Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Noormah (Bagian Tujuh)

8 November 2020   14:59 Diperbarui: 8 November 2020   15:14 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 << Sebelumnya

~~ 

"Iya, trus?"

"Bapak berikan Baju Gamis beserta kerudung merah marun itu beserta dengan sisa uang Rp.500 ribu itu kepada Perempuan Mila. Mila itu adalah nama perempuan yang selama ini menjadi Guru ngaji anak-anak kecil di lingkungan Pasar."

"Alhamdulillah ya Pak, semoga bermanfaat dan bisa mendatangkan pahala buat bu Noormah di alam baka sana,"

"Noormah belum meninggal dunia."

"Loh, kok. Tadi kata Bapak bu Noormah sudah meninggal dunia dan sudah di kebumikan di Kandis sana?"

"Betul, tapi hanya jazadnya saja yang sudah di kebumikan, sedangkan Noormah sendiri sampai saat ini masih berada di dunia ini."

"Maksudnya?"

"Noormah terkadang masih suka mendatangi Bapak di Rumah."

"Rumah yang dimana? Rumah yang disini apa rumah yang di Kandis?"

"Rumah yang di sini,"

"Trus tetangga-tetangga Bapak tau kalau bu Noormah itu sebenarnya sudah meninggal dunia?"

"Mereka enggak bisa melihat Noormah, hanya Bapak yang bisa melihatnya, biasanya sebelum masuk ke dalam rumah, Noormah selalu mengucapkan salam terlebih dahulu dan sebelum Bapak menjawab salamnya dan menyuruhnya masuk, dia nggak mau masuk ke dalam Rumah,"

"Oh gitu, pake acara ngetuk pintu juga?"

"Nggak, hanya suaranya saja yang terdengar di luar rumah, tapi nanti kalau udah Bapak jawab dan bilang, "Masuklah Mak," Noormah tiba-tiba saja sudah berdiri di dalam rumah, senyum-senyum sama Bapak, kayak biasa,"

"Waduh! Bapak nggak takut dengan kehadiran bu Noormah yang sudah jelas-jelas meninggal dunia?"

"Takut kenapa? Noormah kan istri Bapak?"

"Iya, ya... Eh, tapi kan bu Noormah sudah meninggal dunia?"

"Cuma beda alam saja, sebenarnya Noormah masih ada,"

"Hemm,"

"Kamu gak percaya?"

"Entahlah Pak, sejauh aku berjalan sampai kita ketemu di tempat ini, baru pertamakalinya aku mendengarkan cerita aneh seperti ini,"

Tiba-tiba lelaki tua yang mengenakan Kaos oblong berwarna coklat yang terlihat sudah sedikit kumal itu tersenyum sambil menatap ke arahku, lalu meminta Rokok sebatang, setelah membakar dan menghisap dalam-dalam dia menghembuskan asapnya secara perlahan-lahan. Tiba-tiba saja dia berkata sambil menatap lurus kedua mataku,

"Dulu Noormah paling suka dengan Rokok merk ini,"

"Dulu bu Noormah merokok sewaktu masih hidup?"

"Iya, dan Rokok kesukaannya itu persis seperti Rokok ini"

"Ooo gitu?"

Entah kenapa tiba-tiba saja bulu tengkukku meremang berdiri saat Lelaki tua di sebelahku ini mengatakan bahwa merk Rokok kesukaan Noormah itu sama dengan merk Rokok kesukaanku saat ini.

"Bapak jalan dulu, nanti singgahlah ke rumah Bapak,"

"Iya Pak, terima kasih, rumah Bapak dimana?"


Lelaki tua yang tadi memperkenalkan dirinya bernama Abdul Majid itu menunjuk ke arah barisan Bukit-bukit yang menjulang tinggi.

"Rumah bapak berwarna biru, cuma ada satu Rumah berwarna biru di ujung jalan ini dan bapak tinggal di situ seorang diri,"

"Baik, Pak. Nanti insyaallah aku singgah kalau tidak kemalaman sampai disitu,"

"Iya, Bapak jalan dulu,"

"Iya, Pak. Hati-hati di jalan."

Setelah pak Tua itu berlalu dari hadapanku, kuputuskan untuk kembali melanjutkan perjalananku menyurusuri Hutan Larangan ini.

 ~~

Hari sebenarnya masih belum terlalu sore, tapi karena kulihat langit mulai menghitam, maka kuputuskan untuk singgah, sekalian berteduh di rumah berwarna biru. Siang tadi, lelaki tua yang sempat duduk lama denganku itu telah menceritakan semua perjalanan hidupnya hingga bisa sampai ke tempat ini dan mengatakan bahwa Rumah Semi Permanen berwarna biru ini adalah tempat tinggalnya.

Di antara hembusan angin yang bertiup kencang hingga menggugurkan dedauan, kutatap pekatnya langit yang terlihat mulai menghitam sebagai pertanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan, ketukanku pada pintu Rumah berwarna biru sambil mengucapkan salam itu baru di respon oleh penghuninya ketika hujan mulai turun dengan lebatnya di tempat ini.

Di antara gemuruh suara air hujan dan kilatan cahaya petir di bawah langit yang tengah mencurahkan air hujan, kudengar sahutan suara seseorang dari dalam Rumah. Saat pintu Rumah ini terbuka, kutatap seorang Wanita paruh baya yang mengenakan Baju Gamis lengkap dengan kerudung panjang yang semuanya berwarna merah marun tersenyum menatapku.

Di antara hembusan angin yang bertiup kencang, kutatap Wanita paruh baya di depanku, usianya sekitar 50 tahun tapi masih menyisakan sisa-sisa kecantikan masa mudanya dulu. Entah kenapa semua bulu-bulu halus di tubuhku meremang berdiri saat mendengarkan Wanita paruh baya berkulitnya kuning langsat yang memiliki mata sedikit sipit yang bertubuh tinggi semampai di depanku itu berkata,

"Masuklah ke dalam Bang, di luar hujan."



Selesai


Catatan: Di buat oleh, Warkasa1919 dan Aprianidinni. Cerita ini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Cerita ini juga tayang di secangkirkopibersama.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun