Mohon tunggu...
Wasudewa Bhattacarya
Wasudewa Bhattacarya Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Mahasiswa Magister Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga

Saya adalah Mahasiswa Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga sekaligus ASN pada Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur. Saya senang dan tertarik untuk mengkaji tentang agama dan kebudayaan Jawa dan Bali.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Subak dan Tri Hita Karana: Degradasi Nilai Luhur Akibat Konversi Lahan Sawah di Bali

17 Mei 2022   21:35 Diperbarui: 17 Mei 2022   22:27 1369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sistem pengairan pada Subak di Bali diatur oleh Pekaseh (Ketua Subak). Dokumentasi penulis.

Aktivitas pertanian di Bali tidak pernah lepas dari adanya sebuah sistem yang mengatur pertanian berbasis agama dan budaya yang disebut dengan Subak. Berdasarkan prasasti Raja Purana Klungkung yang berangka tahun 994 Saka atau 1072 M, disebutkan kata “Kasuwakan” yang kemudian menjadi kata “Suwak” atau “Subak”. 

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 1982 dirumuskan pengertian Subak sebagai masyarakat hukum adat yang bersifat sosial religius secara historis tumbuh dan bekembang sebagai oragnisasi dibidang tata guna air di tingkat usaha tani. Hal ini terlihat jelas bahwa sistem Subak tidak hanya membidangi pengelolaan pertanian, tetapi juga bersifat sosial religius yang mengedepankan kearifan lokal.  

Pujian terhadap sistem Subak telah banyak disampaikan oleh para ahli internasional, salah satunya John S. Ambler, pada tahun 1990 menyatakan bahwa Subak adalah alat keirigasian yang nampaknya sangat sederhana, namun salah satu pengaturan air yang paling canggih di seluruh dunia.

Dalam menjalankan aktivitas pertanian, Subak berlandaskan pada konsep Tri Hita Karana. Tri Hita Karana adalah tiga hal penyebab kesejahteran diantaranya yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan atau Parhyangan, hubungan yang harmonis antara sesama manusia atau Pawongan, dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan atau Palemahan. 

Penerapan konsep ini bertujuan agar keseimbangan hidup dalam ajaran agama Hindu tetap terjaga. Oleh karena adanya konsep yang snagat kompleks ini dalam Subak, Badan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Budaya atau UNESCO telah menetapkan Subak menjadi warisan budaya dunia (World Herritage) pada tahun 2012. Hal ini juga didukung oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Apabila dicermati konsep luhur Tri Hita Karana yakni tiga hal yang menyebabkan keharmonisan yang dipedomani masyarakat Bali yaitu Parahyangan (hubungan harmonis antara manusia dan Tuhan), Pawongan (hubungan harmonis antara sesama manusia), dan Pelemahan (hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan) terdapat pada Subak dan seluruh komponen di dalamnya. 

Pada bidang Parahyangan, sistem Subak memiliki ritual khusus untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu dan Dewi Sri sebagai dewa kemakmuran dan kesuburan. Dengan adnya aktivitas ritual petani, maka akan dibangun pula sarana pemujaan lainnya seperti tempat suci yaitu Pura Subak atau Ulun Suwi, terdapatnya alat upacara atau banten, serta munculnya tradisi-tradisi yang berkaitan dengan Subak. Hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan ini akan dapat memotivasi masyarakat untuk selalu melestarikan sistem subak.

Pada bidang Pawongan, sistem Subak merupakan suatu organisasi yang mengatur segala hal tentang pertanian di suatu wilayah yang dipimpin oleh seorang Pekaseh yang beranggotakan Krama (Warga) Subak atau petani. Organisiasi ini pula mengatur para petani anggota Subak tersebut. Dalam organisasi Subak juga terdapat peraturan yang mengikat yang disebut dengan Awig-awig. Awig-awig ini merupakan salah pedoman dalam menjalankan aktivitas pertanian yang wajib diikuti oleh seluruh petani. Hubungan yang harmonis sesama petani tentu saja kan berdampak positif pula dalam perkembangan pertanian pada wilayah Subak

Pada bidang Palemahan sangat jelas terlihat di dalam Subak karena lingkungan itu adalah tempat padi itu tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu terdapat pengaturan pendistribusian air, pemeliharan bendungan, pemeliharan tanah dan lain-lain. Bahkan, masyarakat Subak tersebut memodifikasi lahan pertanian tersebut dengan membuat terasering di lereng bukit sehingga memungkinkan mereka untuk menanam padi. Hubungan yang harmonis antara petani dengan areal perawahan akan dapat menghasilkan pertanian yang melimpah dan memberi kemakmuran kepada masyarakat.  

Konsep harmonisasi Tri Hita Karana dalam Subak tersebut kini sedang digoyahkan oleh alih fungsi lahan yang menyebabkan kondisi Subak tidak seperti dahulu. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, alih fungsi lahan paling massif di Bali, rata-rata lebih dari 380 hektar per tahun persawahan hilang. Jika kondisi ini terus menerus terjadi maka lambat laun Subak pun akan hilang, sehingga eksistensi Subak sebagai Warisan Budaya Dunia pun lenyap. 

Hal yang sangat jelas terlihat adalah alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan. Hampir disetiap kota-kota besar di Bali terdapat lahan sawah yang dikonversi menjadi perumahan. Harga tanah yang sangat tinggi, membuat pemilik tanah tergoda untuk menjual tanahnya. Ironisnya, dengan dibangunnya perumahan ini, persedian air pun ikut berkurang, karena dialirkan menuju perumahan tersebut. Sehingga lahan pertanian yang masih ada di sekitar perumahan tersebut kesulitan memperoleh air. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun