Mohon tunggu...
Bernabas Ambon
Bernabas Ambon Mohon Tunggu... Guru - Orang Biasa

Berdoa dan bekerja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membudayakan Rasa dalam Mendidik Manusia Muda

13 Maret 2020   14:34 Diperbarui: 13 Maret 2020   14:41 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: siedoo.com

Pola tersebut tentu kurang sesuai dengan adab ketimuran, terlebih dalam konteks ke-Indonesiaan. Kekerasan bisa membudaya karena adanya pola patriarki dan tradisi untuk membalas kekerasan dengan kekerasan. Patriarki lebih mengedepankan bahwa mereka yang lebih tua menjadi dominan dan bisa menjadikan kekerasan menjadi hal lumrah bila dikenakan pada orang yang berusia lebih muda. Alasan adanya kekerasan muncul lebih karena langgan budaya ketimuran di Indonesia yang kurang dimengerti dan tidak dilaksanakan hidup keseharian yaitu: rasa mendahului ilmu (sense precedes science).

Konsepsi mendasar "rasa mendahului ilmu" tampaknya mesti dimengerti dalam ruang kultur ketimuran. Budaya Barat adalah sebaliknya, "ilmu mendahului rasa". Komparasi antara Timur dan Barat memang agak berbeda. Sejarah pemikiran Barat memang lebih mengedepankan keilmuan ketimbang perasaan, terutama bagi negara-negara yang sudah merdeka dan menganut sistem demokrasi liberal. Perasaan bagi mereka tidak kompatibel dengan sistem demokrasi, terutama dalam pengambilan beragam kebijakan. 

Rasa-perasaan seperti intuisi tidak bisa dijadikan dasar pengambilan kebijakan baik oleh para pemimpin di pemerintahan, di parlemen, atau di ranah hukum. Kebijakan mensyaratkan adanya ilmu, yang dibaliknya rasionalitas menjadi titik tumpu. Sebaliknya, di Asia, rasa tertambat dalam adab ketimuran yang bercampur dengan tradisi dan tingkah laku untuk memperlakukan orang lain sebagai bagian dari diri sendiri.

Mengefektifkan Altruisme

Rasa dalam konteks ini bukanlah rasa yang melulu dimengerti secara naif, melainkan rasa dijangkarkan pada diri individu (personal) dalam kebersamaannya dengan orang lain (komunal). 

Rasa yang bisa bisa membatin dalam nurani, tetapi yang jauh lebih penting lagi rasa itu terarah pada tindakan kebaikan yang altruistik. Kebaikan altruistik itu hanya bisa diefektifkan dengan mengajak peserta didik untuk berjumpa dan hidup bersama (live together) dengan orang-orang marginal yang terpinggirkan, seperti orang miskin yang tinggal di kolong jembatan, tukang sampah hidup dan tinggal bersama sampah, para penduduk miskin di kampung yang dilanda kekeringan yang panjang, tukang gali kubur yang kesulitan memperoleh nafkah hidup, dan sejenisnya. 

Dari perjumpaan itu, dimensi altruis peserta didik bisa hadir, memancar dan bisa menjadi modal berharga bagi hidupnya di masa depan. Pola pendidikan di sekolah sebaiknya mengefektikan altruisme (effective altruisme) kepada peserta didik dan menjadikannya bagian penting juga dari penilaian dan penentuan kelulusan.

Pengalaman dan perjumpaan itu akan melatih rasa menghargai para peserta didik. Implikasinya, para peserta didik bisa merasakan bahwa kekerasan akan mengganggu nuraninya. Maka, mereka setelah merefleksikan "hidup bersama yang lain" akan bisa merasakan bahwa guru tidak mungkin untuk disakiti dengan tindak kekerasan. Dari sinilah, pedagogi bisa dimengerti dengan mengandaikan munculnya sifat altruistis yaitu "hidup bersama dengan yang lain" dalam diri peserta didik.

Hidup bersama dengan orang lain memungkinkan munculnya sikap batin yang altruistik. Sikap tersebut adalah tuntutan dan panduan mendidik manusia. Tanda sikap itu mesti ada pada diri guru dan peserta didik. Sikap altruistik, dengan demikian menciptakan komunikasi tanpa henti, sinergi guru and murid dan terciptanya demokrasi untuk menghargai guru dan murid. Dengan mengefektifkan altruisme yang dilandasi dengan hati nurani bisa menjadi solusi atas kekerasan yang terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun