Mohon tunggu...
Wartini Sumarno
Wartini Sumarno Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Kopi

Penyuka film, anime, juga suka wisata sejarah sekaligus wisata religi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan dan Pernikahan

4 Maret 2023   19:49 Diperbarui: 5 Maret 2023   07:07 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan kata qawwamun bukan di ambil dari akar kata qama-yaqumu-qawwamun (kata kerja atau fi'il).  Tapi dari akar kata qawmun-qawmani-qawwamun (kata benda atau isim).  Ini analisis etimologis.

Sederhanya,  jika kata qawwamun dimaknai sebagai pemimpin,  maka tidak sejalan dengan semangat dan pesan global alquran yang menjunjung nilai-nilai persamaan dan kemitraan semua mahluk.

Lagi pula ayat tadi ada lanjutannya,  "wa bima anfaqu min amwalihim" arti yang selama ini dipakai adalah "dan dengan nafkah (yang diberikan suami untuk istri dan keluarganya)  dari harta mereka".

Pertanyaannya,  bagaimana jika ternyata yang memberi nafkah keluarga adalah istrinya?  Berapa banyak di dunia ini seorang istri yang menjadi tulang punggung keluarga.  Lantas apakah ayat itu akan berubah menjadi  (misalnya)  "annisa'u qawwamuna ala ar-rijal? "

Atau jika para rijal (laki-laki)  itu tidak sanggup memberi nafkah pada istri dan keluarga nya lantas hilang pula status qawwamun nya?  (buku Mataraisa hal.307-309).

Belum lagi doktrinasi (katanya)  "surga istri ditelapak kaki suami" maka dari itu 'ridho'nya suami menjadi semacam titah mutlak yang tidak boleh dilanggar dan harus dipatuhi oleh para istri. Lalu dimana letak kemitraannya?

Ironis bukan?  Ketika seorang perempuan berstatus anak dalam keluarga,  letak surga ada dibawah telapak kaki ibu di tegaskan oleh hadist "al jannatu tahta aqdamil ummahat" tapi ketika berubah status menjadi seorang istri berubah pula status kesurgaannya menjadi dibawah telapak kaki suami.

Intinya, masih banyak tafsiran-tafsiran dalil-dalil yang bernada inferioritas yang membuat kedudukan perempuan dalam tatanan keluarga makin berat saja.  Dan pernikahan?  Tidak seharusnya menjadi jeruji yang semakin mengkerangkeng kebebasan dan kesetaraan perempuan dan laki-laki.  Karena keduanya adalah mitra yang sejajar tak seharusnya ada satu mahluk yang lebih unggul dari yang lainnya.  

Terakhir mengutip dari dewi lestari, "Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat.  Karena aku ingin seiring dan bukan di giring". Tidak ada pepatah "dibalik kesuksesan laki-laki ada wanita hebat DIBELAKANG nya. Yang ada adalah DISAMPINGNYA.

Dan menikah itu pilihan,  jadi anda boleh berbeda.

Wallahu'alam Bishowab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun