Mohon tunggu...
Octavianus Gautama
Octavianus Gautama Mohon Tunggu... Suami/Ayah/Pengusaha/Penulis/Pelatih/Pencetus Ide/Anak/Pembicara -

Seorang suami dengan dua anak yang masih terus belajar untuk menjaga keseimbangan antara keluarga dan karir, antara hidup dengan fokus dan hasrat untuk mengambil setiap kesempatan yang ada.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Saya Harus Menerobos Lampu Merah Itu!

4 Desember 2015   15:03 Diperbarui: 5 Desember 2015   10:04 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Percakapan singkat ini menggelitik dan sedikit mengganggu saya. Di satu sisi, saya senang dengan kerinduannya untuk mengikuti peraturan. Salah satu harapan saya ketika anak saya besar adalah ia bisa taat pada peraturan yang ada. Tetapi seperti sisi gelap dari bulan, ada pembelajaran lain yang sedang ia lihat dari saya, yaitu pelanggaran yang dilakukan dengan sengaja. Perilaku menerobos lampu merah di jalan ini bukanlah yang pertama dan bukanlah yang terakhir untuk saya. Demi kelancaran berlalu lintas, saya merasa bahwa saya harus menerobos lampu merah itu.

Sebelum Anda menegur saya karena memberi contoh yang buruk kepada anak saya, mohon dengarkanlah latar belakang dibalik pelanggaran saya itu. Yang pertama adalah bahwa perilaku menerobos lampu merah itu hanya berlaku di satu tempat itu dan hanya saya lakukan pada pagi hari. Lampu lalu lintas di tempat lain saya ikuti dengan tertib sesuai dengan aturan.

Alasan untuk mengabaikan lampu lalu lintas itu adalah karena saya menyadari fungsi dari penempatan lampu tersebut di jalan itu, yaitu untuk menjaga ketertiban antara mobil yang sedang berjalan dengan mobil yang ingin berbelok masuk ke area mall dari arah yang berlawanan. Karena mall ini sangat besar dan terkadang bisa membuat macet jalanan, maka dipandang perlu untuk memasang lampu lalu lintas di belokan untuk masuk ke mall itu.

Dengan tujuan untuk menghindari kemacetan dan menjaga ketertiban antara mobil yang sedang berjalan dengan mobil yang ingin berbelok itulah lampu tersebut dipasang. Dan dengan pertimbangan itu, saya dan teman-teman pengemudi yang lain merasa bahwa lampu lalu lintas itu tidak perlu diikuti di saat pagi, ketika mall itu belum dibuka. Jadi, semua kendaraan melaju dengan cepat tanpa melihat lampu apa yang sedang menyala di tiang tersebut. Dan inilah yang menjadi alasan kedua saya. Bila dengan tiba-tiba saya berhenti, maka akan membahayakan kendaraan yang ada di belakang saya, yang berasumsi bahwa semua kendaraan melaju tanpa memperhatikan rambu yang ada.

Untuk anak yang berusia 5 tahun, penjelasan ini terlalu rumit untuk dimengerti. Saya tentu saja juga tidak mau disalahkan oleh dilema ini. Dan tidak sulit untuk memposisikan diri saya sebagai korban dari peraturan yang berlaku. Mengapa pemerintah setempat tidak belajar dari kota-kota maju lainnya? Bukankah ada sensor jalan yang bisa mendeteksi mobil yang berhenti, sehingga lampu menjadi merah hanya ketika ada mobil dari sisi berlawanan yang berhenti untuk berbelok masuk ke arah mall? Teknologi itu sudah saya nikmati lebih dari 15 tahun yang lalu di kota Vancouver, Canada. Jadi, ada cara agar masalah ini terselesaikan dan perilaku melanggar lampu lalu lintas tidak tertanam dan menjadi kebiasaan kami sebagai pengemudi.

Pernahkah Anda mengalami hal yang sama? Pernahkah Anda merasa menjadi korban dari sistem yang ada, dimana pilihan-pilihan yang tersedia semuanya seakan merugikan Anda? Pernahkah Anda terpaksa melakukan pelanggaran demi kebaikan?

Percakapan dengan anak saya itu ternyata mengajarkan saya sesuatu tentang diri sendiri. Terlepas dari bagaimana pihak yang berwajib belajar dan memperbaiki sistem lalu lintas yang ada, masing-masing kita memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri sendiri. Dalam peran kita sebagai pemimpin diri sendiri, pemimpin keluarga, atau di organisasi dan masyarakat, setiap kita memiliki bagian untuk dibentuk menjadi lebih baik dari hari kemarin. Dan dalam keputusan yang kita buat, perlu ada kepekaan terhadap sisi lain yang bisa muncul sebagai akibat dari keputusan tersebut.

Sambil kita berusaha untuk menjadi lebih baik lagi, janganlah kita langsung marah ketika mendapati anak atau pegawai kita yang terus-terusan kedapatan “menerobos lampu merah itu.” Marilah kita buka mata dan bukannya langsung menyalahkan perilaku yang salah, tetapi menganalisa terlebih dahulu sistem dan peraturan yang ada. Memecat pegawai itu mungkin tidak akan menyelesaikan masalah bila pegawai itu melangar karena sistem perusahaan yang buruk.

Demikian juga memarahi terus anggota tim atau anggota keluarga karena kesalahan yang berulang-ulang yang dilakukan mereka. Bila perilaku itu terjadi berulang-ulang, besar kemungkinan masalahnya bukan pada orangnya, melainkan pada sistem yang ada. Mungkin saja, seperti saya dan para pengemudi yang melewati jalan tersebut, mereka merasa bahwa menerobos lampu merah itu adalah langkah yang paling tepat di saat itu.

Seperti perilaku saya yang menerobos lampu merah itu, kebanyakan perilaku pelanggaran yang terjadi dalam perusahaan dan organisasi muncul karena sistem yang buruk. Mari kita belajar bersama untuk meningkatkan kepekaan itu sehingga kita bisa memberikan respon yang produktif ketika kita duduk pada posisi yang memungkinkan kita untuk memperbaiki sistem yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun