**
Kuikuti langkah kaki Sang Waktu. Di antara suara tembang 'Lir-ilir'Â Aku dan Sang Waktu terus berjalan, memasuki Alam Kesunyian. Terus berjalan, mendatangi suara yang terdengar pilu dari kejauhan.
Langkah kaki-ku dan Sang Waktu terhenti. Di ujung sana, samar-samar kulihat seseorang di kejauhan.  Aku tercekat, ketika mengetahui bahwa sosok yang tadi kulihat begitu samar itu ternyata adalah seseorang yang berasal dari Masa Lalu. Seseorang yang secara akal sehat, mustahil bisa aku temui saat ini. terlebih karena perbedaan usia yang terlalu jauh itu. Di sebelah Sang Waktu,  kutatap sosok  yang pernah hidup pada zaman Rasulullah itu.Â
Aku baru sepenuhnya sadar tengah berada di Masa Lalu, ketika Sang Waktu memperkenalkan kepadaku bahwa sosok yang saat ini tengah berdiri di depanku itu adalah sosok Bilal. Sosok yang hidup pada zaman Rasulullah dulu.Â
Saat ini Aku dan Sang Waktu tengah berada di Masa Lalu. Tepatnya sesaat sebelum Bilal mengkumandangkan Azan untuk yang terakhir kalinya di tempat ini dulu.
Di bawah langit yang menghitam, di antara hembusan angin yang bertiup kencang, dari kejauhan, samar--samar kedua mataku menangkap satu sosok lainnya tengah berjalan ke tempat ini.
"Itu sang Khalifah," kata Sang Waktu, sambil menunjuk ke arah lelaki yang tengah berdiri di depan Bilal.Â
Sang Khalifah menatap Bilal di depanku. Menatap Bilal yang kulihat tengah berduka itu. Â
Di bawah langit yang menghitam, di antara hembusan angin yang bertiup kencang. Kutatap sang Khalifah dan Bilal yang sepertinya tidak menyadari kehadiranku dan Sang Waktu di dekat mereka saat ini.Â
Di antara hembusan angin yang bertiup kencang, Sang Khalifah meminta Bilal untuk menjadi muadzin kembali. Dan di bawah langit yang menghitam, Bilal menatap sang Khalifah dengan tatapan pilu.
"Biarkan aku hanya menjadi muadzin Rasulullah saja. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi," kata Bilal sambil menatap sang Khalifah di depanku.