Mohon tunggu...
Waskito Giri Sasongko
Waskito Giri Sasongko Mohon Tunggu... -

senang tulis-baca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keris : Semesta Makna dan Upaya Pemaknaan

13 Agustus 2014   18:49 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:39 1542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia antropologi dikenal teori sistem simbol yang diintrodusir Clifford Geertz. Dalam bukunya Tafsir Kebudayaan (1992), Geertz menguraikan makna dibalik sistem simbol suatu kebudayaan. Antropolog yang terkenal di tanah air melalui karyanya “Religion of Java” tersebut menyatakan bahwa sistem simbol merefleksikan kebudayaan tertentu. Jadi, bila ingin menginterpretasi kebudayaan sebuah masyarakat maka dapat dilakukan dengan menafsirkan sistem simbolnya.

Sementara sistem simbol itu sendiri merupakan salah satu dari tiga unsur pembentuk kebudayaan. Kedua unsur lainnya ialah sistem nilai dan sistem pengetahuan. Lebih jauh menurut Geertz, relasi dari ketiga sistem tersebut adalah sistem makna (system of meaning) yang berfungsi menginterpretasikan simbol dan, pada akhirnya, dapat memberi pijakan menangkap sistem nilai dan pengetahuan dari sebuah kebudayaan. Melalui sistem simbol inilah maka kebudayaan terus bisa dipahami dari satu generasi kegenerasi berikutnya melalui enkulturasi atau akulturasi budaya.

Demikianlah, eksistensi keris bagi masyarakat Indonesia. Keris adalah salah satu sistem simbol yang signifikan. Lihatlah logo Pemda di Indonesia, banyak yang menggunakan keris sebagai salah satu komposisi pembentuknya. Sebagaimana wayang, keris merupakan salah satu produk budaya yang masih bertahan melampaui bentangan waktu ribuan tahun lebih atau bahkan lebih jauh. Secara historis penemuan Prasasti Karangtengah (824 M) menyebutkan istilah keris dalam suatu daftar peralatan, sedangkan Prasasti Poh (904 M) mengatakan keris sebagai bagian dari sesaji ritual persembahan. Bahkan, kini eksistensinya telah diakui menjadi warisan budaya dunia milik Indonesia oleh UNESCO (2005).

Kini keris pun masih digunakan dalam berbagai ritual kebudayaan di berbagai daerah di Indonesia. Bagi masyarakat Jawa atau Bali misalnya, keris bahkan dianggap memilki fungsi spiritual atau sakral. Ini terbukti dalam upacara peringatan 1 Sura di keraton Jogja atau Solo, selalu ada ritual mengirab berbagai pusaka kraton. Sedang bagi masyarakat Bali, setiap 6 bulan sekali diadakan upacara Tumpak Landep. Ini adalah upacara penghormatan terhadap benda yang terbuat dari besi, utamanya keris. Upacara untuk menghormati Sang Hyang Pasupati yang turun ke bumi memberikan kekuatan dan perlindungan kepada umat manusia dalam bentuk senjata logam. Bagi masyarakat Bali, keris adalah sebuah simbol kekuatan leluhur dan alam semesta.

Signifikansi Keris bagi Masyarakat Indonesia

Walapun dalam pemaknaan yang cenderung pejoratif, setidaknya gambaran bermaknanya sebuah keris dapat kita lihat dari roman sejarah Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam roman ini diceritakan seorang gadis remaja usia 14 tahun yang belakang dipanggil “Mas Nganten” menikah dengan seorang pembesar Bima. Namun dalam upacara ijab qabul itu, Bendoro, demikian disebutnya sang mempelai laki-laki itu tidak menampak batang hidungnya. Dikisahkan dengan muram kehadiran Bendoro diwakilkan eksistensinya oleh sebuah keris. Dalam masyarakat Bali, tradisi ini juga masih dikenal hingga kini.

Jelas, bagi Pramoedya yang kita kenal sangat dekat dengan aspirasi dan ide-ide feminisme, ia gusar melihat gejala budaya nusantara yang hirarkis dan patriarkis. Namun terlepas adanya distorsi nilai-nilai feodalisme tersebut, Pramoedya pun hanya separuh kebenaran ketika menginterpretasikan makna keberadaan keris sebagai sistem simbol kebudayaan nusantara.

Apa yang Pramoedya luput ialah, bahwa keris tidak hanya merupakan sistem simbol yang berfungsi memberi arti diferensiasi sosial antara status satu orang dengan orang lainnya, melainkan lebih dari itu. Bahwa eksistensi keris juga memiliki makna sebagai representasi karakteristik jatidiri individual. Dalam konteks ini, masyarakat Jawa memberi pemaknaan keris sebagai 'sipat kandel'yang bermakna sebuah pusaka (tosan aji) yang sangat personal bagi pemiliknya.

Dengan begitu eksistensi keris juga sekaligus bermakna sinengker (bahasa Jawa, artinya bersifat rahasia). Oleh karena itu keberadaannya sudah tentu tidak bakalan ditunjuk kepada sembarang orang, alih-alih dipertontonkan mana suka kepada masyarakat luas. Adalah sebuah kehormatan tersendiri ketika seseorang beroleh izin melihat tosan aji orang lain, lebih-lebih pemilik keris adalah seorang pemuka masyarakat. Kehormatan ini memiliki makna, bahwa si-pemilik keris pusaka sudah tidak menganggap orang yang dipertontoninya sebagai orang lain (the other), ia sudah tentu dianggap sebagai kerabat atau setidaknya orang dekat (the self).

Kembali pada bagan kebudayaan Clifford Geertz. Dalam roman Gadis Pantai, Pramoedya tampak hanya mempertimbangkan keberadaan keris sebagai piranti sistem simbol dan diferensiasi sosial semata. Pramoedya alpa melihat keris dalam perspektif sistem nilai dan sistem pengetahuan yang berujung pada pembentukan sistem makna kebudayaan secara utuh. Pramoedya mencabut keris dari akar nilai dan pengetahuan sebagai lanskap konteksnya. Implikasinya ialah bagaimana semesta pemaknaan kebudayaan masyarakat nusantara dan keris sebagai sistem simbol-nya pun menjadi tidak tergambar utuh.

Tapi, ini mudah kita pahami. Jelas, dalam roman ini Pramoedya tidak bermaksud menulis semesta makna kebudayaan masyarakat nusantara dan fungsi keberadaan keris di dalamnya. Di sini tugas Pramoedya adalah memberi kritik atas distorsi nilai-nilai yang terbentuk dalam iklim budaya feodalisme.

Nah, pada titik inilah tulisan ini bermaksud melengkapi kekurang-utuhan gambaran tersebut. Karena banyaknya varian keris, sengaja tulisan ini kita batasi pada konteks keris dapur tilam sari pamor tunggak semi. Pilihan subyektif penulis sudah tentu didasari pertimbangan karakteristik dapur (model) dan pamor itu sendiri, yang sadar atau tidak sadar mencerminkan sistem nilai dan pengetahuan—baik itu pada keris itu sendiri secara khusus maupun lanskap kebudayaannya secara luas—yang membentuk semesta pemaknaan yang penulis hanyati selaku penggemar tosan aji.

Bagaimanapun, dibandingkan senjata tradisional bangsa lain kekhasan keris adalah justru pada bentuknya yang tidak simetris. Pada sisi vertikalnya keris memiliki derajat kemiringan tertentu terhadap garis horisontalnya. Bagian pangkal yang melebar (gonjo), bilahnya bisa lurus (lajer) atau berlekuk (luk), namun tidak sepenuhnya memiliki garis tegak (vertikal). Kita mengenal karakteristik ini dengan istilah condong leleh.

Selain itu, banyak di antaranya memiliki pamor, yakni gradasi warna yang membentuk semacam hiasan pada bilah keris. Pamor dibentuk oleh proses tempa-lipat berulang-ulang, yang karena perbedaan bahan komposisi material logamnya kemudian membentuk sebuah gradasi warna dan pola (pattern) tertentu. Orang Barat gegabah menyamakan hal ini sebagai model pedang Damascus. Padahal jelas berbeda, apa yang disebut orang Barat sebagai “Damascus steel” sebenarnya hanyalah salah satu teknik pembuatan pamor pada tradisi keris nusantara. Kita mengenalnya dengan istilah sinarasah, yang proses pembuatannya dikerjakan pada sentuhan akhir sebuah keris (sumber: Ensiklopedi Keris, Bambang Harsrinuksmo 2004). Sedangkan pamor pada keris dikerjakan sejak awal proses tempa lipat. Jumlah motif pamorpun tak terkira ragamnya.[1]

Diakui atau tidak, keris sebagai tosan aji dan sipat kandel adalah benda pusaka yang memiliki nilai-nilai spiritual atau sakralitas. Tentu saja hal ini bukan mitos belaka. Para empu di zaman dahulu, selain dikenal sebagai praktisi rohani (ascetic), ia sangat memperhatikan detail garap baik itu bentuk, model, hingga pernak-pernik ornamental (ricikan) kecil hiasannya. Setiap detail pada keris memilki makna masing-masing sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan oleh empu. Seorang empu menciptakan keris dengan ketekunan, totalitas diri dan cipta rasa yang tinggi. Keris diciptakan untuk memberi landasan bagi tumbuhnya karakter jiwa pemiliknya, menumbuhkan wibawa, rasa percaya diri, dan bukan sebagai piranti membunuh.

Lantas, pertanyaannya ialah apakah makna filosofis sebuah keris sebagai sipat kandel? Secara umum filosofi keris, baik itu terkait material bahan maupun konstruksi modelnya (dapur), mengandaikan konsepsi theologis sebagai tujuan tertingginya. Penggabungan material besi dan baja yang diambil dari unsur-unsur bumi di satu sisi dan material besi, nikel dan titanium (meteor) yang diambil dari unsur angkasa di sisi lain, jelas mengambarkan harapan bersatunya agregasi kekuatan langit dan bumi. Dari pemilihan bahan sendiri sudah mengambarkan harapan bersatunya mikro-makro kosmos, yakni jumbuhnya unsur immanensi dan transendensidalam kesadaran insani.

Tanpa terkecuali juga bersatunya gonjo dan wilah yang adalah simbolisasi bersatunya lingga-yoni; selain bermakna pemuliaan terhadap keberlimpahan alam semesta, pemuliaan terhadap keagungan cinta dan proses penciptaan, lebih jauh juga bermakna sebagai simbolisasi makna jumbuhing kawula-Gusti.

Artinya, di sini secara umum filosofi keris adalah sebuah pesan akan keberadaan nilai-nilai moral adiluhung (virtue). Keris berfungsi sebagai pengeling-eling akan nilai-nilai (moral) itu. Kaidah estetiknya mengejawantahkan simbolisasi nilai-nilai tersebut. Demikianlah keris dibuat dengan harapan sanggup memberi aspek edukasi yaitu menuntun manusia pada realisasi nilai-nilai (virtue) itu sendiri.

Dengan begitu keris secara inheren sesungguhnya menyimpan konsepsi ideal tentang nilai-nilai filosofi manusia Indonesia: ialah menjadi manusia sempurna (insan kamil) yang telah mengenal arti dan tujuan kelahirannya (sangkan paraning dumadi). Dalam arti umum inilah, apapun modelnya (dapur) sebuah keris baik itu lurus (lajer) maupun berlekuk (luk), konsepsi filosofis-etisnya adalah adanya sistem nilai terkait tujuan realisasi diri menjadi manusia sempurna, sebuah kondisi (state of being) jumbuhing kawula-Gusti.

Sedangkan problem epistemologi terkait bagaimana memawujudkan nilai-nilai (menjadi) manusia sempurna itu sendiri, jelas dibutuhkan adanya sistem pengetahuan tersendiri. Kawruh laku atau Samadhi sebagai sistem pengetahuan, misalnya, tentu hal ini tidak terejawantahkan secara simbolis pada ricikan bilah keris. Namun sikap jujur atau rendah hati sebagai prasyarat nilai-nilai (moral) manusia mencapai jumbuhing kawula-Gusti, misalnya, secara semiotik sudah terangkum pada kaidah ornamental (ricikan), seumpama pada makna lambe gajah dan condong leleh sebuah keris.

Nah, pertanyaannya ialah apakah makna keris tilam sari pamor tunggak semi? Dapur dan pamor adalah sebuah pola rancang bangun yang dibuat si empu untuk tujuan khusus. Secara leksikon, kata tilamsari adalah berasal dari bahasa Jawa Kawi yang berarti “paturon”.[2] Paturon (tempat tidur) jelas menggambarkan tercapainya kondisi kententraman atau ketenangan. Orang bisa tidur pulas tentu setelah seluruh beban hidupnya tanggal. Keris model tilam sari dengan begitu menggambarkan harapan dan tujuan terbangunnya ketenteraman atau ketenangan sebuah keluarga.

Motif tunggak semi bermakna sebuah spirit optimisme. Arti leksikon tunggak semi adalah"pangkal persemian". Jelas, tersirat dari namanya menggambarkan harapan yang selalu hidup. Bentuknya yang mirip sebuah api yang menyala-nyala dan tepat berada pada bagian bawah bilah (sor-soran) menggambarkan sesuatu yang tumbuh atau berkembang dari bawah menjadi sesuatu yang besar. Tidak ada kata mati bagi sebuah harapan. Bahkan, kematian pun bukanlah sebuah kondisi terputusnya harapan sama sekali. Selalu ada pembaharuan; selalu ada kelahiran kembali. Pamor tunggak semi dengan begitu bermakna daya hidup menyala-nyala (elan vital).

Dengan begitu keris tilam sari pamor tunggak semi adalah suatu harapan tercapainya kondisi hidup tentram atau tenang disangga daya hidup menyala-nyala tanpa akhir. Lantas, secara aktual apa maknanya bagi pemiliknya?

Untuk memudahkan melihat makna ini, ada baiknya kita meminjam bagan analisis Kantian.[3] Di sini keris tilam sari pamor tunggak semi adalah membawa nilai-nilai (moral) “imperatif hipotetis”. Ini adalah suatu kewajiban yang bersifat hipotetis (jika..., maka...), yaitu bahwa pelaksanaan kewajiban nilai-nilai tersebut hanya sejauh terkait dengan tujuan tertentu yang hendak dicapai. Artinya, kondisi itu sendiri sebagai sebuah tujuan atau harapan sudah tentu memprasyaratkan adanya nilai-nilai tertentu.

Kondisi hidup nan tentram dan tenang dengan disangga daya hidup menyala-nyala tentu memprasyaratkan adanya nilai-nilai kepercayaan diri, etos kerja keras, totalitas, keteguhan, keberserahdirian (pasrah), kesetiaan pada cita-cita, adanya tanggung jawab dan lain sebagainya. Ini adalah prasyarat yang tidak bisa tidak harus ada (sine quo non) sebagai upaya mewujudkan nilai-nilai “imperatif hipotetis” tersebut. Tanpa adanya nilai-nilai (moral) itu semua, sebaik apapun kualitas sebuah keris dibuat sang empu, ia tidak akan bermakna apa-apa alias pepesan kosong belaka.

Bagi orang Jawa, hidup adalah penuh dengan perlambang yang harus dicari maknanya. Keris juga merupakan sebuah sistem simbol yang bermaksud menuntun manusia hidup di jalan yang benar. Dengan begitu keris juga sebuah perlambang tersendiri yang harus dikuak kedalaman maknanya. Dalam lanskap kebudayaan yang memayungi keberadaan keris sebagai sistem simbol, berdampingan dengan itu juga tersimpan sistem nilai  (sipat kandel) dan sistem pengetahuan (kawruh laku atau samadhi), ketiganya membentuk keutuhan makna sebuah kebudayaan yang membentuk sistem makna orang Jawa mempersepsi dunianya.

Keris sebagai sipat kandel atau pusaka adalah berbeda dari keris sebagai sebuah jimat. Keris sebagai sipat kandel sudah pasti juga berbeda dari keris sekadar sebagai benda artistik atau estetik. Demikianlah keris sebagai sipat kandel adalah sebuah upaya manusia mengafirmasi nilai-nilai adiluhung (virtue) sebagai tujuan dan harapan hidupnya. Namun bersamaan itu, secara dialektis keris sengaja dibuat sekaligus dengan maksud memberi landasan kokoh pada pembentukan karakter jatidiri individual sebagai prasyarat tersendiri dalam mewujudkan nilai-nilai itu sendiri.

Dengan begitu prasyarat menginterpretasi dan mengapresiasi sebuah keris ialah, melihat hubungan ketiga unsur yakni keris sebagai sistem symbol itu sendiri, adanya sistem nilai-nilai yang dihayati, dan kompleksitas sistem pengetahuan yang melingkupinya. Ketiganya tidak bisa dilihat secara tidak terpisah-pisah. Ketiga unsur tersebut mencipta semesta pemaknaan yang utuh, yaitu sebuah nafas kebudayaan tempat di mana kita bergerak dihidupi dan menghidupi dunia. Seberapa mendalam ketiga hal tersebut berdialektika membentuk karakteristik jiwa pemilik sebuah keris, sudah tentu berpulang pada seberapa mendalam ketiga hal itu telah terpahami dan terhayati pada masing-masing pribadi.

*****

[1] Secara teknis, motif pamor pun dapat dibedakan yaitu pamor mlumah, pamor miring dan pamorpuntiran. Dengan begitu motif pamor sebuah keris pun dapat dibedakanmenjadi pamor tiban dan pamor rekan (by design).

[2] http://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/38-kamus-dan-leksikon/226-kawi-jarwa-dirjasupraba-1931-1263

[3] Immanuel Kant membedakan realisasi moralitas (nilai-nilai) dalam dua model, yaitu imperatif hipotetis danimperatif kategoris.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun