Akhir-akhir ini kita sering disuguhkan dengan berbagai berita di media televisi maupun online tentang maraknya keretakan dan perceraian rumah tangga terutama dari kalangan publik figur yang notabene diketahui masyarakat umum. Dengan berbagai alasan dan hal-hal yang terkadang sepele dan masih bisa diatasi sebagai sebuah dinamika dalam rumah tangga. Pernikahan terkesan bukan sebuah hal yang sakral untuk dijaga sampai akhir hayat, padahal jelas-jelas Tuhan telah memberikan kodratnya kita untuk saling mengenal dan berpasangan yang sah sebagai jalan melanjutkan keberlangsungan hidup manusia sebagai fitrah manusia itu sendiri.
Memang perceraian diperbolehkan agama, namun apakah karena hanya alasan diperbolehkan kita dengan mudahnya tanpa berusaha keras untuk mempertahankannya. Berbagai drama sinetron tentang perselingkuhan, keretakan rumah tangga di televisi ataupun online seolah menambah keadaan yang terkesan menjadi hal lumrah. Karena berbagai tontonan dibanyak media ini tentu saja dapat berdampak pada kalangan luas.
Laporan Statistik Indonesia 2023 yang dijelaskan GoodStats bahwa pada 2022 terjadi peningkatan 15% dibandingkan 2021 dan merupakan angka tertinggi dalam 6 tahun terakhir, tentu saja hal ini bukan kabar yang baik. faktor terbesar dari masalah ini diantaranya perselisihan dan pertengkaran, permasalahan ekonomi, poligami, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Pesatnya teknologi, budaya modern, serta informasi dari luar yang tentu saja tidak bisa dihindari tentu ada muatan negatif yang dengan mudahnya  masuk kesemua kalangan tanpa daya filter yang baik bisa jadi melemahkan pola pikir kita bagaimana seharusnya kita bertahan disaat guncangan terjadi. Kita lebih memilih membuka internet untuk mencari solusi atau sekedar curhat online daripada kita menemui orang tua, pemuka agama, membuka kitab suci dan meminta pada Tuhan yang mengatur segalanya. Keadaan ini tentu saja sebuah preseden yang kurang baik untuk penguatan diri kita dalam membina mahligai rumah tangga.
Penulis tidak ingin masuk kedalam perdebatan siapa salah benar, karena mungkin saja banyak hal lain yang akan berbeda aspek dan latar belakang serta sikap seseorang bagaimana menghadapinya.
Penulis hanya ingin memberikan refleksi dan perspektif berdasarkan pemahaman dan pengalaman bagaimana penulis menjalani biduk rumah tangga ini yang mungkin bisa membantu orang lain ataupun yang akan mencari pasangan bagaimana agar perjalanan rumah tangga ini bisa berjalan sesuai dengan seharusnya.
Penulis telah menjalani 25 Tahun Pernikahan, bersama satu isteri dan buah hati. Pada saat memutuskan akan menikah, pertimbangan utama penulis adalah bukan fisik semata namun lebih ke pertimbangan bahwa calon isteri penulis akan setia menemani penulis suka dan duka, dan sampai saat ini hal itu terjadi. Walaupun keadaan ekonomi tidak terlalu sehat, kembang kempis dengan segala dinamika permasalahan, ( sebagai contoh pernah menjual tabung gas 3 kg yang hanya 1 buah karena sudah tidak punya uang), permasalahan berat yang hampir berpisah terjadi 2 kali, alhamdulillah dengan pemikiran dan langkah yang dianggap tepat sampai saat ini tetap bersama, dan akan selalu bersama.
Menjalani pernikahan memang bukan hal mudah dijalani, tidak hanya sekedar kata cinta belaka, apalagi banyak kendala yang melatarbelakanginya. Tentu saja harus dibarengi dengan bekal pemikiran pemahaman bagaimana menjalaninya. Bahwa kita harus menjalani hidup sesuai kodrat dan fitrah kita sebagai manusia yang menjalani hidup sesuai tuntunan agama.
Ada beberapa hal yang ingin penulis bagikan pada pembaca untuk menambah referensi dan refleksi, yang berdasarkan pemahaman dan pengalaman penulis.tentu saja hal ini bukanlah sebuah keharusan jika dirasa bukan langkah tepat, namun yang pasti bahwa kita harus memperkuat pondasi dengan langkah strategis sesuai kondisi kita masing-masing.
1. Usia Pernikahan yang Cukup Matang
Secara ekonomi dan psikologis, terutama untuk laki-laki yang akan menjadi kepala keluarga. Usia 25-30 dianggap cukup ideal, jika dibawah itu pastikan bahwa kita merasa siap secara mental bukan nafsu semata.
2. Buat Komitmen Bersama pada Awal Pernikahan
Sepakati bersama bahwa dalam keadaan apapun tidak ada kata cerai/berpisah.
3. Perkuat KomunikasiÂ
Terutama pada awal-awal pernikahan 0-5 tahun, tentang konseptual bagaimana kita bersama, hak kewajiban suami isteri, contoh baik dari orang lain, dampak dan seterusnya, biasanya waktu menjelang tidur atau waktu senggang. Jaga tensi dan tone agar komunikasi tidak menjurus pada perselisihan, mindset positif.
4. Buang Ego
Tidak ada ego pribadi, yang ada ego rumah tangga, bukan menang kalah namun kemenangan bersama. Jika keadaan sedang panas, harus ada yang mengalah, istri tidak berhenti, suami wajib diam mengalah, pergi menghindar, main game atau kegiatan lain. Jika keadaan sudah reda selesaikan jika dianggap perlu.
5. Suami sebagai Imam/ PemimpinÂ
Mampu memanage diri kapan harus mengalah atau tegas, bukan megikuti emosi hawa nafsu, namun berorientasi bagaimana ini harus bertahan, lakukan sesuai koridor norma tugas tanggungjawab agar masalah terselesaikan.
6.Permasalahan Tidak Bisa hanya Diselesaikan dengan Konseptual dan Narasi Benar Salah Semata
Namun juga perlu adanya implementasi nyata terutama suami yang bertanggungjawab. Disaat situasi kritis, suami tidak hanya bisa menghindar semata, terkadang harus ada solusi nyata yang bisa meredam situasi, baik secara finansial, biologis ataupun hal lain yang dianggap tepat. Suami harus memaksakan diri mengatasi situasi tersebut semaksimal mungkin dengan cara yang cerdas dan positif, tanggung jawab laki-laki.
7.Kebetuhan Biologis Psikologis
Kebutuhan keduanya saling terpenuhi, istri juga harus sama menikmati, suami harus fair dan bisa menciptakan suasana yang kondusif dalam keseharian, meluangkan waktu, bercanda, liburan dan lain-lain.
8. Perkuat Agama
Tentu saja kita sebagai umat beragama wajib menjalankan mematuhi ajaran agama yang dianut dan menjauhi larangan-Nya, untuk menguatkan dan mendapat jalan yang terbaik dan kelancaran kita.
Dua kabel hitam merah berisi daya listrik jika dibenturkan akan terbakar korslet. Namun jika seiring sejalan menuju satu tujuan maka akan melahirkan cahaya terang menerangi kehidupan.
Semua orang berbicara tentang perayaan dan malam pertama pernikahan, tetapi tidak banyak yang berbicara bagaimana perkawinan itu harus dipertahankan, teknik solutif apa ketika kerikil kecil dan badai besar datang mengancam, jangan berpikir kapan hari itu berakhir, tetapi bentangkanlah bahtera itu tetap berlayar. Mudah-mudahan bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H