Teringat sebuah film india berjudul "Yaadein" (terkenang kembali), menceritakan tentang cinta terhalang restu karena perbedaan status sosial. Klise? Â Bisa jadi. Â Tapi pesan moralnya masih relevan hingga sekarang.
Bahwa pernikahan tidak sesederhana hanya perkara bersatunya dua individu tapi juga dua keluarga.
Seperti yang dikatakan dalam film ini "seorang perempuan (istri) Â yang tidak diterima oleh keluarga suaminya jarang mendapatkan rasa hormat. Â Ada hubungan lebih penting dari sekedar perasaan cinta, Â yaitu adik ipar, Â kaka ipar, Â mertua, Â paman-bibi... "
Untuk sampai pada tahapaan "pernikahan" tentunya banyak pertimbangan, tidak cukup hanya sekadar rasa cinta. Â
Teringat oleh saya pada suatu pagi ketika salah satu dosen mata kuliah hukum tata negara mengatakan:
"suatu hubungan itu seharusnya di patenkan (legal di mata agama dan negara) Â karena seperti halnya undang-undang, agar ia mempunyai 'Daya Laku dan Daya Ikat".
Kemudian saya tercenung tak kala membaca novel karya sarah morgan yang menuliskan tentang pola kehidupan rumah tanggga dalam tradisi keluarga italia.
Tidak jauh berbeda dengan indonesia yang masih kuat budaya patriarkinya (jika dalam sudut pandang feminisme), intinya sama-sama menjunjung tinggi tradisi maskulinitas. Â Dimana ketika seorang perempuan menjadi seorang istri dia wajib membaktikan diri sepenuhnya untuk suami (laki-laki). Â
Konsep "membaktikan" diri ini sama saja dengan memberikan pelayanan penuh terhadap suami dan keluarga (domestik). Apalagi dalam masyarakat kita yang kerap menjadikan dalil-dalil dan dogma sebagai bentuk legitimasi kekuasaan (memimpin) laki-laki (suami) atas perempuan (istri).
Yang paling sering ditemui dipelbagai pengajian misalnya, Â ayat yang sering digunakan yaitu "arrijalu qawwamuna a'la annisa". Dimana katanya laki-laki adalah qawwamun bagi perempuan. Apa makna qawwamun?
Disinilah letak ganjil yang sama yang kita rasakan, Â ternyata selama berabad-abad yang lalu ada perdebatan dari makna "qawwamun" diantara para cendekiawan. Â
Mengutip dari Abidah El Halieqy dalam bukunya berjudul "Mataraisa", Bahwa telah ditemukan makna yang lebih tepat yaitu pembimbing, mitra sejajar, Â teman sharing. Â Tak ada satu pun yang merujuk pada arti pemimpin.
Untuk arti pemimpin biasanya digunakan kata ra'in. Â Seperti hadist nabi yang mengatakan : "kullukum ra'in (kalian semua adalah pemimpin).
Dan kata qawwamun bukan di ambil dari akar kata qama-yaqumu-qawwamun (kata kerja atau fi'il). Â Tapi dari akar kata qawmun-qawmani-qawwamun (kata benda atau isim). Â Ini analisis etimologis.
Sederhanya, Â jika kata qawwamun dimaknai sebagai pemimpin, Â maka tidak sejalan dengan semangat dan pesan global alquran yang menjunjung nilai-nilai persamaan dan kemitraan semua mahluk.
Lagi pula ayat tadi ada lanjutannya, Â "wa bima anfaqu min amwalihim" arti yang selama ini dipakai adalah "dan dengan nafkah (yang diberikan suami untuk istri dan keluarganya) Â dari harta mereka".
Pertanyaannya,  bagaimana jika ternyata yang memberi nafkah keluarga adalah istrinya?  Berapa banyak di dunia ini seorang istri yang menjadi tulang punggung keluarga.  Lantas apakah ayat itu akan berubah menjadi  (misalnya)  "annisa'u qawwamuna ala ar-rijal? "
Atau jika para rijal (laki-laki) Â itu tidak sanggup memberi nafkah pada istri dan keluarga nya lantas hilang pula status qawwamun nya? Â (buku Mataraisa hal.307-309).
Belum lagi doktrinasi (katanya) Â "surga istri ditelapak kaki suami" maka dari itu 'ridho'nya suami menjadi semacam titah mutlak yang tidak boleh dilanggar dan harus dipatuhi oleh para istri. Lalu dimana letak kemitraannya?
Ironis bukan? Â Ketika seorang perempuan berstatus anak dalam keluarga, Â letak surga ada dibawah telapak kaki ibu di tegaskan oleh hadist "al jannatu tahta aqdamil ummahat" tapi ketika berubah status menjadi seorang istri berubah pula status kesurgaannya menjadi dibawah telapak kaki suami.
Intinya, masih banyak tafsiran-tafsiran dalil-dalil yang bernada inferioritas yang membuat kedudukan perempuan dalam tatanan keluarga makin berat saja. Â Dan pernikahan? Â Tidak seharusnya menjadi jeruji yang semakin mengkerangkeng kebebasan dan kesetaraan perempuan dan laki-laki. Â Karena keduanya adalah mitra yang sejajar tak seharusnya ada satu mahluk yang lebih unggul dari yang lainnya. Â
Terakhir mengutip dari dewi lestari, "Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat. Â Karena aku ingin seiring dan bukan di giring". Tidak ada pepatah "dibalik kesuksesan laki-laki ada wanita hebat DIBELAKANG nya. Yang ada adalah DISAMPINGNYA.
Dan menikah itu pilihan, Â jadi anda boleh berbeda.
Wallahu'alam Bishowab
Boleh tidak sepakat
*Saketi, 21 Agustus 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H