"Ibuuukkkk,, kok bajunya bagusan punya mbak Asih?" tanya saya kepada ibu sambil manyun yang hampir nangis. Mbak asih adalah kakak perempuan saya dengan beda usia hanya 1 tahun 3 bulan. Tak jarang orang-orang mengira kami kembar.
"Lah gimana'e mba, ibuk udah pilihin yang bagus tadi kakak mu juga bilang bagus, ada bunga-bunganya gitu". Jawab ibuk sambil membereskan belanjaannya.
"Nggak mau buk, nggak mau yang ini, aku maunya yang kaya mbak Asih". Jawab saya yang sudah berlinang air mata dan hidung sudah penuh dengan slime.
"Ya Allah mbak, sama aja, warnanya juga hampir sama, Cuma modelnya. Biar agak beda sama mbak Asih kan". Jawab ibuk menenangkan saya yang masih menangis
Kira-kira kejadian diatas waktu saya kelas 3 SD dan mba Asih kelas 4 SD. Kami adalah kakak beradik seperti yang lainnya. Sedikit-dikit berantem, tidak lama kemudian baikan lagi. Entah kenapa naluri saya waktu itu sebagai adik menginginkan barang apapun itu sama dengan kakak saya.
Tradisi "baju baru" yang dinantikan oleh anak-anak untuk menyambut perayaan Idul Fitri memang selalu memiliki kisah sendiri termasuk saya. Biasanya anak-anak menginginkan baju dengan model terbaru yang sedang menjadi trend.
Lebaran tinggal menghitung hari dan seperti biasanya ibuk membelikan baju baru untuk anak-anaknya termasuk saya. Baju yang dibelikan ibu untuk saya dan kakak saya memiliki warna yang hampir mirip, hanya saja dengan model yang berbeda. Baju yang menurut saya sudah ngehits dijamannya. Saat itu kalau tidak salah yang sedang menjadi trend adalah baju muslim yang atasannya memiliki belah pinggir di samping kanan kirinya.
Walaupun begitu, masih ada rasa kecemburuan saya terhadap kakak saya.

Ibu menjelaskan bahwa baju yang ibu berikan kepada saya cocok dengan karakter saya yang agak "pecicilan", bajunya longgar dan nyaman jika nanti saya pakai bermain bersama teman-teman, motifnya juga lebih banyak. Jika punya kakak saya motifnya tidak terlalu ramai, cenderung lebih kalem. Yah, memang sih lebih kalem kakak saya.
Saya pun mulai mencoba bajunya dan melihat di kaca, memang terlihat bagus dan cocok untuk saya. Seperti pepatah mengatakan "boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu". Pepatah itu yang tidak langsung ibu sampaikan kepada saya.

Ada satu yang tak kalah menariknya saat ibu berbelanja dipasar.
Yakni peraturan yang diterapkan ibuk saat belanja dipasar dengan daftar belanjaan yang cukup banyak termasuk keperluan lebaran adalah saya tidak diperbolehkan ikut. Hemmm,,,Lucu tapi sedih. Alasanya cukup jelas, karena membawa saya untuk belanja kebutuhan yang lumayan banyak sungguh tidak menguntungkan. Disamping saya belum bisa "di percaya" ibuk sebagai asisten yang andal sebagai partner belanja, atau belum bisa membantu membawa belanjaan ibuk, saya juga agak merepotkan. Bayangkan saja ketika waktu itu saya pernah ikut belanja ibuk di pasar tiba-tiba saya terpeleset ke got, sungguh memalukan. Karena pandangan saya tersebar kemana-mana melihat baju-baju, tas, sepatu, boneka, jadi kurang fokus, got didepan pun saya abaikan, hasilnya saya terpleset dan kaki saya penuh dengan lumpur pasar. Waktu itu ibu hanya bisa geleng-geleng. Alhasil peraturan "tidak boleh ikut ke pasar" jatuh kepada saya.
Maka dari itu, kadang jika ibu membelikan sesuatu contohnya saja seperti baju kurang cocok dengan keinginan saya. Sebenarnya lebih tepatnya adalah ibuk membelikan barang kepada saya dengan sesuai kebutuhan, karena beliau yang lebih tahu, mana yang saya butuhkan. Hanya saja saat itu saya masih kecil, manja, egois dan labil. Â
 Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI