Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku dan Sang Waktu

25 Januari 2019   23:12 Diperbarui: 4 Februari 2019   13:30 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian Sembilan Belas 

Panggilan Dari Ruang waktu

*

Aku terus berjalan menembus gelapnya malam. Di antara sayub-sayub suara yang tengah berkumandang. Aku terus berjalan mendatangi suara yang awal mulanya terdengar begitu pelan. 

Dari kejauhan, nada-nada kerinduan itu seperti memaksa alam bawah sadarku agar secepatnya mendatangi suara itu.

Di antara gelapnya malam. Aku semakin hanyut di dalam perasaan. Di kesunyian malam, aku terseret masuk ke dalam nada-nada kerinduan. Di kesunyian malam, nada-nada kerinduan itu seperti mengajakku untuk kembali menyusuri jalan ke tempat di mana nada itu pertama kali dikumandangkan.

Di ruang waktu, aku melihat saat itu waktu salat telah tiba. Di ruang waktu, di antara angin yang bertiup kencang Bilal terus berjalan menaiki tempat di mana dahulu dia biasa mengumandangkan Azan.

Di ruang waktu, tangisku pecah bersama penduduk kota Madinah yang menangis dan meratap pilu teringat masa-masa indah bersama Rasulullah dulu.

Di ruang waktu, hari itu aku melihat langitpun ikut menghitam di sertai angin yang bertiup kencang seperti ikut mengenang masa-masa saat di mana Rasulullah masih ada bersama mereka dulu. 

Dari langit yang menghitam, aku tahu ini adalah hari di mana Bilal mengumandangkan Azan yang pertama dan terakhir setelah Rasulullah tidak lagi bersama mereka.

"Kita sudah sampai," suara Dewi Malam di sampingku seolah menarik kembali tubuhku keluar dari ruang waktu. 

Di dalam bangunan megah tembus pandang yang keseluruhannya berwarna hitam itu, aku dan Dewi Malam terus berjalan mendatangi sang Waktu. 

Begitu sampai di hadapan mereka. Aku segera memberikan pakaian lamaku kepada lelaki muda yang berasal dari masa kini di depanku. Di antara sang Waktu. Kulihat lelaki muda yang datang dari masa depan itu sedang berbicara dengan sang Fajar di sebelah sang Waktu.

Sambil menerima pakaian lamaku. Lelaki muda yang berasal dari masa kini itu tersenyum menatap ke arahku yang dilihatnya kini telah memakai pakaian yang tadi diberikan oleh lelaki muda dari masa depan itu.

Tak berapa lama, sang Waktu pamit pada Lelaki muda dari masa kini dan Dewi Malam yang saat ini tengah berdiri di sampingku. 

Aku berjalan mengikuti langkah sang Waktu dan Lelaki muda yang berasal dari masa depan yang jalan ber-iringan di depanku.

Sedikit penasaran, aku berpaling kebelakang. Kutatap sang Fajar dan Masa Kini di belakangku. Kutatap sang Dewi Malam yang saat ini juga tengah menatap ke arahku.

Aku tersentak ketika melihat perlahan tapi pasti wanita cantik yang mengenakan jubah panjang berwarna hitam pekat itu tiba-tiba berubah menjadi wanita cantik berwajah sedikit pucat tanpa riasan makeup yang selalu mengenakan kerudung panjang berwarna hitam yang beberapa waktu lalu membawaku masuk ke dalam alam hayalan.

Setengah tidak percaya, sekali lagi kutatap wanita cantik berwajah sedikit pucat tanpa riasan makeup yang selalu mengenakan kerudung panjang berwarna hitam yang saat ini tengah menatap sambil tersenyum ke arahku.


Aku berusaha mengimbangi langkah sang Waktu dan Masa Depan yang berjalan cepat agar tidak terlalu jauh tertinggal di belakang mereka. Dan setelah cukup lama kami berjalan meninggalkan wilayah masa kini. Di depan sana kulihat ada dua bangunan megah yang sama persis seperti yang kulihat tadi.

Baik dari bentuk maupun warna bangunannya terlihat tidak jauh berbeda dari bangunan tempat di mana kami berhenti tadi. Dua bangunan megah itu, yang satu berwarna hitam sedangkan satunya lagi berwarna putih cerah.

Lelaki Muda yang berasal dari Masa depan itu kulihat memasuki bangunan yang terlihat megah namun begitu suram di depanku. Tak lama kemudian, dia keluar dari dalam bangunan megah itu bersama seorang pria yang penampilannya terlihat begitu lusuh.

Aku dan sang Waktu mendatangi lelaki berpakaian lusuh yang saat ini sedang berada di depan pintu masuk. Kutatap lelaki di sebelah Masa Kini yang dari wajah dan penampilannya aku bisa merasakan ada kesedihan yang begitu mendalam disitu.

Sambil melihat sang Waktu. Sambil tersenyum hambar, Rasa Sedih menatap ke arahku. Sepertinya dia baru saja menangis. Walau tersenyum, namun kulihat wajahnya itu tidak mampu menyembunyikan perasaan duka yang sepertinya sedang berkecamuk di dalam dirinya saat ini.

Kutatap wajah berduka di depanku. Dan kulihat sepertinya dia pun masih mengenaliku.

Walau tidak terlalu sering. Tapi memang sebelumnya aku pernah berjumpa dengannya beberapa kali dalam beberapa kesempatan.

Mataku mencari-cari sesuatu. Aku ingat biasanya dia selalu berdua dengan saudara kembarnya yang memiliki sifat jauh berbeda dengannya itu.

Seperti tahu kalau aku sedang mencari sesuatu. Sambil menangis tersedu, Rasa Sedih mengatakan kalau Rasa Senang tidak tinggal di sini, "Dia tinggal disana," katanya sambil menunjuk bangunan megah berwarna putih cerah di seberang jalan tempat ini.

Biasanya setelah Rasa Sedih datang menjumpaiku, tak berapa lama kemudian Rasa Senang akan segera datang menyapaku. Sebab setahuku mereka berdua itu memang seperti kata pepatah, "Bak pinang di belah dua. Di mana ada Rasa Sedih disitu pula ada Rasa Senang."

Masa depan mengatakan pada Sang Waktu jika dia tidak bisa menemani kami di sini. Setelah Masa Depan meninggalkan kami, Rasa Sedih mengajak aku dan Sang Waktu masuk ke dalam bangunan panjang yang terlihat begitu kusam itu.

Ternyata di dalam bangunan luas yang terlihat begitu kusam itu ada begitu banyak kamar yang di masing-masing pintu kamarnya memiliki angka seperti tahun.

Aku dan Sang Waktu mengikuti Rasa Sedih yang terus berjalan melewati beberapa pintu ruangan.

Entah sudah berapa pintu ruang yang kami lewati sedari tadi. Hingga akhirnya dia berdiri di salah satu pintu ruang yang angkanya tidak begitu terlihat jelas di mataku.

Suasananya saat ini begitu samar dan semuanya terlihat begitu suram.

Di depan meja, di sampingg pintu ruang yang ada tulisan angka yang terlihat begitu samar. Di antara keremangan, Rasa Sedih meminta pada orang yang menjaga ruang itu agar membukakan pintunya untuk kami.

Lelaki yang mempunyai penampilan sama seperti Rasa Sedih itu mengambil kunci dari dalam laci meja kerjanya. Sambil berusaha menahan tangisnya yang sepertinya sedari tadi susah berhenti. Pelan-pelan dia membukakan pintu ruangan untuk kami.

Setelah pintu ruang terbuka. Dari pintu ruang itu aku melihat jalanan panjang yang suasananya terlihat begitu suram dan terasa begitu mencekam.

Di sepanjang jalan, yang kulihat hanyalah asap hitam yang membumbung tinggi di angkasa. Suara jerit dan tangisan kudengar di sepanjang jalanan itu hampir saja membuatku gila.

Di ujung sana. Aku melihat ada seorang pria yang tengah berlari dengan darah segar yang masih terus menetes dari sekujur tubuhnya. Kulihat dia terus berlari dari kejaran orang-orang yang kulihat begitu beringas tengah mengejarnya.

Perutku terasa mual dan ingin muntah melihat pemandangan di depanku itu. Kutatap wajah dingin tanpa rasa di sebelahku.

Tanpa melihat ke arahku, sang Waktu memintaku untuk segera mengikutinya masuk ke dalam ruang itu.

Aku dan sang Waktu terus berjalan, melintasi orang-orang yang saat ini saling membunuh antara satu dengan yang lainnya.

Dengan perasaan sedikit bergidik ngeri aku mengikuti langkah sang Waktu meninggalkan orang-orang yang sepertinya tidak melihat kehadiran kami di situ.

"Kita sedang berada di mana?" tanyaku pada sang Waktu yang saat ini tengah berjalan di sampingku.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun