Dalam dunia antropologi dikenal teori sistem simbol yang diintrodusir Clifford Geertz. Dalam bukunya Tafsir Kebudayaan (1992), Geertz menguraikan makna dibalik sistem simbol suatu kebudayaan. Antropolog yang terkenal di tanah air melalui karyanya “Religion of Java” tersebut menyatakan bahwa sistem simbol merefleksikan kebudayaan tertentu. Jadi, bila ingin menginterpretasi kebudayaan sebuah masyarakat maka dapat dilakukan dengan menafsirkan sistem simbolnya.
Sementara sistem simbol itu sendiri merupakan salah satu dari tiga unsur pembentuk kebudayaan. Kedua unsur lainnya ialah sistem nilai dan sistem pengetahuan. Lebih jauh menurut Geertz, relasi dari ketiga sistem tersebut adalah sistem makna (system of meaning) yang berfungsi menginterpretasikan simbol dan, pada akhirnya, dapat memberi pijakan menangkap sistem nilai dan pengetahuan dari sebuah kebudayaan. Melalui sistem simbol inilah maka kebudayaan terus bisa dipahami dari satu generasi kegenerasi berikutnya melalui enkulturasi atau akulturasi budaya.
Demikianlah, eksistensi keris bagi masyarakat Indonesia. Keris adalah salah satu sistem simbol yang signifikan. Lihatlah logo Pemda di Indonesia, banyak yang menggunakan keris sebagai salah satu komposisi pembentuknya. Sebagaimana wayang, keris merupakan salah satu produk budaya yang masih bertahan melampaui bentangan waktu ribuan tahun lebih atau bahkan lebih jauh. Secara historis penemuan Prasasti Karangtengah (824 M) menyebutkan istilah keris dalam suatu daftar peralatan, sedangkan Prasasti Poh (904 M) mengatakan keris sebagai bagian dari sesaji ritual persembahan. Bahkan, kini eksistensinya telah diakui menjadi warisan budaya dunia milik Indonesia oleh UNESCO (2005).
Kini keris pun masih digunakan dalam berbagai ritual kebudayaan di berbagai daerah di Indonesia. Bagi masyarakat Jawa atau Bali misalnya, keris bahkan dianggap memilki fungsi spiritual atau sakral. Ini terbukti dalam upacara peringatan 1 Sura di keraton Jogja atau Solo, selalu ada ritual mengirab berbagai pusaka kraton. Sedang bagi masyarakat Bali, setiap 6 bulan sekali diadakan upacara Tumpak Landep. Ini adalah upacara penghormatan terhadap benda yang terbuat dari besi, utamanya keris. Upacara untuk menghormati Sang Hyang Pasupati yang turun ke bumi memberikan kekuatan dan perlindungan kepada umat manusia dalam bentuk senjata logam. Bagi masyarakat Bali, keris adalah sebuah simbol kekuatan leluhur dan alam semesta.
Signifikansi Keris bagi Masyarakat Indonesia
Walapun dalam pemaknaan yang cenderung pejoratif, setidaknya gambaran bermaknanya sebuah keris dapat kita lihat dari roman sejarah Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam roman ini diceritakan seorang gadis remaja usia 14 tahun yang belakang dipanggil “Mas Nganten” menikah dengan seorang pembesar Bima. Namun dalam upacara ijab qabul itu, Bendoro, demikian disebutnya sang mempelai laki-laki itu tidak menampak batang hidungnya. Dikisahkan dengan muram kehadiran Bendoro diwakilkan eksistensinya oleh sebuah keris. Dalam masyarakat Bali, tradisi ini juga masih dikenal hingga kini.
Jelas, bagi Pramoedya yang kita kenal sangat dekat dengan aspirasi dan ide-ide feminisme, ia gusar melihat gejala budaya nusantara yang hirarkis dan patriarkis. Namun terlepas adanya distorsi nilai-nilai feodalisme tersebut, Pramoedya pun hanya separuh kebenaran ketika menginterpretasikan makna keberadaan keris sebagai sistem simbol kebudayaan nusantara.
Apa yang Pramoedya luput ialah, bahwa keris tidak hanya merupakan sistem simbol yang berfungsi memberi arti diferensiasi sosial antara status satu orang dengan orang lainnya, melainkan lebih dari itu. Bahwa eksistensi keris juga memiliki makna sebagai representasi karakteristik jatidiri individual. Dalam konteks ini, masyarakat Jawa memberi pemaknaan keris sebagai 'sipat kandel'yang bermakna sebuah pusaka (tosan aji) yang sangat personal bagi pemiliknya.
Dengan begitu eksistensi keris juga sekaligus bermakna sinengker (bahasa Jawa, artinya bersifat rahasia). Oleh karena itu keberadaannya sudah tentu tidak bakalan ditunjuk kepada sembarang orang, alih-alih dipertontonkan mana suka kepada masyarakat luas. Adalah sebuah kehormatan tersendiri ketika seseorang beroleh izin melihat tosan aji orang lain, lebih-lebih pemilik keris adalah seorang pemuka masyarakat. Kehormatan ini memiliki makna, bahwa si-pemilik keris pusaka sudah tidak menganggap orang yang dipertontoninya sebagai orang lain (the other), ia sudah tentu dianggap sebagai kerabat atau setidaknya orang dekat (the self).
Kembali pada bagan kebudayaan Clifford Geertz. Dalam roman Gadis Pantai, Pramoedya tampak hanya mempertimbangkan keberadaan keris sebagai piranti sistem simbol dan diferensiasi sosial semata. Pramoedya alpa melihat keris dalam perspektif sistem nilai dan sistem pengetahuan yang berujung pada pembentukan sistem makna kebudayaan secara utuh. Pramoedya mencabut keris dari akar nilai dan pengetahuan sebagai lanskap konteksnya. Implikasinya ialah bagaimana semesta pemaknaan kebudayaan masyarakat nusantara dan keris sebagai sistem simbol-nya pun menjadi tidak tergambar utuh.
Tapi, ini mudah kita pahami. Jelas, dalam roman ini Pramoedya tidak bermaksud menulis semesta makna kebudayaan masyarakat nusantara dan fungsi keberadaan keris di dalamnya. Di sini tugas Pramoedya adalah memberi kritik atas distorsi nilai-nilai yang terbentuk dalam iklim budaya feodalisme.