Mohon tunggu...
Wartini Sumarno
Wartini Sumarno Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Kopi

Penyuka film, anime, juga suka wisata sejarah sekaligus wisata religi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyambut Juang Merengkuh Masa Depan: Peran Santri dalam Menghadapi Neoliberalisme

22 Oktober 2024   09:28 Diperbarui: 22 Oktober 2024   10:09 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat hari santri, saya ucapkan kepada seluruh santri di negeri ini. Sejak tahun 2015, setiap tanggal 22 oktober ditetapkan sebagai hari santri nasional (HSN) melalui Keppres No. 22 Tahun 2015. Penetapan hari santri naisonal yang jatuh pada tanggal 22 oktober merujuk pada peristiwa Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Hadratus Syeih Hasyim Asyi'ari yang berisi kewajiban berjihad untuk mempertahankan Indonesia dari pejajahan.

Peringatan hari santri juga merupakan wujud pengakuan negara terhadap kalangan santri-kiyai bahwa mereka juga memiliki peranan yang sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan. Selama ini berdasarkan kurikulum pendidikan, pembuatan buku pelajaran sejarah atau pendidikan kewarganegaran di Sekolah, sedikit sekali yang menyinggung peranan para ulama apalagi peranan santri.

Maka dari itu, peringatan hari santri ini menjadi momen yang penting bukan hanya untuk mengenang perjuangan para santri dan ulama tapi juga sebagai jalan menunjukan eksistensi peran santri. Santri selama ini sering terkesan sebagai kelas kedua dibanding pelajar lainnya yang mengenyam pendidikan formal di Sekolah. Meski sekarang banyak Pesantren yang sudah berbenah diri dengan berusaha mengikuti perkembangan zaman.

Untuk Pesantren modern yang memang menggabungkan pendidikan agama dan sekolah memang mudah beradaptasi, tapi beda halnya dengan Pesantren tradisional yang hanya berfokus pada ilmu-ilmu kegamaan meski memang sudah banyak pula Pesantren tradisional yang mengintegrasikan pendidikan Sekolah dan bahkan sudah memiliki perguruan tinggi pesantren bernama Ma'had Aly seperti di daerah-daerah Jawa.

Tapi bagi Pesantren-Pesantren kecil yang lebih banyak tersebar di kampung-kampung dan daerah-daerah pedalaman mereka jauh dari kata mapan dan sejahtera dalam hal fasilitas, masih banyak bilik rombeng (kobong) yang sudah mulai lapuk dan over capacity. Karena mereka tidak berbentuk lembaga formal sehingga tidak mendapatkan bantuan biaya operasional pendidikan dari Pemerintah.

Belum lagi ketika mereka selesai nyantri karena tidak dibarengi dengan sekolah mereka kebingungan untuk bekerja, karena sejauh ini proses rekruitmen pekerja masih terpaku pada bukti formal berupa ijazah atau sertifikat pelatihan kerja. Sedangkan keseharian para santri ini hanya mengenal ilmu-ilmu keagamaan. Bahkan yang mendapat penyetaraan ijazah sejauh ini baru pendidikan Ma'had Aly saja.

Tentu saja latar belakang sebagai santri membuat para santri terbiasa hidup sederhana dan mempunyai daya juang yang lebih tinggi karena mereka terbiasa beradaftasi dengan keterbatasan. Untuk santri laki-laki, biasanya untuk mencari nafkah mereka berdagang kecil-kecilan, karena akses untuk mendapat pekerjaan yang jauh lebih mapan sangat terbatas. Dan untuk santri perempuan kebanyakan menunggu untuk dilamar.

Keadaan ini hanya semakin melanggengkan sistim neoliberalisme yang merupakan kepanjangan dari kapitalisme. Sebagaimana yang ditulis oleh Nur Khalik Ridwan dalam buku Masa Depan NU, bahwa dalam menjawab persolan NU lebih sering bersikap reaktif ketimbang kreatif (by design). Sikap pasif ini yang kerap menimbulkan kekalahan, karena tidak banyak terlibat dalam penentuan-penentuan kebijakan.

Kenapa? Ya karena memang tidak cukup ada ahli-ahli ekonomi alternatif yang dimiliki NU. NU tidak memiliki desain untuk melahirkannya (atau tidak niat). Kecuali dalam hal-hal tradisi Pesantren , pembelaan simbol-simbol kenegaraan, dimana NU ambil bagian depan. Sedangkan basis massa NU adalah wong cilik (petani, nelayan, buruh dll) dan kaum pinggiran.

Bagaimana mau mensejahterakan umat kalau NU sendiri tak punya badan usaha ekonomi yang besar, tidak memiliki Perusahaan-perusahaan yang bisa menambang di hutan, tidak bisa menjadi pebisnis-pebisnis besar dilaut. Yang sudah sarjana sekalipun dan kemudian melakukan mobilitas sosial dibidang tertentu, hanya menjadi kelas menengah yang mendekati kelompok bawah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun