Saya masih ingat persis kala berdiskusi hangat dengan seorang teman yang berprofesi sebagai seorang guru. Saya berkunjung ke rumahnya dan kemudian kami berdiskusi, mempersoalkan masalah ihwal kekerasan dalam dunia pendidikan. Ia memulai diskusi dengan mengetengahkan kasus kekerasan dari berita yang sedang viral, seorang murid memukul gurunya dan sebaliknya.Â
Kekerasan dalam lingkup sekolah seolah menjadi siklus yang datang silih berganti, balas-membalas dan menjadi problem ini akan menjadi ingatan yang mengafirmasi bahwa dalam diri manusia Indonesia masih ada jejak gen yang mengakibatkan terjadi letargi kebudayaan (kelelahan dalam memahami kebudayaan).
Teman saya itu memulai kekesalannya dengan berucap, "kalau aku menghadapi murid kayak gini (memukul guru) tak kaploki duluan, urusan hukum belakangan. Kalau sekolah sampai menaikkan atau meluluskan bocah macam ini sekolahnya yang perlu dipertanyakan komitmen dalam mendidik." Menanggapi ucapannya, saya melontarkan satu pertanyaan, apakah dengan kaploki (memukuli) itu, bisa menyelesaikan masalah?Â
Teman saya itu lantas merespon dengan cepat, "lho, aku jengkel, sebagai seorang guru, di depan kelas, saya dan guru-guru yang lain mengajar, mendidik demi mencerdaskan anak bangsa yang berbudi pekerti, tapi faktanya dia tidak menghormati gurunya. "Maka, karena dia tidak menghormati, ya tak kaploki wae," ujarnya. Saya diam sejenak dan merasakan bila kekerasan itu terjadi pada teman saya itu.
Kekerasan vs Welas Asih
Murid memukul gurunya, dan kemudian gurunya membalas pukulan tersebut dengan pukulan. Frase "pukulan dibalas pukulan" menjadi duduk perkara dari rantai kekerasan terutama bila situasi itu dirawat dalam kultur kekerasan, maka situasi yang terjadi adalah sekolah bukan tempat pengajaran, tetapi penghajaran.Â
Dari sini kita bisa mengerti kritik tajam terhadap sekolah justru kehilangan karakternya, kehilangan jiwanya yaitu seperti yang diingatkan Nicholaus Driyarkara mendidik manusia-manusia muda dengan tidak kehilangan dimensi kemanusiaannya. Frase tersebut juga, dalam arti yang ketat (in strict sense) menjadi sebentuk permanensi kultural bahwa ada kekerasan yang dibiasakan dan ditradisikan secara sengaja oleh antar subjek (yang mengajar dan yang diajar) di sekolah, hanya karena emosi dan bukan karena welas asih (sense).
Budaya ketimuran kita, dalam persoalan itu, sejenak terlempar keluar dari rasa kemanusiaan dan masuk pada rantai kekerasan. Situasi ini, bila tanpa dilandasi pendekatan welas asih, maka berakibat masuk dalam lubang kekerasan yang tak berujung. Welas asih ini sebenarnya merupakan bagian dari pendidikan karakter yang tidak boleh diabaikan begitu saja.Â
Pedagogi yang sehat mensyaratkan adanya welas asih. Dengan welas asih tak mungkin terjadi kaploki-mengaploki karena ia mesti ada dalam pribadi-pribadi baik dalam diri yang mengajar maupun diri yang diajar. Welas asih, ringkasnya adalah pedagogi hati yang berniat membudayakan rasa dalam pendidikan.
Rasa Mendahului IlmuÂ
Sebelum menjelaskan lebih jauh hal ihwal pedagogi hati, saya akan mengungkap duduk perkara di atas dengan serentak pula mengajukan dua pertanyaan mendasar, (1) mengapa kekerasan itu bisa membudaya?; (2) apa raison d'etre (alasan adanya) kekerasan yang dibudayakan? Istilah "budaya" yang disematkan dalam kekerasan berarti bahwa adanya upaya untuk melanggengkan kekerasan itu dengan pola kebiasaan dan mentradisikannya dalam pola balas membalas.Â
Pola tersebut tentu kurang sesuai dengan adab ketimuran, terlebih dalam konteks ke-Indonesiaan. Kekerasan bisa membudaya karena adanya pola patriarki dan tradisi untuk membalas kekerasan dengan kekerasan. Patriarki lebih mengedepankan bahwa mereka yang lebih tua menjadi dominan dan bisa menjadikan kekerasan menjadi hal lumrah bila dikenakan pada orang yang berusia lebih muda. Alasan adanya kekerasan muncul lebih karena langgan budaya ketimuran di Indonesia yang kurang dimengerti dan tidak dilaksanakan hidup keseharian yaitu: rasa mendahului ilmu (sense precedes science).
Konsepsi mendasar "rasa mendahului ilmu" tampaknya mesti dimengerti dalam ruang kultur ketimuran. Budaya Barat adalah sebaliknya, "ilmu mendahului rasa". Komparasi antara Timur dan Barat memang agak berbeda. Sejarah pemikiran Barat memang lebih mengedepankan keilmuan ketimbang perasaan, terutama bagi negara-negara yang sudah merdeka dan menganut sistem demokrasi liberal. Perasaan bagi mereka tidak kompatibel dengan sistem demokrasi, terutama dalam pengambilan beragam kebijakan.Â
Rasa-perasaan seperti intuisi tidak bisa dijadikan dasar pengambilan kebijakan baik oleh para pemimpin di pemerintahan, di parlemen, atau di ranah hukum. Kebijakan mensyaratkan adanya ilmu, yang dibaliknya rasionalitas menjadi titik tumpu. Sebaliknya, di Asia, rasa tertambat dalam adab ketimuran yang bercampur dengan tradisi dan tingkah laku untuk memperlakukan orang lain sebagai bagian dari diri sendiri.
Mengefektifkan Altruisme
Rasa dalam konteks ini bukanlah rasa yang melulu dimengerti secara naif, melainkan rasa dijangkarkan pada diri individu (personal) dalam kebersamaannya dengan orang lain (komunal).Â
Rasa yang bisa bisa membatin dalam nurani, tetapi yang jauh lebih penting lagi rasa itu terarah pada tindakan kebaikan yang altruistik. Kebaikan altruistik itu hanya bisa diefektifkan dengan mengajak peserta didik untuk berjumpa dan hidup bersama (live together) dengan orang-orang marginal yang terpinggirkan, seperti orang miskin yang tinggal di kolong jembatan, tukang sampah hidup dan tinggal bersama sampah, para penduduk miskin di kampung yang dilanda kekeringan yang panjang, tukang gali kubur yang kesulitan memperoleh nafkah hidup, dan sejenisnya.Â
Dari perjumpaan itu, dimensi altruis peserta didik bisa hadir, memancar dan bisa menjadi modal berharga bagi hidupnya di masa depan. Pola pendidikan di sekolah sebaiknya mengefektikan altruisme (effective altruisme) kepada peserta didik dan menjadikannya bagian penting juga dari penilaian dan penentuan kelulusan.
Pengalaman dan perjumpaan itu akan melatih rasa menghargai para peserta didik. Implikasinya, para peserta didik bisa merasakan bahwa kekerasan akan mengganggu nuraninya. Maka, mereka setelah merefleksikan "hidup bersama yang lain" akan bisa merasakan bahwa guru tidak mungkin untuk disakiti dengan tindak kekerasan. Dari sinilah, pedagogi bisa dimengerti dengan mengandaikan munculnya sifat altruistis yaitu "hidup bersama dengan yang lain" dalam diri peserta didik.
Hidup bersama dengan orang lain memungkinkan munculnya sikap batin yang altruistik. Sikap tersebut adalah tuntutan dan panduan mendidik manusia. Tanda sikap itu mesti ada pada diri guru dan peserta didik. Sikap altruistik, dengan demikian menciptakan komunikasi tanpa henti, sinergi guru and murid dan terciptanya demokrasi untuk menghargai guru dan murid. Dengan mengefektifkan altruisme yang dilandasi dengan hati nurani bisa menjadi solusi atas kekerasan yang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H