Aku terkagum-kagum melihat kecantikan wajah wanita yang tengah duduk bersimpuh di puncak Monas itu.
"Apa yang engkau lihat?" ketiga kalinya dia bertanya. Tak ada nada kesal. Tidak seperti manusia akan kesal bila harus mengulang pertanyaan yang sama. Bagus juga makhluk ini.
"Aku melihat wanita cantik," jawabku dengan mata tak berkedip kini memandang bibir yang tengah tersenyum manis ke arah kami. Itu pasti untukku bukan untuk makhluk ini.
"Selain itu?" tanya Sang Waktu. Ah, syukurlah makhluk ini juga tidak tertarik dengan itu.
"Wajahnya... Sepertinya, wajah itu tidak begitu asing lagi buatku. Apakah itu nyata?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya barusan.
"Menurutmu, apakah air laut yang menenggelamkan Istana Negara dan sebagian Pulau Jawa ini nyata atau tidak?" tanya Sang Waktu sambil menatap dingin ke arahku.
Kubalas tatapan raut wajah dingin, datar, dan tanpa rasa itu. Menjengkelkan sekali makhluk ini! Menurutku, itu pertanyaan yang aneh dan tidak perlu kujawab. Jelas-jelas air laut ini nyata! Masa dia masih bertanya seperti itu?
Buktinya tidak jauh dari tugu Monas itu, aku tadi melihat ada ikan terbang di antara deburan ombak di sekeliling monumen setinggi 132 meter (433 kaki) yang sebagian tiangnya telah terendam oleh air laut ini.
"Nyata," jawabku mengalah pada keangkuhannya.
"Begitu pun dia," kata Sang Waktu. "Engkau kenal dengannya?" lanjutnya.
"Jika melihat wajahnya, sepertinya dia adalah Wanita Berkerudung Bergo Panjang Merah Marun dalam bentuk lainnya," kataku lagi.