Bagian Lima
Misteri Capres Pilihan
*
Demo ibu-ibu di Pusat Kota
Karena penasaran, aku terus berjalan mendekati kerumunan ibu-ibu yang sedang melakukan demo itu. Diantara teriakan ibu-ibu yang sedang menaiki mobil komando itu, aku mendengar salah satu peserta demo yang sedang melakukan orasi meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mundur dari jabatannya karena beliau saat ini sudah menjadi capres 2019.
"Mundur Pak Jokowi mundur, karena sudah jadi capres! Mundur seperti Pak Sandiaga yang mundur dari jabatan wakil gubernur. Ini tidak adil, 2019 ganti presiden! "
Teriak ibu-ibu yang mengenakan kerudung berwarna merah menyala itu sambil memegang micropon di tangannya.
Aku masuk kedalam kerumunan ibu-ibu yang sedang melakukan orasi itu. Mataku nanar, mencari-cari wajah seseorang diantara kerumunan ibu-ibu yang sedang melakukan aksi demo di depan Kantor KPU, Jakarta Pusat itu.
Satu persatu kupandangi wajah mereka semua, namun tidak satupun wajah yang kukenal berada di dalam rombongan ibu-ibu ini.
Perlahan aku mundur kebelakang, terus berjalan meninggalkan kerumunan ibu-ibu yang sedang meneriakkan yel-yel 2019 ganti presiden itu. Saat ini mataku kembali tertuju pada keramaian serupa di tempat lain nya.
**
 Misteri Tagar 2019GantiPresiden.
"Ganti presiden!"
"2019!"
"Ganti presiden!"
Yel-yel itu diteriakkan oleh seorang lelaki setengah tua dan teman-teman nya di salah satu sudut Kota Jakarta. Seorang lelaki yang kuperkirakan berusia sekitar 51 tahun di depanku ini, ternyata adalah orang yang dituakan di dalam rombongan Deklarasi gerakan bertagar 2019 Ganti Presiden itu.
Kudekati lelaki yang kuperkirakan berusia sekitar 51 tahun yang berdiri di dekat dua lapak kaos dan topi bertuliskan #2019GantiPresiden itu.
"Ini lapak kami buat menggalang dana sukarela. Keuntungan jualan kaos, kami buat kaos lebih banyak lagi," kata lelaki yang kuperkirakan berusia sekitar 51 tahun itu bersemangat.
Menurut lelaki yang kuperkirakan berusia sekitar 51 tahun itu. Keikut sertaannya dalam kampanye "2019 Ganti Presiden" itu, karena dilatari kegelisahan nya menilai kinerja pemerintah presiden Joko Widodo saat ini.
Menurutnya, baru kali ini ada presiden yang " memperlakukan umat Islam dengan tidak adil." Ia mencontohkan sesudah Pilkada DKI Jakarta, muncul tindakan pemerintah yang dia sebut sebagai " kriminalisasi ulama."
Menurut lelaki yang berusia sekitar 51 tahun itu, sebenarnya, kehidupan dia jauh dari gerakan politik. Namun, karena kegelisahannya itu, ia dan beberapa teman dan tetangganya ikut dalam gerakan " 2019 Ganti Presiden ".
"Ini murni karena kami khawatir dengan kondisi bangsa ini." kata teman lelaki yang kuperkirakan berusia sekitar 51 tahun itu disebelahnya. Menimpali ucapan teman nya barusan sambil menatap seorang lelaki muda, yang aku tau berasal dari salah satu media yang mewancarainya barusan.
" Ide gerakan " 2019 Ganti Presiden" Â sendiri, pertama kali dilontarkan oleh Mardani Ali Sera, Sekjen Partai Keadilan Sejahtera.
Mardani bukan orang baru dalam gerakan semacam ini. Pada Pilkada DKI Jakarta 2017 yang lalu, ia adalah Ketua Tim Sukses calon gubernur dan wakil gubernur Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Kemenangan Anies--Sandiaga tahun lalu oleh banyak pihak dikatakan tak lepas dari peran Mardani kala itu.
Saat itu Mardani mengatakan, bahwa Pemilu 2019 "sudah di depan mata dan saatnya mencari pemimpin yang lebih baik untuk Indonesia. " Katanya lagi, lalu meneruskan ucapan nya
" Hampir segalanya naik dan turun karena kepemimpinan. Apakah Indonesia akan jadi negara yang bersinar/terbit? Atau menjadi negara gagal/tenggelam? Ini tergantung siapa presidennya pada 2019," kata lelaki disebelah pria berusia sekitar 51 tahun disebelahnya itu pada lelaki muda  disampingku barusan.
Lelaki muda yang kuperkirakan berusia 35 tahun dari salah satu media itu kulihat hanya manggut-manggut sambil mendengarkan penjelasan teman dari lelaki berusia sekitar 51 tahun itu.
" Selain Mardani, ada pula nama Eggi Sudjana yang menjadi penggagas gerakan ini. Ia bergerak menyebarkan ide ke jaringan agar ada kampanye bersama "2019 Ganti Presiden" di berbagai daerah di Indonesia.
Eggi Sudjana menjamin gerakan ini tidak ada kaitan dengan partai atau dukungan untuk calon presiden selain Jokowi. Sampai saat ini, mereka bahkan belum memiliki gambaran calon presiden yang akan didukung pada Pilpres 2019 nanti.
Eggi Sudjana bukanlah orang baru dalam gerakan semacam ini. Sebelumnya ia sudah terlibat dalam gerakan 'Aksi Bela Islam' lewat serangkaian demonstrasi di panggung Pilkada Jakarta pada Pilkada 2017 yang lalu." Kata lelaki yang berusia sekitar51 tahun di sebelah kios itu menambahkan ucapan teman nya barusan.
***
Pro Kontra gerakan Deklarasi Ganti Presiden
Deklarasi gerakan bertagar 2019 Ganti Presiden semakin gencar disuarakan. Penolakan terhadap gerakan 2019 Ganti Presiden juga terus berlanjut di berbagai daerah di seluruh Indonesia.
"Kami melihat aksi deklarasi hashtag ganti presiden yang dilaksanakan di beberapa daerah terbukti telah menciptakan suasana curiga, perpecahan, dan konflik di tengah masyarakat serta berdampak mengganggu kamtibmas. Maka kami meminta agar deklarasi di Simpang Lima nanti tidak diberi izin oleh Polda Gorontalo," Sayub-sayub telingaku  mendengar  suara  seorang koordinator aksi di lokasi demo.
Mataku nanar, diantara kerumunan orang-orang yang sedang berkumpul menyuarakan aspirasinya di berbagai daerah di Indonesia, kucoba berkedip. Berharap saat ini aku segara berpindah ke tempat lainnya.
Kucoba bepaling ketempat lainnya, melihat kearah gedung yang menjulang tinggi di salah satu Kota.
Didalam suatu ruangan yang sepertinya berada di dalam ruang pertemuan sebuah hotel. Aku melihat beberapa orang-orang sedang berkumpul membicarakan tentang gerakan 2019 Ganti Presiden ini.
" Sebagai sebuah gerakan yang cair, "2019 Ganti Presiden" nyaris tak terkontrol. Bahkan para penggagasnya pun tak memiliki kontrol yang bersifat organisatoris pada kelompok-kelompok yang melakukan  aksi Deklarasi gerakan bertagar 2019 Ganti Presiden dibeberapa daerah di Indonesia ini.
Misalnya, saat kampanye "2019 Ganti Presiden" yang di lakukan di beberapa daerah, malah berakhir dengan tindakan intimidatif kepada simpatisan pendukung Jokowi berkaos #DiaSibukKerja, yang saat bersamaan menggelar acara di lokasi yang sama.
Meski begitu, persekusi dalam gerakan "2019 Ganti Presiden" belum berpola, kasus-kasus ini tidak seperti kasus-kasus sebelumnya yang selalu dimulai dari media sosial.
Kali ini sudah lebih nyata. Dua kelompok langsung bertemu, salah satu menghujat yang lain. Masih kelompok yang sama, yang bertikai pada Pilkada DKI Jakarta, dua kelompok yang terus bertikai sejak Pilpres 2014 yang lalu, yaitu antara kubu Jokowi dan kubu Prabowo."kata seseorang yang suara nya  kudengar barusan, kulihat dia sedang berbicara kepada orang-orang yang sedang duduk di depannya.
Aku ingat pada pasangan Capres-Cawapres yang sedang berlaga saat ini, dan menurutku sedikit aneh juga dengan situasi yang sedang berkembang saat ini. Begitu banyak partai politik di Negeri ini, tapi sepertinya mereka semua tidak berdaya untuk mengusung capres-Cawapres nya sendiri.
Saat ini semua kekuatan partai-partai politik yang ada, seolah terbagi dua. Semua kekuatan Politik yang ada. Kulihat hanya mendukung salah satu capres yang akan maju dalam pilpres 2019 nanti.
Begitupun hampir 270.054.853 juta jiwa penduduk di Negeri ini, yang berdasarkan data di salah satu media. KPU menetapkan DPT sebanyak 185.732.093 pemilih dan 805.075 TPS di seluruh Indonesia. Dengan jumlah pemilih laki-laki 92.802.671 dan pemilih perempuan 92.929.422 itu. Semua pemilih pria dan wanita yang terdaftar saat ini seolah terbagi dua.
****
Dunia Politik
Jelang pemilihan presiden 2019, sebutan bagi kelompok pendukung tokoh tertentu menguat di tengah masyarakat. Sinisme seolah dibangun oleh dua kubu di Dunia Politik ini.
Di media social sendiri saat ini, muncul sebutan bagi pendukung Presiden Joko Widodo, yaitu kecebong. Sementara pendukung tokoh selain Jokowi kerap disebut kampret.
Fenomena ini terjadi sejak Jokowi bertarung dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dalam pilpres 2014 yang lalu. Dan sinisme tersebut masih berlanjut hingga saat ini.
Sebutan cebong dan kampret sendiri, awalnya dilakukan warganet guna mengelompok kan perbedaan pilihan politik masyarakat. Dua sebutan itu cukup menghangatkan situasi politik jelang pemilu dan sesudahnya.
Tidak mau terlalu lama berdiri diantara dua kubu yang sedang bertikai sambil menyuarakan aspirasinya di Dunia Politik itu, mataku berpaling ketempat lain. Tempat dimana kulihat Sang Waktu dan dua temannya itu berada.
Tidak seperti yang sudah-sudah, dimana aku bisa berpindah dari satu tempat ketempat lainnya dalam sekejap mata, Dunia Politik yang baru saja kusinggahi ini sepertinya telah menguras banyak energi dan waktu ku saat ini.
Aku terus berjalan, meninggalkan kerumunan orang-orang yang berasal dari dua kubu yang berbeda itu dengan segudang tanda tanya, dan misteri yang belum bisa kujawab hingga saat ini.
Kenapa kekuatan Sang Waktu sepertinya tidak begitu berlaku dunia politik ini ?
Waktu seakan berhenti sejenak disini, terjangan badai sisa-sisa putaran pilpres 2014 yang lalu, kulihat masih menyisakan sisa-sisa kerusakan disana-sini.
Sambil berhenti sejenak, aku berpaling kebelakang. Kulihat kepulan asap hitam yang masih membumbung tinggi di angkasa. Sebagian api masih menyala diantara sisa-sisa bangunan yang terbakar di sepanjang jalan yang kulalui ini.
Puing-puing bangunan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah rusak parah akibat Pilpres 2014 yang lalu itu, kulihat masih belum di perbaiki hingga saat ini.
Aku terus berjalan meninggalkan Dunia politik dan seisinya, berjalan diantara teriakan orang-orang yang sebagian besar telah lupa diri akibat pengaruh yang begitu kuat dari dua kubu yang sedang bertikai saat ini.
Kucoba tatap Sang Waktu, berharap ada sedikit bantuan kekuatan darinya agar aku bisa lekas meninggalkan tempat ini.
Mataku nanar. Dipinggir jalanan Dunia Politik yang ujungnya entah dimana, kepulan asap hitam kulihat masih terlihat pekat di ujung sana. Di sepanjang jalan yang berkabut asap ini, mataku berusaha menatap kearah dimana Sang Waktu dan dua temannya itu berada.
Dengan tertatih-tatih, perlahan kutinggalkan Dunia Politik ini. Di iringi tatapan mata salah satu pasangan Capres yang sepertinya sedang tersenyum, sambil melihat kearahku. Sekali lagi kutatap wajah Capres yang sedang tersenyum sambil kearahku itu.
Kutatap orang-orang dibelakangnya. Kulihat ada dua masa dalam jumlah besar saling berhadapan di ujung sana, dua masa besar yang sama-sama mengenakan atribut pakaian berwarna merah menyala itu terlihat begitu beringas terhadap masa di depannya. Dua masa yang tinggal menunggu satu perintah darinya.
" Tuhan...jauhkan Negeri ini dari bahaya peperangan. Perang besar yang akan melumat dan menggulung orang-orang dan bangunan apa saja yang ada di depannya ini."
Disudut lain, disalah satu Kota di dalam Dunia Politik. Mataku masih melihat ada asap hitam yang membumbung tinggi diangkasa.
Terdengar suara teriakan anak-anak dan ibu tua berlari menyelamatkan harta bendanya dari kobaran api yang masih menyala.
Siapa mereka sebenarnya? Siapa dua masa dalam jumlah besar yang kulihat sedang bertempur hebat disudut sana?
Siapa mereka sebenarnya? Siapa sebenarnya dua Capres pilihan ini?
Kenapa mereka bisa melihat kehadiranku di Dunia Politik ini?
Sementara jutaan pasang mata yang kudatangi sebelumnya, sepertinya tidak satupun diantara mereka yang mampu melihat kehadiranku bersama mereka saat itu?
Sang Waktu? Dimana engkau? Aku ingin bertanya; " Siapa sebenarnya dua sosok Capres ini? "
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H