawab dan solusi yang harus diambil pemerintah, lembaga pendidikan ataupun masyarakat.
Para ahli berpendapat bahwa tawuran dan kenakalan pelajar merupakan cerminan dari masalah sosial yang lebih luas. Faktor-faktor seperti keluarga yang disfungsi, lingkungan yang kurang kondusif, pengaruh teman sebaya yang negatif, serta minimnya pendidikan karakter menjadi akar permasalahan utama
Kenakalan  Pelajar
Fenomena tawuran dan kenakalan pelajar yang merupakan bagian dari kekerasan di masyarakat dan telah berulang terjadi. Nampak fenomena ini berkelanjutan, dimana obyeknya sama namun pelakunya yang beralih dari dan ke generasi selanjutnya. Berbagai segmen masyarakat berusaha mencari penyebabnya dan berbagai pemikiran para ahli dikemukakan sebagai bentuk usaha mencari solusi penyelesaiannya, namun fenomena kekerasan model pelajar ini terus saja terjadi.
Warih Anjani mengemukakan, berdasarkan hasil penelitian tentang tawuran yang telah dilakukan pada umumnya tawuran dianggap sebagai kenakalan remaja. Beberapa penelitian lain melihat tawuran pelajar antara lain sebagai frustasi agresi, perilaku bermasalah dan deprivasi sosial. kondisi anomi dan kerenggangan ikatan sosial, gejala yuridis, gejala tingkah laku kelompok yang berbeda dengan penyimpangan tingkah laku individu, serta budaya premanisme, yaitu ketangguhan dan keberanian.
fenomena tawuran dan kenakalan pelajar merupakan bentuk kekerasan kolektif, dengan spesifikasi yang berbeda dengan kekerasan lainnya berkaitan dengan subyeknya maupun motifnya. Lingkungan sekolah dan di luar sekolah atau masyarakat ikut pula menyumbang agresivitas siswa untuk melakukan kenakalan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Ali Mustofa Yaqub, bahwa pendidikan dapat meliputi 3 unsur yaitu: pendidikan keluarga, sekolah, dan pendidikan lingkungan.
Pada posisi masyarakat atau sosial, keadaan yang keos mempengaruhi cara pandang tentang sesuatu dan akhirnya mempengaruhi perilaku. Menurut Yusraf Amir bahwa kondisi keos dianggap berkenaan dengan ketidakberaturan, dimana ada situasi kekacauan (ekonomi, sosial, politik) yang tidak dapat diprediksikan polanya.
Siswa mengetahui tentang keadaan-keadaan di sekitar lingkungannya baik bersifat lokal, nasional maupun internasional yang keos, sehingga mempengaruhi cara pandang dan perilakunya. Melalu proses imitasi kondisi keos dan cara penyelesaiannya akan ditiru oleh siswa dan diterapkan pada saat mereka menghadapi situasi yang sama. Tidak hanya sampai disitu, tetapi karena adanya proses imitasi tersebut, siswa berusaha pula menciptakan keadaan keos untuk menunjukkan ketangguhan yang ada pada budaya premanisme.