Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat dari Masa Lalu [1]

10 Juli 2019   14:10 Diperbarui: 29 Juli 2022   19:10 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagian Satu

Sebelumnya : Lelaki dari Masa Lalu

--------------------------------------------

Dear,

Untukmu yang masih bersedih

Karena baru saja kehilanganku.

Sayang,

Tak lama setelah terjadi kerusuhan di Jakarta, saat aksi demo krisis moneter para mahasiswa telah menelan empat korban jiwa. Dan pasca peristiwa tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti di bulan Mei 1998, dan setelah disusul amuk massa yang menuntut pengunduran diri Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto.

Saat Presiden Soeharto mengundurkan diri dan Wakil Presiden, B.J. Habibie, melanjutkan roda pemerintahan menjadi Presiden ke-3 Republik Indonesia dengan membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan.

Sesaat setelah kerusuhan masa di silang Monas, aku dan beberapa teman-teman dicari oleh aparat keamanan. Saat itu, yang ada di dalam pikiranku hanyalah pergi sejauh mungkin dari kota kelahiranku itu.

Sayang,

Saat meninggalkan Jakarta 21 tahun yang lalu, jujur saja aku ingat kamu, Ayah, Ibu dan juga adik-adikku yang kutinggalkan pergi tanpa sempat aku pamiti. Di dalam pelarianku, saat itu aku dibantu beberapa orang yang kukenal sebagai orang-orang yang ikut andil merancang kerusuhan di Jakarta waktu itu.

Walaupun kamu tidak pernah bertemu denganku, tapi aku tahu semua tentangmu, karena memang sebenarnya aku tidak pernah benar-benar meninggalkanmu. Termasuk saat kamu menemui Ayah, Ibu dan adik-adikku. Juga saat Yudha, mantan pacarmu yang pernah aku pukuli karena dia berani menyakitimu itu, datang menemui kedua orang tuamu.

Sayang,

Aku tahu semuanya tentangmu karena sebenarnya aku selalu berada di dekatmu, juga saat kamu hampir kehabisan darah saat melahirkan anak pertamamu itu. Seandainya Yudha, suamimu yang ikut menjadi korban meninggal pada kecelakaan pesawat yang menimpa maskapai AirAsia di perairan Laut Jawa itu saat ini masih hidup. Mungkin diapun akan mengenaliku. Kembali ingat pada seorang lelaki yang saat itu di jumpainya di depan kamar Rumah Sakit dimana kamu sedang dirawat saat itu.

Lelaki dengan kumis dan brewok yang selalu memakai topi dan kacamata hitam, serta selalu mengenakan setelan kemeja lengan panjang berwarna coklat yang warnanya sudah terlihat pudar. Yang saat itu menghampirinya, ketika dia sedang kebingungan mencari pengganti darah, karena PMI menyatakan stok darah di rumah sakit sedang kosong.

Sayang,

Aku tahu semua tentangmu, juga saat dimana terakhir kalinya kamu mematung sendirian di tempat ini. 21 tahun yang lalu.

"Hanna, kenapa kamu selalu berdiri di tempat ini? Ayo kita pulang."

Bahkan suara lelaki yang sehari sesudahnya itu melamarmu, itupun masih bisa kusampaikan persis seperti saat kutuliskan surat ini buatmu, sebagaimana suara itu dulu pernah memintamu beranjak dari tempat ini.

Sayang,

Aku hapal semua tentangmu. Bahkan setiap untaian kata-kata yang keluar dari mulutmu waktu itupun masih bisa kutuliskan saat ini.

"Pulanglah duluan, Mas. Aku masih ingin sendirian di tempat ini."

"Tidak, Hanna. Kita pulang sekarang! Aku tidak ingin calon istriku kenapa-kenapa sendirian di tempat ini."

Suara lelaki itu terdengar begitu tegas menyuruhmu beranjak dari tempat ini, tapi aku tahu, kamu adalah gadis keras kepala yang hanya mau mendengarkan omonganku.

"Tinggalkan aku sendirian, Mas! Dari dulu aku selalu berada di sini dan tidak ada orang yang pernah menggangguku di tempat ini."

Sayang,

Saat itu nada suaramu kudengar sedikit meninggi, ketika lelaki itu mengajakmu pergi. Sambil memandang Yudha yang perlahan-lahan pergi meninggalkanmu sendirian di tempat ini. Jujur saja saat itu aku ingin sekali menghampirimu yang sedang berdiri seorang diri, di tempat dimana biasa aku dan kamu selalu duduk berdua di tempat ini. Tapi aku sadar, menghampirimu saat itu bukanlah keputusan yang baik buat aku dan kamu. Kerinduan, dan keinginan untuk memelukmu aku tahan seorang diri. Karena aku sadar, apa yang aku lakukan, saat itu semata-mata demi kebaikanmu. Aku tidak ingin orang-orang yang aku sayangi itu akan menjadi buruan dari orang-orang yang akan kuceritakan padamu nanti di dalam surat ini.

----------------------------------


-Bersambung-

Selanjutnya : Bagian Dua 

Catatan : Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Cerita ini juga tayang di sini dalam rangka untuk merawat cerita.

Sumber bacaan : 1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun