Mohon tunggu...
Octavianus Gautama
Octavianus Gautama Mohon Tunggu... Suami/Ayah/Pengusaha/Penulis/Pelatih/Pencetus Ide/Anak/Pembicara -

Seorang suami dengan dua anak yang masih terus belajar untuk menjaga keseimbangan antara keluarga dan karir, antara hidup dengan fokus dan hasrat untuk mengambil setiap kesempatan yang ada.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Mau Diapakan Warisan Utang Ini?

30 Oktober 2015   16:01 Diperbarui: 30 Oktober 2015   16:01 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kesempatan untuk membawa sebuah seminar tentang bisnis keluarga. Latar belakang besar di tengah keluarga yang menjalankan bisnis secara bersama-sama tidak serta merta menjadikan saya ahli di dalamnya. Sayapun melakukan penelitian dan mencari tahu lebih banyak lagi tentang dinamika bisnis keluarga.

 Dalam proses persiapan itu, saya belajar banyak hal, mulai dari fakta menarik hingga cerita klasik seputar bisnis keluarga. Saya kaget ketika menemukan bahwa sebuah perusahaan keluarga bernama penginapan Hoshi (Hōshi Ryokan) di Jepang masih dijalankan oleh keluarga yang sama, empat puluh enam generasi setelah didirikan di tahun 718. Dan yang lebih surprising buat saya adalah bahwa Hōshi Ryokan bukanlah perusahaan keluarga tertua di dunia yang masih beroperasi saat ini.

 

Sayangnya, Hōshi Ryokan merupakan pengecualian dari kisah-kisah tersebut. Kebanyakan perusahaan keluarga tidaklah dapat bertahan lama. Berbagai pepatah di berbagai negara memperlihatkan kerapuhan dari sebuah perusahaan keluarga. Orang Inggris berkata: clogs to clogs in three generation (clogs itu tipe sepatu dari kayu yg dipakai oleh buruh, identik dengan pekerja kasar). Orang Italia berkata: from stables to stars to stables (dari kandang ke bintang ke kandang kembali). Bahkan di Jepang (the third generations ruins the house) atau di China (wealth does not survive three generations), perusahaan keluarga mengalami tantangan besar untuk bertahan. Kita bisa melihat bahwa tantangan yang dialami oleh sebuah perusahaan keluarga tidak berbeda jauh, terlepas dari lokasi, jenis industri, atau besar kecilnya perusahaan itu.

 

Setelah menjelaskan variasi dari bisnis keluarga dan strategi umum yang sering diambil untuk mengembangkan sebuah perusahaan keluarga, saya membagikan satu tool yang bisa digunakan oleh para peserta jambore nasional ini untuk mengatasi konflik yang muncul diantara anggota keluarga. 

Sebelum acara jambore nasional pemuda/i itu ditutup, kami sebagai speaker diundang kembali untuk maju ke panggung dalam acara sesi tanya jawab. Antusias peserta terlihat dari banyaknya pertanyaan yang muncul. Salah satu pertanyaan yang sangat bagus diberikan kepada saya seputar bisnis keluarga. Seorang pemuda berkata demikian: Ada seorang anak yang baru saja ditinggal mati oleh ayahnya dengan utang yang besar dari perusahaan yang didirikannya. Utang yang besar itu membuatnya sulit untuk mencari pinjaman, dan juga sulit untuk bergerak. Apakah pilihan untuk mempailitkan saja perusahaan itu dan memulai dari nol adalah pilihan yang baik? Apa yang harus ia lakukan sebagai anak?

Pertanyaan yang sangat relevan dengan kehidupan bisnis yang kita hadapi dan karena itu, saya memilih untuk berhati-hati dalam memberikan petunjuk kepada anak muda itu. Setelah mendapat kesempatan untuk berpikir sejenak, sayapun memulai jawaban saya dengan sebuah pengalaman yang pernah saya alami.

 

Beberapa waktu yang lalu, saya berkata, salah seorang langganan kami menderita sakit parah dan meninggal dalam waktu singkat. Tokonya itu diolah sendiri, dan dialah yang selalu melakukan pembelian dan penjualan. Ia yang mencari supplier dan ia jugalah yang berhubungan dengan para langganan. Istrinya tidak pernah ikut campur dan ketika suaminya meninggal, maka istrinya tidak hanya berurusan dengan kedukaan yang dalam, tetapi juga segala kerumitan dari toko yang ditinggalkan oleh sang suami. Sekitar seminggu setelah pemakaman suaminya, ibu muda ini datang bersama anaknya ke toko kami. Di sana ia bercerita tentang kendalanya dan betapa butanya ia dengan kondisi toko suaminya. Ia tidak tahu siapa saja langganan dari suaminya, apalagi masalah keuangan dari toko. Ia tidak tahu siapa yang masih utang kepada mereka dan berapa banyak utang yang ia miliki. Tetapi ibu ini, dengan keberanian dan tekad yang kuat, mendatangi toko kami untuk meminta waktu lebih dalam membayarkan utang suaminya. Ia berkata bahwa ia akan turun tangan sendiri dan ia akan mulai ke daerah untuk mencari tahu jaringan kerja yang sudah dibangun oleh suaminya selama ini.

Dari ibu muda yang penuh kebingungan dan kesedihan ini, kita belajar bahwa yang paling penting dalam menyelesaikan masalah ini adalah tekad hati kita. Dalam bisnis keluarga, utang perusahaan itu sama dengan utang keluarga. Sebagai anak yang berbakti, kita ingin menjaga nama baik keluarga kita. Dilema antara menyelesaikan tanggung jawab dan keterbatasan kemampuan harus kita atur dengan bijak. Pilihan apakah kita harus melunasinya atau membangkrutkan perusahaan harus kita tinjau dengan berhati-hati. Dan langkah awal untuk memulainya adalah dengan menentukan hati, dengan mengambil komitmen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun