Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Syahadat Cinta

25 Februari 2020   11:27 Diperbarui: 25 Februari 2020   16:57 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*****

"Kenapa? Apakah Abang sudah tidak mencintaiku?"

Senja itu di atas bangku trotoar jalanan kota Impian. Kota yang menjadi tempat tinggalku bersama Sang Ratu. Wanita cantik yang selalu mengenakan kerudung panjang berwarna merah marun itu menangis sesegukan di sebelahku.

Di antara desiran suara angin yang menggugurkan dedaunan, masih menahan tangis. Wanita cantik berkulit sawo matang yang selalu mengenakan kerudung panjang berwarna merah marun itu kembali berkata lirih tanpa melihat ke arahku. 

"Aku mencintai Abang. Dan tanpa Abang di sampingku, aku begitu rapuh, tapi kenapa Abang berniat hendak pergi meninggalkan aku?"

“Aku mencintaimu dan selamanya akan selalu begitu. Sedikitpun, tidak pernah terlintas di dalam benakku, bahwa aku akan pergi meninggalkanmu. Aku mencintaimu dan Bidadari yang terluka itu karena Tuhanku.”

“Jika memang Abang benar-benar mencintaiku, kenapa harus ada wanita lain, selain aku?”

“Apakah aku telah gagal menjadi imam-mu? Sehingga engkau begitu ingin memilikiku, sampai engkau lupa bahwa aku hanyalah 'yang di titipan' Tuhan kepadamu? Begitupun sebaliknya, di mataku, saat ini engkau di titipkan Tuhan kepadaku dan kapanpun Tuhan mau, Dia bisa mengambilnya dariku kapanpun Dia mau.”

“Aku tahu,”

“Lalu apa yang membuatmu ragu? Kenapa engkau begitu takut kehilanganku? Bukankah saat ini kita hanya sedang berusaha menjaga titipan-Nya? Bukankah dari awal engkau mengenalku, aku selalu mengatakan ‘cintai aku karena Dia’. Dan jika engkau memang benar-benar mencintaiku karena Dia, maka jangan pernah takut untuk kehilanganku, sebab semakin engkau takut kehilanganku, maka akan semakin cepat Tuhan mengambilnya darimu.”

*****

Di lapis langit kesatu. Di atas puncak gunung, di antara hamparan bunga-bunga keabadian. Di antara semilir angin yang hembusannya terasa dingin hingga menembus tulang. Di sebelah Sang Fajar. Kutatap wajah cantik wanita yang selalu mengenakan jilbab panjang berwarna hitam di depanku. 

"Di masa lalu engkau adalah bungaku. Bunga Mawar yang duri-durinya pernah melukaiku. 

Kita adalah anak zaman. Anak zaman yang pernah di pisahkan oleh jarak dan waktu, sesaat setelah aku mencoba untuk memetik kelopakmu.

Saat itu, aku ingin abadi bersamamu, hingga tanpa seizin Tuhan-ku, aku berani menyentuh kelopakmu. Kelopak mawar yang menurut Azazil adalah sumber keabadian untuk hidup abadi bersamamu. Hidup abadi di dalam istana kebahagiaan itu.

Empat puluh masa setelah engkau dan aku terusir dari tempat itu. Engkau dan aku terombang ambing di lautan rasa, hingga di sepertiga malam, di antara curahan air hujan, Tuhan mengutus Jibril untuk menemuiku. 

Di lautan rasa, atas izin Tuhan, jibril mengajarkanku cara untuk  memetik kelopak indahmu tanpa harus membuatku terluka akibat duri-duri yang mengelilingimu.

Di hari penyatuan antara batinku dan batinmu. Di hari setelah engkau dan aku menyadari kekhilafan kita atas segala dosa-dosa yang telah lalu. Dengan syahadat cinta yang telah di ajarkan Jibril kepadaku, kusentuh kelopakmu yang telah merekah dengan sempurna itu. 

Jangan takut untuk mencintaiku. Dan jangan pernah takut melukaiku dengan duri-duri yang tumbuh di sekujur tubuhmu. Lihat aku, lihat dirimu, lihatlah duri-duri yang selama ini ada di sekujur tubuhmu, saat ini, duri-duri yang ada di sekelilingmu itu telah habis dan tak tersisa lagi, setelah Tuhan mengampuni segala dosa-dosa masa lalumu.

Engkau bukanlah  bunga Mawar seperti yang dulu. Saat dimana Azazil berhasil memperdayai kita di masa lalu, sehingga kita terlempar keluar dan terusir dari dalam Surga. Saat ini engkau adalah Anaphalis javanica. Bunga Abadi yang di takdirkan Tuhan untuk tumbuh dan menemani Epiphyllum oxypetalum. Bunga Wijayakusuma yang telah lebih dahulu menemani hari-hariku. Engkau adalah Bunga Abadi yang tumbuh setelah Ratu malam mekar dengan sempurna atas izin Tuhan-ku.

Hari ini adalah hari dimana aku pernah menghapus air mata yang jatuh di kedua pipimu, disaat engkau tengah merasa bimbang karena melihat aku telah bersanding bersama Sang Ratu."

 "Mas, apakah dia akan menerimaku?"

"Apakah engkau percaya bahwa Tuhan itu satu?"

"Iya Mas, aku percaya."

"Aku berserah diri kepada Tuhan-ku dan Tuhan-mu yang satu. Tuhan yang memiliki Hati. Hatinya, hatimu dan hatiku."

"Mas, aku mencintaimu, Jangan pernah tinggalkan aku,"

"Izinkan aku mencintaimu karena Tuhanku."

*****

“Dia adalah Bidadari kesunyian yang di hadirkan Tuhan untuk melengkapi kehidupanku bersamamu.” Kataku pelan pada wanita cantik yang tengah berdiri anggun di sebelahku. 

Sang Ratu mengangguk pelan ke arahku, sebelum akhirnya wanita cantik berkerudung merah marun itu tersenyum ke arah wanita cantik yang mengenakan jilbab panjang berwarna hitam yang saat ini juga tengah tersenyum sambil mengangguk pelan ke arahnya.

Di antara hembusan angin yang menggugurkan daun pepohonan. Pepohonan yang menjadi peneduh jalanan kota impian. Pelan tapi pasti, wanita cantik yang selalu mengenakan jilbab panjang berwarna hitam, serta tengah menggenggam payung berwarna hitam di tangan kanannya itu, terus berjalan, mendekat ke arah aku dan Sang Ratu yang tengah menanti kedatangannya di tempat ini. 

Di bawah langit yang mulai menghitam, di antara angin yang bertiup kencang. Kutatap wanita cantik berkulit kuning langsat yang baru datang  dari seberang lautan. Dan saat ini, tengah berdiri di sebelah wanita cantik berkerudung merah marun di depanku. 

Di bawah semburat cahaya senja yang saat ini terasa begitu dingin, kutatap air muka wanita yang saat ini tengah berdiri anggun di depanku. Wanita cantik yang di hadirkan Tuhan dengan nyawa cadangannya untuk menemani hari-hariku. Ratu Malam yang telah bangkit dari kematiannya. Ratu malam yang atas izin Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang telah di beri keabadian untuk hidup bersamaku. 

Ratu malam yang saat ini telah bersedia membuka pintu hatinya, untuk menerima kehadiran Bidadari kesunyian memasuki Istana Kebahagiaan-nya. 

*****

Kutatap wajah Ratu Malam dan Bidadari kesunyian satu persatu. Wajah dua wanita cantik, yang atas izin Tuhan-ku. Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, telah di pertemukan dan dipersatukan hatinya, untuk saling melengkapi dan menyayangi antara satu dengan yang lainnya. 

Di sebelah Sang Waktu. Sekali lagi kutatap mata kedua wanita cantik yang aku tahu sesungguhnya adalah sepasang pintu masuk ke alam akhirat dan alam dunia itu. Pintu masuk Surga dan Neraka serta pintu masuk menuju ke masa lalu dan masa depan.

Di bawah siraman cahaya bulan, di antara keramaian kota. Di pinggir jalanan, di antara temaram lampu-lampu jalan kota impian, aku dan dua wanita cantik yang memiliki nama lain edelweis dan Wijayakusuma itu terus berjalan, meninggalkan masa lalu, menuju ke masa depan sambil bergandengan tangan. 

“Kita adalah perpaduan antara masa lalu dan masa kini yang terus berjalan, sebagaimana waktu yang terus berjalan. Dengan menyebut nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, izinkan aku membawa kalian menuju ke masa depan. 

Aku sadar, bahwa aku, engkau dan dia sesungguhnya adalah kita. Dan kita adalah mimpi-mimpi sempurna yang dulu pernah tertunda. 

Kita adalah bahasa rasa, bahasa kesunyian di antara ribuan bahasa yang pernah ada, bahasa yang pernah di ucapkan oleh seorang hamba kepada Tuhan-nya, bahasa yang telah ada, bahkan jauh sebelum Tuhan menciptakan alam semesta berserta dengan isinya. 

Aku, engkau dan dia adalah kalimat-kalimat suci yang terdapat di dalam Syahadat cinta. Kalimat-kalimat suci yang menjadi kalimat pembuka dari 6666 ayat yang saat ini tersebar di alam semesta. 

Perjalanan kita adalah alunan nada. Nada-nada cinta yang di lantunkan dengan menggunakan bahasa rasa. Induk bahasa dari semua bahasa yang pernah ada. Bahasa yang tercipta pada saat terjadinya percakapan antara Nur Muhammad dengan Tuhan-nya. Percakapan yang terjadi bahkan jauh sebelum Tuhan menciptakan Surga dan Neraka. 

Kita adalah ungkapan rasa, ungkapan cinta antara si hamba kepada Tuhan-nya. Sebab sesungguhnya kita adalah kalimat-kalimat pengakuan antara yang di saksikan dan yang menyaksikan. Karena sesungguhnya kita adalah cinta yang akan terus bergema di alam semesta,  bahkan ketika nanti dunia ini sudah tak lagi ada.”


Catatan: Cerita ini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun