Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Secangkir Kopi Susu

8 Agustus 2019   21:51 Diperbarui: 11 Maret 2020   01:30 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***
Wanita berkulit kuning langsat yang mengenakan kacamata serta kerudung berwarna merah marun itu menatap sendu ke arahku. Matanya berkaca-kaca. Ada kesedihan yang begitu mendalam di situ. Ada nada pasrah di balik ucapannya itu.

"Aku tidak akan pergi meninggalkanmu," kataku pelan sambil menatap mata wanita cantik berkerudung merah marun di depanku itu.

"Kenapa. Mas?" tanya wanita cantik berkacamata itu sambil balas menatapku.

"Karena aku pernah berjanji, bahwa aku tidak akan pergi meninggalkanmu setelah mendengarkan semua cerita masa lalumu itu, walau semua ceritamu itu bagaikan kopi pahit di rasaku."

"Aku tidak mengerti, apa hubungannya semua cerita kelamku itu dengan kopi yang berasa pahit itu?"

Kugeser cangkir kopiku ke arah wanita tinggi semampai yang kuperkirakan memiliki tinggi tubuh sekitar 165 cm.

Sambil tersenyum, aku menatap matanya. Wanita cantik berusia sekitar 43 tahun itu mengenakan kerudung panjang berwarna merah marun berpadan rok kain batik panjang.

"Minumlah kopi itu."

"Aku tidak biasa minum kopi, Mas. Aku kurang suka dengan rasa kopi yang terasa pahit di lidahku," sambil menatap ke arah kopi susu yang berada tidak jauh di depannya.

"Bukankah tadi engkau bertanya, mengapa aku mau menerimamu walau aku telah mengetahui masa lalumu yang begitu kelam itu?"

"Iya, Mas."

"Minumlah," kataku lagi sambil tersenyum dengan mata memandang ke cangkir kopi tepat di depan wanita cantik yang juga tengah melihat ke arah yang sama.

"Apakah Mas betul-betul mencintaiku?" tanya wanita cantik berkaca mata yang mengenakan kerudung merah marun ini pelan sambil menatap kedua mataku.

Bisa kupahami kebimbangannya. Dapat kurasakan rasa was-was yang begitu besar di dalam hatinya dan bisa kulihat rasa ragu yang saat ini tengah membolak-balikan isi hatinya.

"Aku mencintaimu karena Tuhanku," kataku pelan, sambil tersenyum menatapnya.

"Kenapa Mas mau menerimaku," sambil menatapku, "wanita yang memiliki masa lalu sekelam itu?"

Suara wanita cantik di depanku itu terdengar begitu pelan seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri.

Perlahan jemari tangannya kulihat meraih tangkai cangkir kopi yang berada di depannya.

"Minumlah kopi susu yang sengaja aku seduhkan khusus buatmu itu," kataku pelan sambil tersenyum menatap kedua matanya.

Sang Waktu melihat ke arahnya, saat wanita cantik itu meneguk kopi susu buatanku secara perlahan sambil menatap kedua mataku.

"Apa yang engkau rasakan?" tanyaku lembut.

"Enak, Mas! Dan, rasanya begitu pas di lidahku. Tidak ada rasa pahit seperti yang tadi aku kuatirkan sebelum aku meminum kopi ini," jawabnya sambil memandangku dan jemarinya menggenggam tangkai cangkir berisi kopi susu di tangannya.

"Kopi susu rasa masa lalumu sengaja kuracik kusus buatmu.

Tahukah engkau? Dari secangkir kopi aku belajar, bahwa rasa pahit itu bisa dinikmati.

Jika takarannya pas antara kopi dan susunya, maka yang akan engkau rasakan adalah kesimbangan. Pahit tidak, manis apa lagi.

Begitu pun di saat aku meracik rasa yang aku inginkan untuk menjalani hari-hariku saat bersamamu.

Dari secangkir kopi susu yang biasa aku nikmati di pagi hari, aku sadar, ternyata, untuk dapat menerima masa lalumu yang aku butuhkan hanyalah keseimbangan.

Ketika engkau tumpahkan semua kesedihan dan kesakitanmu, ketika engkau kembali membuka buka kuburan masa lalumu di depanku, dalam keseimbangan itu aku merasakan ketenangan."

"Kopi berwarna hitam, sedangkan susu berwarna putih. Jika Mas mencampurkan keduanya, bukankah itu hanya akan menghasilkan warna baru yang terlihat lebih buram dari warna sebelumnya?"

"Begitupun aku melihat masa lalu berdasarkan semua ceritamu itu. Gelapnya warna masa lalumu itu bagaikan warna air kopi murni yang terasa begitu pahit di lidahku.

Dan, hari-hari yang saat ini kujalani bersamamu, itu bagaikan warna putih susu murni yang terasa manis di lidahku.

Seperti yang engkau lihat di dalam cangkir yang saat ini berada di dalam genggamanmu, campuran masa lalu dan masa kini akan menghasilkan warna abu-abu. Seperti warna masa depan yang kita sama-sama belum tahu. Semuanya terlihat begitu samar dan berwarna abu-abu seperti warna kopi susu yang baru saja engkau minum itu.

Mengingat masa lalumu bagaikan menikmati secangkir kopi pahit setiap hari. Namun, aku tidak mau menjalani hari-hariku itu dengan secangkir kopi pahit itu, makanya setiap aku teringat masa lalumu yang begitu kelam itu aku cepat mengingat-ingat masa-masa indah bersamamu di masa kini.

Melangkah bersamamu menuju ke masa depan itu adalah pilihanku.

Dan bersamamu aku ingin meracik kopi yang bisa kunikmati setiap hari tanpa menyakiti rasaku dan rasamu baik di masa kini ataupun di masa depan nanti.

Dan menurutku, mencampurkan rasa pahit dan rasa manis secara bersamaan di dalam satu adukan, mungkin bisa membuatmu melupakan rasa pahit yang pernah engkau rasakan dulu.

Rasa pahit itu memang menyakitkan, tapi bagus untukmu. Setidaknya dengan rasa manis yang masih menyisakan sedikit rasa pahit, itu bisa menjadi pengingat untuk engkau tidak terlena oleh keadaan.

Rasa manis itu memang terasa begitu nikmat di lidahmu, tapi itu bisa membuatmu terlena dan akan membuat kita kembali ke rasa yang begitu menyakitkan.

Rasa pahit yang bersumber dari masa lalu juga rasa manis dari masa kini yang sudah bercampur dalam satu adukan setidaknya akan terus membuat kita selalu ingat bahwa yang kita butuhkan saat ini hanyalah penerimaan.

Walau kata orang, hidup adalah pilihan, dan kata orang pula, di dalam hidup ini kita harus memilih satu di antara dua pilihan, tetapi untuk tetap bersamamu aku tidak memiliki banyak pilihan.

Dari secangkir kopi susu di tanganmu itu aku belajar, bahwa ternyata, untuk mencintaimu karena Tuhanku, aku tidak membutuhkan pilihan.

Aku sadar, bahwa Tuhan telah ciptakan semua yang ada di dunia secara berpasang-pasangan.

Dan melihatmu, aku bagaikan sedang diperlihatkan, bahwa hasil karya Tuhan begitu sempurna.

Di dalam dirimu, aku temukan rasa cinta juga rasa benci yang telah menyatu secara bersamaan.

Dapat kurasakan pahitnya masa lalu dari setiap hembusan nafasmu setiap kali engkau mengingat kebencian masa lalumu, tapi di saat yang bersamaan aku juga merasakan manisnya cinta saat engkau sedang berada di dekatku.

Di mataku, engkau adalah kopi susu yang Tuhan racikan kusus untuk menemani hari-hariku.

Berada di dekatmu lidahku seperti sedang merasakan pahit dan manis secara bersamaan. Seandainya aku hanya akan memilih satu di antara dua pilihan rasa yang Tuhan berikan padaku, mungkin saat ini aku sudah tidak berada di depanmu.

Engkau, yang hanya mengenali jalangku, hapuslah air matamu! Lihat itu! Lihatlah dengan penglihatanku! Lihatlah apa yang selama ini begitu menakutkanmu!

Rasa sedih yang selama ini engkau benci, itu hanyalah seonggok pakaian lusuh di tempatku berdiri saat ini, di depanmu.

Sekarang, tatap kedua mataku dengan matamu. Menurutmu, apakah betul aku seperti apa yang engkau sangkakan selama ini?

Kenapa engkau begitu takut aku pergi meninggalkanmu setelah engkau ceritakan semua masa lalumu?

Lihatlah sekelilingmu dengan penglihatanku! Sekarang, apakah engkau paham, bahwa rasa sedih dan rasa bahagia itu hanyalah seonggok pakaian yang kapan pun aku mau, bisa kulepas dan kukenakan kembali sesuka hatiku.

Mari mendekat dan duduklah bersamaku.

Apa yang engkau rasakan setelah berada di dekatku?

Apa yang engkau rasakan setelah meneguk kopi susu yang aku seduhkan kusus untukmu?

Apakah engkau tahu? Saat ini aku bahkan sudah tidak lagi mampu membedakan antara rasa kopi dengan rasa susu.

Tahukah engkau, bahwa secangkir kopi susu itu telah lama menghambarkan semua rasaku? Bukan hanya terhadap semua cerita masa lalumu, tapi juga terhadap semua yang berada di sekelilingku.

Apa yang engkau ketahui tentang benar dan salah yang selama ini menjadi pedoman hidupmu?

Sekarang habiskanlah kopi susu yang sengaja aku racikan khusus buatmu agar engkau mampu merasakan apa yang aku rasakan saat sedang bersamamu.

Lihat dan tataplah kedua mataku! Agar engkau melupakan semua rasa pahit, ketakutan, kebencian, dan juga kemarahanmu ketika mengingat semua kenangan masa lalumu itu.

Sekarang, perlahan-lahan tutuplah kedua matamu dan dengarkan baik-baik semua ceritaku ini sebagai bekalmu mengiringi langkah kakiku berjalan di atas muka bumi ini. Cerita yang akan membuatmu tidak lagi menginginkan Surga dan semua janji-janji kenikmatan yang berada di dalamnya. Dan, juga cerita yang akan membuatmu tidak lagi pernah merasa takut dengan Neraka dan semua ancaman yang pernah di janjikannya.

Bukalah kedua matamu, lihat aku dan dirimu dengan penglihatanku.

Apa yang engkau lihat?

Ya! Rasaku adalah rasamu, dan rasamu adalah rasaku. Karena sesungguhnya engkau dan aku adalah satu."


-Selesai-

Catatan: Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon dimaafkan jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Cerpen ini juga tayang di  Warkasa1919 dan secangkirkopibersama.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun