Bagian DuapuluhÂ
Â
Pilpres yang Berdarah
***
Sang Waktu memperlambat langkahnya, lalu berhenti sejenak sambil menatapku. Tak lama dia kembali melanjutkan langkahnya. Menyusuri jalanan panjang yang ujungnya entah dimana.
Kami memasuki bekas kota yang kulihat hanya ada sisa-sisa bangunan megah yang dulu sepertinya pernah ada. Saat ini cahaya matahari tidak begitu terlihat jelas di tempat yang sejauh mata memandang ini kulihat hanya ada tumpukan sampah dan bekas-bekas gedung yang sepertinya baru selesai di bakar itu.
Sang Waktu berhenti di antara kerumunan anak-anak muda yang kulihat sepertinya tengah bersembunyi di antara puing-puing bangunan seperti yang banyak kujumpai di sepanjang jalan ini.
Saat ini kami tengah berada di depan sekelompok anak muda yang masih terus siaga sambil memanggul senjata.
Sepertinya mereka tengah menanti musuh di depan sana dengan harap-harap cemas sambil terus melihat ke arah kepulan asap hitam yang tengah membumbung tinggi diangkasa.
Di antara suara pekikan dan juga bunyi letusan senjata api. Sekelompok anak muda yang terus bersiaga itu saling pandang antara satu dengan yang lainnya.