Mohon tunggu...
Waroeng Semawis
Waroeng Semawis Mohon Tunggu... -

www.WaroengSemawis.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Apresiasi Bondan Winarno terhadap Waroeng Semawis

9 Agustus 2014   22:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:57 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1407572747836967390

Bp. Bondan Winarno, seorang pecinta dan penggiat kuliner terkemuka di Indonesia, pernah memberikan apresiasi tersendiri terhadap Waroeng Semawis (Pasar Semawis) melalui tulisannya yang pernah dikirimkan pada milis budaya_tionghua@yahoogroups.com tertanggal 5 Agustus 2005. Berikut kami sajikan kembali tulisan yang bersangkutan secara lengkap di bawah ini:

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Waroeng Semawis

Bertambah lagi kawasan makan-makan yang menampilkan berbagai hidangan khas setempat dalam nuansa daerah yang kental. Setelah Kya-Kya Surabaya dan Kesawan Square di Medan - termasuk Pokanjari (Pondok Makanan Jalan Teri) di Tegal yang sudah berusia 10 tahun lebih - sejak 15 Juli 2005 yang lalu hadir pula Waroeng Semawis, sebuah kompleks jajanan baru di Semarang. Semawis sebetulnya merupakan penamaan yang salah kaprah di masa lalu untuk menyebut nama kota Semarang dalam bahasa Jawa halus (kromo inggil).

Pada malam hari, ruas jalan Gang Warung di Kawasan Pecinan Semarang ditutup bagi semua kendaraan. Tenda-tenda digelar, dan berbagai jenis makanan khas Semarang pun dihadirkan di sana.

Waroeng Semawis, Pusat Jajanan Semarangan, untuk sementara memang hanya buka pada malam hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Tetapi, selama perayaan 600 Tahun Cheng Ho, kawasan jajanan ini buka setiap malam. Mungkin, kalau animo masyarakat cukup baik, nantinya Waroeng Semawis akan buka setiap malam.

JS-er Widya Wijayanti yang ikut menggagas Kopi Semawis (Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata) mengatakan bahwa Waroeng Semawis sebetulnya belum sempat didesain secara matang. Dalam kunjungan saya ke sana, saya temukan masalah klasik yang dihadapi fasilitas serupa di Indonesia, yaitu urusan kebersihan (higina dan sanitasi) yang seharusnya menjadi urusan paling penting bila menyangkut soal makanan yang akan kita masukkan ke dalam tubuh kita. Tampaknya, Pak Walikota tidak mau menyia-nyiakan kesempatan hadirnya wisatawan yang membanjiri Semarang dalam rangkaian acara 600 tahun Cheng Ho awal Agustus ini. Better something than nothing!

Apapun kekurangannya, Waroeng Semawis adalah sebuah langkah nyata untuk melestarikan pusaka kuliner Indonesia yang patut diacungi jempol. Masyarakat Semarang pun tampak menyambutnya dengan penuh semangat. Sejak dibuka, Waroeng Semawis selalu ramai dikunjungi masyarakat.

Saya masih ingat cita-cita Kopi Semawis yang sejak dua tahun telah menggelar acara tahunan Pasar Imlek Cap Kauw King di kawasan Pecinan Semarang ini. Mereka ingin melakukan revitalisasi kawasan ini menjadi salah satu andalan bagi objek pariwisata Semarang. Bangunan-bangunan berarsitektur khas akan dipertahankan dan dipugar. Sedapat mungkin warna kehidupan asli sebagai pusat niaga di kawasan itu juga akan dihidupkan kembali. Tampak sekali keinginan mereka mereplikasi konsep revitalisasi seperti kawasan Keong Saik di Singapura, misalnya, yang sekarang telah menjadi salah satu objek wisata baru di sana.

Waroeng Semawis memang tidak sebesar Kya-Kya Surabaya maupun Kesawan Square. Tetapi, mungkin justru itulah kekuatan Waroeng Semawis. Pecinan Semarang memang punya kekhasan justru karena ukurannya yang tidak terlalu luas, tetapi semuanya tampil secara padat. Salah satu contoh, di dalam kawasan itu terdapat sembilan kelenteng (bio) yang saling berdekatan jaraknya. Kepadatan tampilan elemen-elemen khas etnis itulah yang justru dapat dikembangkan menjadi kekuatan.

Pendeknya ruas jalan yang dipakai juga menguntungkan dari satu segi, yaitu pemilihan yang ketat terhadap jenis makanan yang ditampilkan. Ini berbeda dengan Kya-Kya Surabaya maupun Kesawan Square yang mengakibatkan kompetisi yang sangat tajam karena hadirnya berbagai jenis makanan yang sama. Apa bedanya mi pangsit yang satu ini dibanding yang lain, misalnya? Bagi pengunjung pun pengulangan seperti itu akan cukup membingungkan.

Sekilas tampak bahwa kebanyakan penjaja makanan di Waroeng Semawis adalah mereka-mereka yang sudah mengalami sukses penyelenggaraan dua kali Pasar Imlek sebelumnya. Mereka merupakan stakeholders yang telah ikut melestarikan pusaka kuliner Semarang dan menyadari pula bahwa langkah positif itu ternyata membawa keuntungan ekonomis pula bagi mereka.

Di sepanjang ruas jalan yang pendek itu - kira-kira sepanjang Boat Quay di Singapura - sebelum kita lelah berjalan, kita sudah akan

dibuat lelah melakukan decision game untuk menentukan hidangan apa yang akan disantap. Sate sapi manis "Pak Kempleng"? Nasi pindang "Bu Tris"? Soto kudus? Mi titee? Nasi campur hainan? Lontong capgomeh? Bakmi jowo? Swiekee dan pimbak "Nyoto"? Pecel "Bu Sami"? Nasi ayam Karangturi "Yu Atun"? Gudeg "Bu Umar"? Sate babi "Sutikno"? Hiewan tahu?

Wis lah, pokoke angel tenan! Lha wong enak kabeh!

(Sekadar catatan, di Waroeng Semawis saya menemukan selebaran dari restoran "Kit Wan Kie" yang merupakan langganan keluarga kami dulu. Restoran ini sangat populer di masa lalu, tetapi sudah lama tutup di tempat asalnya di Gang Pinggir. Ternyata, sekarang para penerusnya membuka usaha jasaboga dari rumah mereka di kawasan Tanah Mas, khusus untuk mereka yang merindukan masakan "Kit Wan Kie" yang legendaris).

Selain makanan-makanan khas Semarang dan sekitarnya, hadir pula kios "Es Marem" dan "Es Puter Cong Lik" yang memang mak nyess untuk dinikmati setelah makan malam yang gurih, pedas, asin, maupun manis. Es cao (es campur) yang terkenal di pojokan Gang Lombok juga menghadirkan gerainya di kawasan jajanan baru ini.

Saya sangat surprised menemukan roti ganjel rel di Waroeng Semawis. Dikemas dalam kotak putih bertulisan "Koewih Tempo Doeloe Gandjelrel". Roti atau kue ini merupakan derivasi dari ontbijtkoek, dengan rasa kayu manis (cinnamon), cengkeh, gula merah, dan ditaburi wijen di atasnya. Rotinya sendiri bantat dan agak keras, sehingga agak sulit ditelan. Karena kerasnya itulah dianggap sepadan dengan balok kayu bantalan rel kereta api. Setiap kali makan, perlu didorong dengan air minum. Di masa lalu, ganjel rel merupakan roti yang populer karena dijamin membuat kenyang. Tentu saja, karena rotinya mengembang di dalam lambung setelah digelontor begitu banyak air.

Selain roti ganjel rel yang memenuhi kerinduan warga lama Semarang, hadir pula bolang-baling (kue bantal), wedang kacang, dan pisang plenet yang masih cukup populer di kota ini. Pisang plenet adalah pisang kepok dibakar, dipenyet di antara dua papan kayu, dan dioles dengan sedikit margarin dan selai nanas. Masih kita tunggu kehadiran penjaja wedang kembang tahu, serta jajanan pasar khas Semarang lainnya yang tak kalah unik.

Di dekat pintu masuk ke kawasan Waroeng Semawis tampak toko "Cahaya Bintang" yang menjual kue-kue kering dan pernak-pernik khas Tiongkok, seperti lampion dan berbagai hiasan gantung. Toko-toko semacam ini perlu ditambah keberadaannya, di samping tentunya juga ditingkatkan jenis maupun kualitas benda-benda yang dijajakan. Mungkin perlu juga ada warung teh khas Tiongkok, sekaligus untuk memasyarakatkan budaya minum teh yang menyehatkan.

Komunitas Koja, Arab, Pakistan, dan India di Semarang boleh bergembira bahwa di Waroeng Semawis juga hadir representatif mereka. RM "Larashati" yang sudah punya nama di Semarang menampilkan nasi kebuli-nya yang legendaris. Di gerai lain juga ada nasi pela, yaitu nasi pakistan yang disantap dengan kari kambing.

Tetapi, sayangnya, mengapa di Waroeng Semawis justru belum tampil nasi goreng babat dan tahu pong yang sangat khas Semarang? Sementara itu perlu juga dipertanyakan mengapa harus ada sate padang, tahu sumedang, mi keriting medan, dan bubur ayam jakarta di sana? Supaya tidak terasa out of place, mungkin perlu ada sektor tersendiri untuk menampilkan hidangan nusantara di luar Semarang dan sekitarnya.

Tentu saja saya sangat keberatan dengan hadirnya kios yang berjualan masakan dari daging ular kobra dan biawak di Waroeng Semawis. Blaik, nyamari banget!

Bondan Winarno

- Penulis -

Penulis adalah seorang pengelana yang telah mengunjungi berbagai tempat dan mencicipi makanan-makanan khas, dan masih akan terus melakukan pengembaraannya. (E-mail: bondanw@...)

Jumat, 05 Agustus 2005, 17:18 WIB

Copyright @ PT. Kompas Cyber Media

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

[ www.WaroengSemawis.com ]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun