Mohon tunggu...
Wartini Sumarno
Wartini Sumarno Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Kopi

Penyuka film, anime, juga suka wisata sejarah sekaligus wisata religi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Propaganda Patriarki dalam Novel Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan

14 Juli 2023   15:08 Diperbarui: 14 Juli 2023   15:18 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena representasi keadilan dalam novel ini, merupakan bentuk pemikiran yang hadir dari pengarang laki-laki. Sehingga pesan yang ditampilkan berasal dari sudut pandang dan keberpihakan laki-laki.

Walau tentunya harus kita akui bersama tidak semua penulis laki-laki lebih menekankan pada kepentingan laki-laki saja tapi juga keadilan perempuan seperti KH. Husein Muhammad (penulis buku Fiqh Perempuan), seorang ulama yang konsen dibidang ke-genderan dan aktif menyuarakan hak-hak perempuan terutama dalam sudut pandang agama islam. Hal itu terbukti dari keaktifan beliau sebagai salah satu Dewan Pemasihat KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia). Beliau yang akrab disapa Buya Husein ini juga produktif menulis buku-buku tentang keperempuanan. Meminjam istilah Julia Suryakusuma dalam buku Jihad Julia (Pemikiran Kritis dan Jenaka Feminis Pertama Indonesia), bahwa Buya Husein adalah Ulama yang doyan perempuan (ini dalam konotasi yang positif), karena memang bisa dikatakan di Indonesia beliau adalah  ulama laki-laki yang paling aktif dan ulet dalam konteks keperempuanan.

Dalam setiap strategi wacana selalu terdapat ideologi tersembunyi dari pemangku kekuasaan, dalam hal ini adalah penulis. Apa yang ditampilkan oleh penulis dalam representasi keadilan gender yang justru menimbulkan kegagalan dalam rumah tangga mengarah pada posisi perempuan sebagai pihak yang bersalah.

Sedangkan paradigma sosial konflik memandang, bahwa sesungguhnya ketimpangan gender dimulai dari institusi keluarga yang menempatkan perempuan sebagai mahluk kedua (second class) setelah laki-laki, yang dibatasi perannya hanya pada wilayah domestik.

Sehingga konflik yang terjadi dalam rumah tangga bukan karena peran perempuan dalam wilayah publik atau sebagai wanita karir, tapi pola keluarga yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan. Sedangkan perempuan adalah "abdi" yang harus menjalankan semua perintah suami.

wallahu'alam bishowab

Serang, 20 januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun