Samar-samar, di antara suara tembang 'Lir-ilir' yang di gubah oleh Sunan Kalijaga pada zaman kerajaan Jawa Islam, sebagai sarana dakwah/syiar agama Islam di pulau Jawa pada masa itu, aku masih sempat melihat diriku yang lainnya di dalam ruang kerjaku.
Sebelum aku sadar dengan apa yang baru saja terjadi di tempat ini. Sekilas kedua mataku sempat melihat diriku sendiri, tengah duduk menghadap Laptop yang masih menyala di atas meja sana, dari tempatku berdiri saat ini, kulihat diriku yang lainnya, saat ini tengah menikmati secangkir kopi sambil mendengarkan tembang 'Lir-ilir' yang terdengar begitu pelan di tempat ini.
Di antara suara tembang yang sayup--sayup masih terdengar pelan di tempat ini. Aku baru sadar, ternyata tembang 'Lir-ilir' gubahan Emha Ainun Najib (Cak Nun) ini, perlahan tapi pasti, telah menarik  keluar sukmaku dari dalam raga-ku sendiri.Â
Tembang yang oleh kelompok kesenian Kyai Kanjeng di aransemen ulang dengan nuansa yang lebih religius dan sakral ini telah membawa diriku yang lainnya ketempat ini. Ke Alam yang Aku rasakan begitu hening dan membuatku merasa begitu tenang di tempat ini.
Di keremangan cahaya, di dalam kesendirian, Aku tersentak, saat menyadari, ternyata saat ini Aku tidak sendirian di tempat ini.Â
Samar--samar Aku melihat  ada orang lain di tempat ini. seseorang yang dari balik kegelapan itu Aku tahu tengah memperhatikanku di tempat ini sedari awal kedatanganku di tempat ini.
Di antara keremangan cahaya, samar--samar kutatap seraut wajah yang begitu dingin, datar dan tanpa rasa. Tidak kutemukan ada rasa sedih maupun gembira disitu.
"Di mana Aku?" tanyaku pada sosok berjubah putih keperakan yang tengah berjalan mendekat ke arahku.
"Di Lima Waktu." jawab  sosok berjubah putih keperakan yang baru saja muncul di depanku. Tanpa ekspresi menatap ke arahku.
Di ujung sana, di atas meja kerja, di antara kepulan asap rokok, di sebelah cangkir kopi yang asap-nya masih mengepul dari kopi yang berada di dalamnya. Secangkir kopi yang belum habis kuminum tadi. Perlahan tapi pasti, diriku yang kulihat tengah meminum kopi itu, semakin lama semakin terlihat memudar, sebelum akhirnya benar-benar menghilang dan tak kulihat lagi dari tempatku berdiri saat ini.
Kutatap sosok berjubah putih keperakan di depanku. Aku tahu dia adalah Sang Waktu. Â Sosok berjubah putih yang beberapa waktu yang lalu juga pernah menjumpaiku, tak lama setelah aku meneguk habis secangkir kopi susu buatan Wanita misterius berkerudung panjang warna hitam itu.
**
Kuikuti langkah kaki Sang Waktu. Di antara suara tembang 'Lir-ilir'Â Aku dan Sang Waktu terus berjalan, memasuki Alam Kesunyian. Terus berjalan, mendatangi suara yang terdengar pilu dari kejauhan.
Langkah kaki-ku dan Sang Waktu terhenti. Di ujung sana, samar-samar kulihat seseorang di kejauhan.  Aku tercekat, ketika mengetahui bahwa sosok yang tadi kulihat begitu samar itu ternyata adalah seseorang yang berasal dari Masa Lalu. Seseorang yang secara akal sehat, mustahil bisa aku temui saat ini. terlebih karena perbedaan usia yang terlalu jauh itu. Di sebelah Sang Waktu,  kutatap sosok  yang pernah hidup pada zaman Rasulullah itu.Â
Aku baru sepenuhnya sadar tengah berada di Masa Lalu, ketika Sang Waktu memperkenalkan kepadaku bahwa sosok yang saat ini tengah berdiri di depanku itu adalah sosok Bilal. Sosok yang hidup pada zaman Rasulullah dulu.Â
Saat ini Aku dan Sang Waktu tengah berada di Masa Lalu. Tepatnya sesaat sebelum Bilal mengkumandangkan Azan untuk yang terakhir kalinya di tempat ini dulu.
Di bawah langit yang menghitam, di antara hembusan angin yang bertiup kencang, dari kejauhan, samar--samar kedua mataku menangkap satu sosok lainnya tengah berjalan ke tempat ini.
"Itu sang Khalifah," kata Sang Waktu, sambil menunjuk ke arah lelaki yang tengah berdiri di depan Bilal.Â
Sang Khalifah menatap Bilal di depanku. Menatap Bilal yang kulihat tengah berduka itu. Â
Di bawah langit yang menghitam, di antara hembusan angin yang bertiup kencang. Kutatap sang Khalifah dan Bilal yang sepertinya tidak menyadari kehadiranku dan Sang Waktu di dekat mereka saat ini.Â
Di antara hembusan angin yang bertiup kencang, Sang Khalifah meminta Bilal untuk menjadi muadzin kembali. Dan di bawah langit yang menghitam, Bilal menatap sang Khalifah dengan tatapan pilu.
"Biarkan aku hanya menjadi muadzin Rasulullah saja. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi," kata Bilal sambil menatap sang Khalifah di depanku.
Sesaat kutatap wajah Bilal di depanku, ada kesedihan yang begitu mendalam di situ. Angin bertiup kencang, di tempat Azan ini dulu pernah dikumandangkan, di lima waktu, di sebelah Sang Waktu, di bawah langit yang menghitam, Aku melihat Bilal pergi meninggalkan sang Khalifah di tempat ini seorang diri.
Selesai
Catatan: Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon dimaafkan jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Cerita ini sudah tayang di secangkirkopibersama.com dalam versi lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H