Mohon tunggu...
Octavianus Gautama
Octavianus Gautama Mohon Tunggu... Suami/Ayah/Pengusaha/Penulis/Pelatih/Pencetus Ide/Anak/Pembicara -

Seorang suami dengan dua anak yang masih terus belajar untuk menjaga keseimbangan antara keluarga dan karir, antara hidup dengan fokus dan hasrat untuk mengambil setiap kesempatan yang ada.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Mengejar Kepiting!

23 Oktober 2015   13:01 Diperbarui: 23 Oktober 2015   13:01 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Pada hari raya baru-baru ini, saya dan keluarga pergi ke pantai untuk bermain dan berenang. Kami sangat senang dan sangat menikmati waktu kebersamaan ini. Sammy (5 tahun) anak sulung saya segera turun untuk bermain pasir bersama sepupunya. Tak lama kemudian, merekapun melakukan salah satu kegiatan kesukaan mereka: mengumpulkan kulit kerang. Mereka mengambil gelas aqua bekas yang dibuang orang dan dengan penuh semangat, mencari dan memilah kulit-kulit kerang yang ada di pesisir pantai. 

Tak lama kemudian, adik ipar saya mengajak mereka untuk mencari kepiting kecil yang biasa bersembunyi dibawah pasir laut. Dengan semangat, kami mengorek-ngorek dan mencari-cari. Tak lama kemudian, satu kepiting kecil berhasil ditangkap. Kamipun memasukkannya ke dalam gelas aqua. Keberhasilan kecil ini memicu semangat kami untuk mencari lagi. 

 

Mendengar serunya percakapan kami, beberapa anak berusia sekitar 10 tahunan di sekitar kami mulai datang mencari tahu apa yang terjadi. Kami memperlihatkan tangkapan kami dan merekapun dengan semangat mulai mencoba untuk mencari binatang yang bersembunyi di dalam pasir di bawah laut itu.

Tak lama kemudian, bukan hanya kepiting yang kami temukan. Harta karun lain adalah kerang hidup, keong... 

 

dan kelomang.

 

Anak-anak kami sangat gembira dengan tangkapan ini dan mereka menunjukkan kepada semua orang yang mau memberikan perhatian.

Anak-anak SD yang sedang mencari itu kembali melewati kami. Tampang mereka lesu. Mereka masih belum berhasil menangkap satupun binatang dan kami mendorong mereka untuk mencoba lagi. Merekapun mencoba lagi, tetapi tidak untuk waktu yang lama. Ketika kami melihat mereka lagi, mereka kelihatannya sudah menyerah dan memilih untuk melakukan aktivitas yang lain.

Melihat mereka menjauh, saya merasa sedikit sayang. Asal mau mencoba saja, saya percaya mereka akan berhasil. Asal mau berusaha terus, maka keinginan mereka untuk menangkap kepiting atau kelomang hidup itu akan tercapai. Dari segi kemampuan, tidak ada bedanya diantara kami dan mereka. Dari segi pengalaman, frekuensi kami menangkap kepitingpun tidak lebih banyak. Sayangnya, mereka menyerah setelah gagal beberapa kali.

Tetapi saya sangat mengerti kok dengan situasi mereka. Sayapun pernah menyerah karena menemukan kegagalan demi kegagalan dalam usaha saya mengejar sesuatu. Saat itu, saya menjadi putus asa, kecewa dan merasa bahwa hal yang saya kejar itu tidak akan pernah tercapai.

Anda mengerti bukan dengan perasaan itu? Besar kemungkinan, bila Anda belum pernah mengalaminya, maka ada teman atau kerabat kita yang menaikkan bendera putih terhadap keinginan mereka. Bukankah banyak mimpi dan impian kita tidak terealisasi karena kegagalan yang kita hadapi? Kita ingin menjadi penulis, tetapi ketika tulisan kita menuai kritik demi kritik, maka cita-cita itu kita lepaskan dari gengaman kita. Atau kita ingin menjadi penyanyi, namun keluarga dan lingkungan mengejek dan mengatakan bahwa hal itu tidaklah mungkin. Kita ingin mendaki gunung Everest, kita ingin melihat kemegahan piramida. Kita ingin terbang ke luar angkasa. Tetapi setiap orang yang kita temui mengatakan bahwa itu adalah mimpi yang mustahil. Dan kita menyerah sebelum mencoba. 

Dunia memang kejam terhadap mimpi yang lahir dalam diri kita. Seperti sebuah benih yang ditabur di tanah gersang, demikian rapuhnya mimpi ditengah realita dan tuntutan hidup. Kesibukan dan pilihan menguras tenaga kita dan tanpa terasa, mimpi itu kita luakan.

Sebagai pemimpin, salah satu tantangan terbesar kita dalam membawa organisasi atau tim kita untuk meraih sebuah visi adalah kegagalan. Kegagalan bukan saja akan menanam benih putus asa dan keraguan dalam diri kita, tetapi juga menghimpit pengharapan yang sedang berjuang untuk tumbuh. Kegagalan memberikan ilusi bahwa mimpi yang kita kejar itu salah sehingga kita merasa bahwa langkah terbaik adalah menyerah. Padahal di kebanyakan situasi, langkah yang perlu diambil adalah mengubah strategi dalam mengejar mimpi itu.

 

 

Apakah yang sedang Anda kejar, Sobat?

 

Sebagai pemimpin, kita perlu peka terhadap efek dari kegagalan dan rintangan yang muncul di jalan. Kita jangan menutup mata dan menghiraukan kegagalan yang muncul dan kita juga jangan langsung menyerah ketika kita menemukan jalan buntu.

Kita buka mata dan melakukan otopsi terhadap kegagalan itu. Mungkin strateginya yang perlu diganti. Mungkin pula waktunya yang kurang tepat. Dalam evaluasi itu, milikilah sifat flexibel terhadap strategi sambil kita tetap berlari mengejar mimpi itu.

Bila yang Anda kejar itu lebih berharga dari seekor kepiting, milikilah mental dan semangat pantang menyerah yang lebih besar daripada anak SD tadi.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun