Mohon tunggu...
Bernabas Ambon
Bernabas Ambon Mohon Tunggu... Guru - Orang Biasa

Berdoa dan bekerja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Masyarakat yang Waras

6 Maret 2020   20:10 Diperbarui: 6 Maret 2020   20:50 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Negara ini memiliki rakyat yang waras, jika diungkapkan dengan hiperbolis, rakyat yang waras itulah satu-satunya keberuntungan yang masih dimiliki Bangsa kita. 

Namun segelintir orang tidak waras dalam menanggapi semua peristiwa yang terjadi di belahan dunia ini. Satu contoh menanggapi virus Corona dan peristiwa bandara udara Nashville, Tennessee (Amerika) yang diterjang Tornado pada tanggal, 3 Maret 2020 lalu. 

Dimana orang-orang yang tidak punya hati menilai peristiwa itu sebagai azab dari Allah. Penulis menilai yang bersangkutan telah hilang sisi kemanusiaannya. Betapa tidak, disaat orang membutuhkan bantuan malah mereka sangat mudah menghakimi, aneh memang tetapi orang-orang semacam itu masih hidup liar di sekitar kita.

Sekarang yang perlu kita lakukan adalah bagaimana membangun masyarakat yang waras. "Waras" adalah ungkapan dalam bahasa Jawa yang hanya bermakna sehat, tetapi juga tetap terjaganya kesadaran ketika kondisi sudah terjangkiti kegilaan. 

Rakyat yang waras menjadi benteng terakhir yang masih membuat bangsa ini tidak terseret dalam kecamuk kerusuhan berkepanjangan, sebagai mana yang terjadi di banyak Negara gagal.

Kekerasan dan intimidasi terhadap minoritas agama tidak berubah jadi kerusuhan massal yang mengganggu integrasi di masyarakat, bahkan tidak menjadi perang dendam yang berskla meluas. 

Bukan hanya karena lantaran Negara berhasil melindungi kaum minoritas dalam menjalankan keyakinan beribadatannya, melainkan karena rakyat yang waras tidak mau terjebak dalam konflik yang justru merugikan mereka sendiri.

Negara kita adalah Negara 'Bhineka Tunggal Ika" dan Toleransi sebagai ramuan mengatasi perbedaannya. Seperti dalam pidato Bung Karno, 1 Juni 1945 di hari lahirnya Pancasila berkata, Negara Indonesia bukan satu Negara untuk satu orang, bukan satu Negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. 

Negara Indonesia adalah sama buat semua, satu buat semua dan semua buat satu. Tidakah menurut Bung Hatta, Bangsa Indonesia terjadi oleh keinsafaan terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan? Tidakah keinsafan itu bertambah besar karena sama seberuntungan, malang sama derita, mujur sama didapat, dan tidakah Bangsa ini terjadi karena jasa bersama dan riwayat bersama yang tertanam dalam hati dan otak kita. 

Namun dalam kebersamaan itu selalu dihantui intimidasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk menghancurkan kebhinekaan bangsa kita.

Dan di sisi lain yang paling celaka adalah kini Pancasila, kita jauhkan dari kehidupan kita, walaupun ada hanyalah terdengar sebagai slogan pemanis hidup Negara belaka. Kita mengakui Pancasila, tetapi hidup kita berjalan lain yang bertentangan dengannya, mungkin itulah sebabnya otak kita jadi kehilangan saraf-saraf sosialnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun