Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Lima Waktu

15 Maret 2020   11:58 Diperbarui: 15 Maret 2020   19:00 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

**

Kuikuti langkah kaki Sang Waktu. Di antara suara tembang 'Lir-ilir'  Aku dan Sang Waktu terus berjalan, memasuki Alam Kesunyian. Terus berjalan, mendatangi suara yang terdengar pilu dari kejauhan.

Langkah kaki-ku dan Sang Waktu terhenti. Di ujung sana, samar-samar kulihat seseorang di kejauhan.  Aku tercekat, ketika mengetahui bahwa sosok yang tadi kulihat begitu samar itu ternyata adalah seseorang yang berasal dari Masa Lalu. Seseorang yang secara akal sehat, mustahil bisa aku temui saat ini. terlebih karena perbedaan usia yang terlalu jauh itu. Di sebelah Sang Waktu,  kutatap sosok  yang pernah hidup pada zaman Rasulullah itu. 

Aku baru sepenuhnya sadar tengah berada di Masa Lalu, ketika Sang Waktu memperkenalkan kepadaku bahwa sosok yang saat ini tengah berdiri di depanku itu adalah sosok Bilal. Sosok yang hidup pada zaman Rasulullah dulu. 

Saat ini Aku dan Sang Waktu tengah berada di Masa Lalu. Tepatnya sesaat sebelum Bilal mengkumandangkan Azan untuk yang terakhir kalinya di tempat ini dulu.

Di bawah langit yang menghitam, di antara hembusan angin yang bertiup kencang, dari kejauhan, samar--samar kedua mataku menangkap satu sosok lainnya tengah berjalan ke tempat ini.

"Itu sang Khalifah," kata Sang Waktu, sambil menunjuk ke arah lelaki yang tengah berdiri di depan Bilal. 

Sang Khalifah menatap Bilal di depanku. Menatap Bilal yang kulihat tengah berduka itu.  

Di bawah langit yang menghitam, di antara hembusan angin yang bertiup kencang. Kutatap sang Khalifah dan Bilal yang sepertinya tidak menyadari kehadiranku dan Sang Waktu di dekat mereka saat ini. 

Di antara hembusan angin yang bertiup kencang, Sang Khalifah meminta Bilal untuk menjadi muadzin kembali. Dan di bawah langit yang menghitam, Bilal menatap sang Khalifah dengan tatapan pilu.

"Biarkan aku hanya menjadi muadzin Rasulullah saja. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi," kata Bilal sambil menatap sang Khalifah di depanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun