Mohon tunggu...
Octavianus Gautama
Octavianus Gautama Mohon Tunggu... Suami/Ayah/Pengusaha/Penulis/Pelatih/Pencetus Ide/Anak/Pembicara -

Seorang suami dengan dua anak yang masih terus belajar untuk menjaga keseimbangan antara keluarga dan karir, antara hidup dengan fokus dan hasrat untuk mengambil setiap kesempatan yang ada.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Inovasi atau Mati!

24 Maret 2016   13:04 Diperbarui: 24 Maret 2016   13:09 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="http://www.mquadrant.com"][/caption]Demo yang terjadi di ibukota Jakarta baru-baru dalam rangka menolak transportasi berbasis online menghiasi berita di berbagai stasiun TV. Berbagai kelompok perkumpulan sopir-sopir bersatu untuk meminta agar transportasi umum berbasis aplikasi segera ditutup. Kombinasi jumlah orang yang banyak, emosi yang tinggi, dan kepentingan yang bertabrakan menjadi resep manjur untuk munculnya kekacauan. Tidak lama, berbagai foto dan video singkat bermunculan di sosial media, menunjukkan korban-korban dari protes massal ini. Diantaranya kita bisa melihat mobil dihancurkan, motor dijatuhkan, orang-orang dilecehkan dan masyarakat diresahkan.

Bentrokan dan aksi sweeping yang sempat muncul di daerah Slipi, contohnya, mempertemukan dua kelompok orang yang sama-sama berjuang untuk mencari sesuap nasi. Adu mulut muncul diantara bapak-bapak yang sama-sama mengadu nasip di Jakarta demi hari esok yang lebih baik. Dan tergantung kepada siapa kita bertanya, kita akan mendengarkan versi yang berbeda tentang siapa yang baik, siapa yang salah, dan apa yang perlu dirubah. 

Berbagai tanggapan dan refleksi dari pengamat-pengamat bermunculan memberikan pandangan kepada masyarakat yang bingung mengambil makna dari fenomena ini. Rhenald Kasali, salah satu guru besar managemen Indonesia memberikan pandangannya terhadap fenomena ini dengan konsep sharing economy. (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/03/22/054000126/Demo.Sopir.Taksi.dan.Fenomena.Sharing.Economy.?page=all)

Ia mengajak para pembaca untuk membuka pikiran terhadap perubahan dunia yang sedang terjadi dan bagaimana pihak-pihak yang bersikukuh dengan cara lama perlu membuka pikiran mereka. Kalau tidak, maka suatu hari nanti, mereka akan menemukan diri mereka seperti perusahaan raksasa Nokia yang merasakan sakitnya terjatuh dari penguasa dunia handphone. (http://www.kompasiana.com/warungpemimpin/terlalu-besar-untuk-jatuh_56e25211529773e11f6dd5a2) Ketika mereka harus menjual perusahaan handphone mereka kepada Microsoft, pemimpin Nokia berkata: “kami tidak melakukan apapun yang salah, tetapi entah bagaimana, kami kalah.”

Fenomena yang sama sedang merambat masuk dalam berbagai sektor bisnis dan merombak total sistem yang ada. Dunia sedang bergerak menuju persaingan global yang masih terlalu asing untuk bisa kita mengerti secara total. Tanpa disadari, bisnis lokal seperti hotel, taxi, toko, departmen store ini menghadapi persaingan bukan saja dari saingan yang lama, tetapi dari saingan baru yang muncul dengan modal yang sangat kecil. Dalam seketika, pemilik hotel dan stan di mall bukan saja harus bersaing dengan sesama pemain, tetapi dengan pemilik rumah dua susun yang memiliki kamar kosong dan seorang anak muda yang membuat sepatu di kamar tidur mereka. Dalam seketika, dunia yang sudah mereka kenal dan kuasai itu berubah menjadi hutan rimba yang asing buat mereka.

 

Apa yang harus mereka lakukan?

Bagaimana mereka bisa survive di tengah iklim usaha yang begitu aneh dan membingungkan ini? Kalau kita berada di posisi mereka, apa yang akan kita lakukan?

 

Cara pertama tentu saja adalah dengan berdiam diri. Mereka mencoba meyakinkan diri bahwa usaha mereka akan menjadi pengecualian terhadap fenomena ini. Mereka percaya dengan alasan tak masuk akal yang mereka buat bahwa fenomena ini tidak akan bertahan lama, bahwa hanya dalam waktu singkat, kondisi akan kembali seperti semula. Jadi mereka memilih untuk menutup mata terhadap perubahan yang terjadi.

Bila perubahan itu sudah memberikan dampak negatif pada penghasilan mereka, maka mereka akan merasa bahwa mereka sudah menjadi korban dari pasar yang tidak adil ini. Dengan menempatkan diri sebagai korban, mereka akan memilih jalan yang paling mudah, yaitu mengomel dan komplain. Inilah cara kedua. Sama seperti sikap seorang anak kecil yang harus bangun pagi karena sudah mulai bersekolah, orang-orang ini merengek menolak perubahan yang terjadi. Terkadang mereka melakukan dengan sendiri-sendiri, tetapi tidak jarang pula mereka berkumpul dengan kelompok yang serupa dan “berteriak” dengan lebih keras, seakan kerasnya teriakan menentukan benar tidaknya aksi mereka itu. Cara kedua adalah menyalahkan orang lain, menyalahkan pemerintah, menyalahkan kompetisi. Mereka menyalahkan berbagai pihak dan menolak untuk bercermin dan melihat bahwa perubahan ini tidak mungkin dibendung. 

Setelah letih dan menyadari bahwa satu-satunya perbedaan yang bisa muncul adalah ketika perusahaan itu mengambil langkah untuk berubah, maka umumnya perusahaan akan melakukan salah satu dari dua pilihan ini.

Pilihan pertama adalah pilihan untuk tetap dengan pendiriannya. Tidak sedikit pemimpin perusahaan yang mengambil langkah ini. Umumnya para pemimpin yang mengambil pilihan ini adalah pemimpin yang lebih cinta dengan metode daripada konsumen yang dilayani. Para pemimpin ini sudah melupakan visi dari perusahaan dan menempatkan metode diatas tujuan yang ingin dicapai. Mereka berpikir bahwa strategi yang membawa mereka ke hari ini masih bisa dipakai untuk membawa mereka maju ke hari esok. Dan walau banyak feedback dari konsumen yang memberikan indikasi bahwa metode itu sudah usang, mereka bersikeras dalam kenaifan mereka untuk melakukan hal yang sama.

Pilihan kedua adalah pilihan berubah. Pemimpin yang berada di kategori ini akan menyadari bahwa untuk bisa bertahan dan bertumbuh, ada perubahan yang harus dilakukan. Mereka akan merendahkan diri dan memposisikan diri seperti sebuah perusahaan yang baru. Mereka akan mendengarkan permintaan pasar dan membuat inovasi yang tepat untuk menjawab tantangan masa depan. Saya teringat terhadap seminar yang dibawakan Vijay Govindarajan. Ia adalah penulis buku New York Times Best Selling yang pernah menjabat sebagai Chief Innovation Consultant buat General Electric di Amerika.

[caption caption="http://www.nbforum.com/lataukset/0202-vijay-govindarajan-nbf13-c-paula_ojansuu.jpg"]

[/caption]

Dalam salah satu seminarnya, ia bercerita tentang tantangan yang dihadapi koran-koran Amerika ketika dunia bergerak ke arah digital. Ia menceritakan proses bagaimana New York Times yang sangat besar itu melakukan inovasi dan masuk ke dalam koran digital. Dengan langkah-langkah yang tepat, perusahaan besar bukan saja bisa melakukan inovasi untuk tetap relevan, mereka bisa mengambil kekayaan pengalaman masa lalu untuk melayani konsumen dengan lebih baik lagi.

 

Pasar akan terus berubah dan sebagai pemimpin, merupakan tanggungjawab kita untuk belajar dan mempersiapkan diri kita secara terus menerus. Adalah kewajiban kita untuk peka terhadap suara pasar, cermat melihat arah perubahan yang ada, dan lincah untuk bergerak bila diperlukan.

Mari kita belajar dari kejadian baru-baru ini untuk menyemangatkan diri kita lagi untuk menjadi pemimpin yang lebih peka terhadap perubahan dan arah angin masa depan. Inovasi terkadang menjadi satu-satunya jalan bila kita ingin tetap relevan dan tidak mati tenggelam dalam arus perubahan yang datang itu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun