Mohon tunggu...
Wartini Sumarno
Wartini Sumarno Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Kopi

Penyuka film, anime, juga suka wisata sejarah sekaligus wisata religi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Propaganda Patriarki dalam Novel Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan

14 Juli 2023   15:08 Diperbarui: 14 Juli 2023   15:18 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar:https://id.pinterest.com/pin/579908889537904825#imgViewer

Kadang saya merasa heran masih banyak orang berpandangan bahwa membaca novel (sastra) terkesan tak elit, cenderung cheesy, sok romantis, bahkan katanya tak ada unsur intelektualis tidak seperti literatur lainnya.

Bagi beberapa orang membaca Fihi Ma Fihi nya Rumi atau Das Kapitalnya Karl Marx lebih keren ketimbang membaca antologi puisi Mbah Djoko Damono. Membaca Madilognya Tan Malaka dan Sejarah Tuhan karya Karen Amstrong lebih bermanfaat ketimbang Perempuan di Titik Nolnya Nawal El Shadawi atau Beyond the Veilnya Fatima Mernissi atau Wanita Berkalung Surbannya Abidah El Halieqy.

Padahal buku apapun itu, mau itu sastra mau itu referensi ilmiah sama saja selagi menambah khazanah keilmuan kita. Tapi bukan itu yang ingin saya bahas, hanya ingin sedikit berbagi unek-unek mengenai novel yang cukup kontroversial karya Ihsan Abdul Quddus.

Melalui sastra terutama novel, pengarang dapat mengkomunikasikan sebuah pesan. Dimana pesan tersebut merupakan sebuah proses pembentuan makna, seperti halnya kemunculan novel "Aku Lupa Bahwa Aku  Perempuan" karya dari Ihsan Abdul Quddus. Dimana dalam novel ini Ihsan sang penulis merepresentasikan perjuangan keadilan gender dalam sudut pandang laki-laki melalui tokoh Suad yang menempatkan posisi perempuan sebagai subyek sekaligus obyek, sehingga pada akhirnya tidak peduli seberapa keras upaya yang dilakukan oleh perempuan (Suad) dalam mencapai keadilan hanya akan menempatkannya dalam posisi lemah.

Mengapa demikian? Karena representasi keadilan gender yang ditampilkan dalam novel ini tidak lebih dari pandangan-pandangan skeptis Ihsan Abdul Quddus sebagai penulis yang sekaligus juga laki-laki dalam menempatkan perjuangan keadilan gender yang dilakukan oleh prempuan hanya akan berakhir dengan kegagalan. Jika tidak dalam satu ranah maka kedua-duanya, hal itu dapat dilihat dari pernyataannya "setiap orang memiliki dua sisi: satu untuk orang lain, satu untuk dirinya sendiri. Mustahil menyatuan keduanya". Itu artinya menurut novel ini, jika perempuan berhasil dalam ranah publik maka ia akan gagal dalam ranah domestik. 

Seperti yang di alami oleh Suad ketika dia sukses menjadi tokoh politisi terpandang dan disegani dia justru gagal dalam rumah tangga, sehingga dia diceraikan oleh suaminya ditinggalkan oleh anaknya dijauhi oleh keluarganya. Kesempatan yang sama dalam aktualisasi diri pada perempuan di wilayah publik yang merupakan wujud perlawanan terhadap marjinalisasi justru akhirnya direpresentasikan sebagai faktor utama penyebab kurangnya perhatian terhadap keluarga dan berakibat perceraian.

Representasi perempuan dalam hubungan kemitraan laki-laki dan perempuan sebagai pendobrakan terhadap stereotipe dan anggapan bahwa perempuan selalu bergantung pada laki-laki pada akhirnya digambarkan sebagai perempuan untuk melawan laki-laki yang di anggap sebagai kepala keluarga. Dimana dalam budaya patriarki terdapat yang namanya institusi keluarga yaitu sebuah sistem struktural-fungsionalis dimana dalam sudut pandang feminisme marxis bahwa laki-laki dianggap sebagai "pemilik sumber daya", sehingga istri pun (perempuan) adalah milik suami (laki-laki). Yang itu artinya, suami mempunyai hak untuk memperlakukan bagaimana istrinya. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya legitimasi agama yang ditafsirkan secara bias gender.

Representasi hubungan saling menghormati pada akhirnya tidak menyelamatkan perempuan dari kekerasan dan obyek seksualitas. Hal itu terlihat bagaimana perempuan hanya dijadikan sebagai aksesori (pelengkap, tambahan). Dan bukannya manusia intelektualis yang mempunyai pikiran, keinginan, dan keputusannya sendiri sebagai manusia yang merdeka.

Bahkan kepemimpinan perempuan dianggap sebagai upaya kaum perempuan untuk tampil mendominasi diberbagai aspek. Keadilan pembagian kerja sebagai upaya mengurangi beban berlebih pada perempuan tidak dapat diwujudkan, karena tidak adanya pemahaman yang sama dari pihak laki-laki. Pada akhirnya, perempuan tetap harus menghadapi pekerjaan ganda, domestik dan publik sekaligus.

Pada akhirnya, novel "Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan" tetap tidak mampu memberikan penyadaran kepada perempuan. Justru membuat perempuan semakin terindoktrinasi dalam posisi dilematis dan mengalami konflik batin, antara usaha untuk mencapai keadilan gender dan beban peran ganda (domestik dan publik).

Karena representasi keadilan dalam novel ini, merupakan bentuk pemikiran yang hadir dari pengarang laki-laki. Sehingga pesan yang ditampilkan berasal dari sudut pandang dan keberpihakan laki-laki.

Walau tentunya harus kita akui bersama tidak semua penulis laki-laki lebih menekankan pada kepentingan laki-laki saja tapi juga keadilan perempuan seperti KH. Husein Muhammad (penulis buku Fiqh Perempuan), seorang ulama yang konsen dibidang ke-genderan dan aktif menyuarakan hak-hak perempuan terutama dalam sudut pandang agama islam. Hal itu terbukti dari keaktifan beliau sebagai salah satu Dewan Pemasihat KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia). Beliau yang akrab disapa Buya Husein ini juga produktif menulis buku-buku tentang keperempuanan. Meminjam istilah Julia Suryakusuma dalam buku Jihad Julia (Pemikiran Kritis dan Jenaka Feminis Pertama Indonesia), bahwa Buya Husein adalah Ulama yang doyan perempuan (ini dalam konotasi yang positif), karena memang bisa dikatakan di Indonesia beliau adalah  ulama laki-laki yang paling aktif dan ulet dalam konteks keperempuanan.

Dalam setiap strategi wacana selalu terdapat ideologi tersembunyi dari pemangku kekuasaan, dalam hal ini adalah penulis. Apa yang ditampilkan oleh penulis dalam representasi keadilan gender yang justru menimbulkan kegagalan dalam rumah tangga mengarah pada posisi perempuan sebagai pihak yang bersalah.

Sedangkan paradigma sosial konflik memandang, bahwa sesungguhnya ketimpangan gender dimulai dari institusi keluarga yang menempatkan perempuan sebagai mahluk kedua (second class) setelah laki-laki, yang dibatasi perannya hanya pada wilayah domestik.

Sehingga konflik yang terjadi dalam rumah tangga bukan karena peran perempuan dalam wilayah publik atau sebagai wanita karir, tapi pola keluarga yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan. Sedangkan perempuan adalah "abdi" yang harus menjalankan semua perintah suami.

wallahu'alam bishowab

Serang, 20 januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun