Mohon tunggu...
Waroeng Semawis
Waroeng Semawis Mohon Tunggu... -

www.WaroengSemawis.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Apresiasi Bondan Winarno terhadap Waroeng Semawis

9 Agustus 2014   22:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:57 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekilas tampak bahwa kebanyakan penjaja makanan di Waroeng Semawis adalah mereka-mereka yang sudah mengalami sukses penyelenggaraan dua kali Pasar Imlek sebelumnya. Mereka merupakan stakeholders yang telah ikut melestarikan pusaka kuliner Semarang dan menyadari pula bahwa langkah positif itu ternyata membawa keuntungan ekonomis pula bagi mereka.

Di sepanjang ruas jalan yang pendek itu - kira-kira sepanjang Boat Quay di Singapura - sebelum kita lelah berjalan, kita sudah akan

dibuat lelah melakukan decision game untuk menentukan hidangan apa yang akan disantap. Sate sapi manis "Pak Kempleng"? Nasi pindang "Bu Tris"? Soto kudus? Mi titee? Nasi campur hainan? Lontong capgomeh? Bakmi jowo? Swiekee dan pimbak "Nyoto"? Pecel "Bu Sami"? Nasi ayam Karangturi "Yu Atun"? Gudeg "Bu Umar"? Sate babi "Sutikno"? Hiewan tahu?

Wis lah, pokoke angel tenan! Lha wong enak kabeh!

(Sekadar catatan, di Waroeng Semawis saya menemukan selebaran dari restoran "Kit Wan Kie" yang merupakan langganan keluarga kami dulu. Restoran ini sangat populer di masa lalu, tetapi sudah lama tutup di tempat asalnya di Gang Pinggir. Ternyata, sekarang para penerusnya membuka usaha jasaboga dari rumah mereka di kawasan Tanah Mas, khusus untuk mereka yang merindukan masakan "Kit Wan Kie" yang legendaris).

Selain makanan-makanan khas Semarang dan sekitarnya, hadir pula kios "Es Marem" dan "Es Puter Cong Lik" yang memang mak nyess untuk dinikmati setelah makan malam yang gurih, pedas, asin, maupun manis. Es cao (es campur) yang terkenal di pojokan Gang Lombok juga menghadirkan gerainya di kawasan jajanan baru ini.

Saya sangat surprised menemukan roti ganjel rel di Waroeng Semawis. Dikemas dalam kotak putih bertulisan "Koewih Tempo Doeloe Gandjelrel". Roti atau kue ini merupakan derivasi dari ontbijtkoek, dengan rasa kayu manis (cinnamon), cengkeh, gula merah, dan ditaburi wijen di atasnya. Rotinya sendiri bantat dan agak keras, sehingga agak sulit ditelan. Karena kerasnya itulah dianggap sepadan dengan balok kayu bantalan rel kereta api. Setiap kali makan, perlu didorong dengan air minum. Di masa lalu, ganjel rel merupakan roti yang populer karena dijamin membuat kenyang. Tentu saja, karena rotinya mengembang di dalam lambung setelah digelontor begitu banyak air.

Selain roti ganjel rel yang memenuhi kerinduan warga lama Semarang, hadir pula bolang-baling (kue bantal), wedang kacang, dan pisang plenet yang masih cukup populer di kota ini. Pisang plenet adalah pisang kepok dibakar, dipenyet di antara dua papan kayu, dan dioles dengan sedikit margarin dan selai nanas. Masih kita tunggu kehadiran penjaja wedang kembang tahu, serta jajanan pasar khas Semarang lainnya yang tak kalah unik.

Di dekat pintu masuk ke kawasan Waroeng Semawis tampak toko "Cahaya Bintang" yang menjual kue-kue kering dan pernak-pernik khas Tiongkok, seperti lampion dan berbagai hiasan gantung. Toko-toko semacam ini perlu ditambah keberadaannya, di samping tentunya juga ditingkatkan jenis maupun kualitas benda-benda yang dijajakan. Mungkin perlu juga ada warung teh khas Tiongkok, sekaligus untuk memasyarakatkan budaya minum teh yang menyehatkan.

Komunitas Koja, Arab, Pakistan, dan India di Semarang boleh bergembira bahwa di Waroeng Semawis juga hadir representatif mereka. RM "Larashati" yang sudah punya nama di Semarang menampilkan nasi kebuli-nya yang legendaris. Di gerai lain juga ada nasi pela, yaitu nasi pakistan yang disantap dengan kari kambing.

Tetapi, sayangnya, mengapa di Waroeng Semawis justru belum tampil nasi goreng babat dan tahu pong yang sangat khas Semarang? Sementara itu perlu juga dipertanyakan mengapa harus ada sate padang, tahu sumedang, mi keriting medan, dan bubur ayam jakarta di sana? Supaya tidak terasa out of place, mungkin perlu ada sektor tersendiri untuk menampilkan hidangan nusantara di luar Semarang dan sekitarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun