Padahal hal terpenting dari pertanian dan Subak adalah irigasi atau air tersebut. Hal ini pula menyebabkan pemilik lahan pertanian tersebut terpaksa menjual tanahnya, ketimbang menggarap sawah yang tanpa hasil. Disamping itu, sistem sekaa atau organisasi Subak pun akan hilang. Jabatan Pekaseh, Kasinoman, Juru Arah, dan sebagainya akan tidak ada lagi. Konsep saling bantu membantu atau menyama braya sebagai ciri khas masyarakat pertanian pun akan hilang.Â
Hal yang lebih berbahaya lagi, Pura Bedugul atau Pura Subak sebagai tempat suci di areal lahan pertanian pun akan terlantar. Upacara Agama dan Tradisi pun juga akan punah. Lalu dimanakah Dewi Sri sebagai dewi kemakmuran dan kesejahteraan berstana? Tentunya akan kembali ke alam para dewa, sehingga wajarlah jika tingkat kesejahteraan masyarakat saat ini mulai menurun. Seluruh fenomena tersebut menunjukkan jika sistem Subak musnah, maka konsep Tri Hita Karana pun akan hilang.
Adapun upaya-upaya yang sebaiknya dilakukan untuk mempertahankan Subak dan Tri Hita Karana, diantaranya sebagai berikut.
- Pemerintah bersama-sama dengan pihak terkait hendaknya membuat kebijakan mengenai pembatasan alih fungsi lahan atau penetapan Ruang Khusus Terbuka Hijau (RKTH). Jika regulasi tersebut sudah ada, seperti Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 9 Tahun 2012 tentang Subak dan Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali sebaiknya dipantau dan ditegaskan kembali untuk mencegah pelanggaran terhadap peraturan tersebut sehingga konsep Tri Hita Karana dalam Subak tetap terjaga.
- Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat hendaknya turut mendukung Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan mengingat Subak merupakan warisan budaya tak benda yang dilindungi oleh undang-udang dan wajib dilestarikan keberadaannya.
- Pihak-pihak terkait hendaknya bisa memberikan subsidi kepada petani mengenai harga kebutuhan pertanian seperti pupuk, pajak tanah, dan lain-lain. Terlebih lagi bisa menaikkan harga gabah di pasaran. Hal ini dapat menjadikan bertani sebagai pekerjaan utama, sehingga Subak pun akan tetap lestari dan konsep Tri Hita Karana tidak akan hilang.
- Melaksanakan pelestarian lingkungan. Contohnya pelestarian kawasan hulu seperti Danau Buyan dan Danau Tamblingan, karena di kawasan tersebutlah asal sumber air untuk irigasi sawah. Begitu pula pelestarian kawasan gunung dan hutan sebagai daerah tangkapan air hujan yang juga dapat mengaliri air menuju lahan persawahan. Selain itu dapat pula melaksanakan upacara Danu Krtih dan Wana Krtih, sebagai simbol pelestarian air dan lingkungan sekitarnya.
- Membuat kreatifitas dan inovasi di lahan Subak. Contohnya adalah menjadikan Subak sebagai kawasan eco-eduwisata atau wisata lingkungan dan pendidikan yang berbasis Tri Hita Karana seperti kawasan Subak Sembung, Peguyangan, Denpasar. Hal ini dapat menarik minat wisatawan sehingga pemilik lahan enggan menjual lahan sawahnya.
- Cara terakhir adalah kita sebagai masyarakat Bali yang sangat bergantung pada hasil pertanian, hendaknya tetap berpegang teguh pada penerapan konsep Tri Hita Karana dalam segala hal mengingat banyaknya manfaat positif yang diperoleh.
Seluruh upaya tersebut tidak akan berguna apabila tidak adanya rasa kesadaran akan memiliki dan tanggung jawab. Oleh karena itu, marilah bersama-sama kita mulai dari masing-masing diri pribadi untuk ikut menjaga kelestarian Subak ini yang sarat akan filosofi Tri Hita Karana. Sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk melestarikan sesuatu yang adi luhung yang diwariskan oleh leluhur kita, terlebih lagi hal tersebut menjadi jati diri masyarakat Bali dan menjadi identitas nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H